Selasa, 19 Januari 2016

Mahfud MD: Industri Hukum



Industri Hukum
Oleh: Moh Mahfud MD

Ada-ada saja: industri hukum. Apa pula itu? Jangankan orang awam hukum, orang yang belajar dan bekerja di bidang hukum selama puluhan tahun seperti saya pun merasa aneh dengan istilah industri hukum karena tidak ditemukan dalam literatur.

Saya mendengar istilah itu dari Jaya Suprana, dua hari lalu (14 Januari 2015), menjelang diskusi rutin Kelompok Punakawan di Balairung Museum Rekor Indonesia (Muri). Kelirumolog yang juga pemimpin Muri ini memang sering melemparkan hal yang aneh-aneh, menggelikan, dan mengundang tawa, tetapi substansinya mendalam.

Di dalam ilmu pengetahuan populer industri diartikan sebagai kegiatan pengolahan hasil-hasil bumi atau sumber daya alam melalui keterampilan dan ketekunan dengan menggunakan peralatan-peralatan mulai dari pembibitan, pengolahan sampai distribusinya. Dalam pengertian ini industri selalu dikaitkan dengan kegiatan ekonomi. Tetapi kalau kata industri dikaitkan dengan kata hukum memang menimbulkan pertanyaan serius. Masih agak bisa dipahami jika kata industri diletakkan di belakang kata hukum, misalnya, hukum perindustrian atau hukum industri.

Hukum perindustrian atau hukum industri masih bisa dilacak sebagai bagian dari studi hukum ekonomi. Namun, kalau kata industri diletakkan di depan kata hukum, yakni industri hukum, tentu menimbulkan pertanyaan. Apakah istilah itu dimaksudkan sebagai segala kegiatan untuk menjadikan hukum sebagai alat pembangunan ekonomi? Kalau itu maksudnya, maka istilah ilmiahnya adalah politik hukum, tepatnya politik hukum ekonomi, bukan industri hukum.

Politik hukum industri, misalnya, menjadikan hukum sebagai independent variable yang mengarahkan dan mengatur kegiatan perindustrian. Tetapi apa arti istilah industri hukum? Jaya tidak memberi definisi. Definisi itu terlalu mewah dan biasanya menjadi santapan akademisi di kampus. Jaya menjelaskan istilah itu dengan pengalamannya di lapangan. Dia berkisah, pada suatu hari dia didatangi oleh seorang yang mengaku pengacara dan menawarkan jasa untuk membuatkan perkara.

”Loh, perkara apa? Saya tak punya masalah untuk diperkarakan,” jawab Jaya. ”Sebagai pengusaha Pak Jaya bisa saya buatkan perkara, misalnya, menggugat perusahaan orang atau kita atur agar Pak Jaya digugat, kemudian Pak Jaya menggugat balik. Dari sana Pak Jaya bisa mendapat banyak uang melalui proses pengadilan. Itu bisa kita atur,” jawab pengacara itu.

Gila, kan? Silakan definisikan sendiri, kalau mau diakademiskan. Jaya pernah juga menceritakan pengalamannya beperkara karena digugat oleh seseorang. Saat maju ke pengadilan dia hadapi sendiri karena setelah didiskusikan dengan para ahli hukum dia berada pada posisi yang sangat kuat dan pasti menang. Tetapi, di pengadilan tingkat pertama kalah, di tingkat banding juga kalah.

Saat akan kasasi Jaya ditawari oleh seseorang untuk mengurus dan memenangkan perkaranya, asal menyediakan sejumlah uang tertentu. ”Loh, saya ini benar, kenapa harus membayar?” tanya Jaya. ”Kalau Pak Jaya tak mau membayar sejumlah itu, lawan Pak Jaya yang akan membayar dan mengambil kemenangan dalam perkara ini. Ini kan bisa diatur,” jawab orang itu enteng.

Jaya Suprana menceritakan itu dalam diskusi tentang e-justice di kantor Kementerian Ristek saat kementerian itu dipimpin oleh Gusti Muhammad Hatta. Nah, kalau itu contoh yang dikemukakan oleh Jaya, maka industri hukum berarti kegiatan profesi hukum yang menjadikan hukum untuk mencari keuntungan dengan merekayasa hukum secara curang.

Hukum dijadikan sebagai dependent variable dalam kegiatan merekayasa atau memanipulasi hukum untuk memperoleh keuntungan secara asal untung, bukan secara benar menurut hukum. Apa yang dicontohkan oleh Jaya memang banyak terjadi juga di jagat raya penegakan hukum kita. Saat duduk di Kabinet Presiden Gus Dur (2001) saya mendapat cerita yang sama dari Baharuddin Lopa (Menteri Kehakiman dan kemudian Jaksa Agung).

Katanya, berdasar penelitiannya, banyak pengacara yang menjadikan hukum sebagai alat untuk merusak harmoni kehidupan masyarakat dengan mencari- cari dan membuat-buat perkara agar punya kasus. Ada yang mendorong seorang istri agar menyuruh suaminya menuntut ibunya agar segera membagiharta warisan dari ayahnya. Ada juga yang mengipasi suami atau istri untuk menuntut cerai dari pasangannya agar bisa mendapat harta gono-gini. Semua didorong oleh orang yang mengaku bisa menangani perkara dan memenangkannya di pengadilan dengan biaya tertentu.

Jadi, industri hukum ala Jaya adalah bagian penting dari mafia hukum yang kita kenal selama ini. Di dalam industri atau mafia hukum yang seperti itu bisa ada pengacara papan atas yang tidak perlu mengandalkan keahlian, bahkan bodoh, di bidang hukum, melainkan hanya ahli membangun jaringan politik berbau mafia. Dengan jaringan mafianya dia bisa mengatur siapa yang akan menjadi penyidik di kepolisian, siapa jaksa penuntut dan apa tuntutannya, dan siapa majelis hakim yang akan menangani perkara ini dan, akhirnya, bagaimana vonisnya.

Contoh nyata tentang ini adalah kasus pegawai pajak Gayus Tambunan yang sekarang sudah meringkuk di penjara. Selain Gayus semua penegak hukum yang menangani kasus itu juga dipenjarakan karena bermafiaria. Pengacaranya (Haposan), polisinya (antara lain Sumarni), jaksanya (Cirus Sinaga), dan hakimnya (Ibrahim) semua masuk penjara setelah kasus itu dibongkar oleh Tim Pemberantasan Mafia Hukum bentukan Presiden SBY waktu itu.

Kegiatan industri hukum atau mafia hukum yang seperti itu disinyalir dan dirasakan masih banyak bergentayangan di jagat raya hukum kita. Percayalah, kalau itu dibiarkan terus, Indonesia akan terpuruk dan terancam runtuh. Ketidakadilan selalu menjadi sebab banyaknya kejahatan dan memodali pembangkangan sipil yang mengarah ke disintegrasi. []

KORAN SINDO, 16 Januari 2016
Moh Mahfud MD  ;   Guru Besar Hukum Konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar