Industri Hukum
Oleh: Moh Mahfud MD
Ada-ada saja: industri hukum. Apa pula itu? Jangankan orang awam
hukum, orang yang belajar dan bekerja di bidang hukum selama puluhan tahun
seperti saya pun merasa aneh dengan istilah industri hukum karena tidak
ditemukan dalam literatur.
Saya mendengar istilah itu dari Jaya Suprana, dua hari lalu (14
Januari 2015), menjelang diskusi rutin Kelompok Punakawan di Balairung Museum
Rekor Indonesia (Muri). Kelirumolog yang juga pemimpin Muri ini memang sering
melemparkan hal yang aneh-aneh, menggelikan, dan mengundang tawa, tetapi
substansinya mendalam.
Di dalam ilmu pengetahuan populer industri diartikan sebagai
kegiatan pengolahan hasil-hasil bumi atau sumber daya alam melalui keterampilan
dan ketekunan dengan menggunakan peralatan-peralatan mulai dari pembibitan,
pengolahan sampai distribusinya. Dalam pengertian ini industri selalu dikaitkan
dengan kegiatan ekonomi. Tetapi kalau kata industri dikaitkan dengan kata hukum
memang menimbulkan pertanyaan serius. Masih agak bisa dipahami jika kata
industri diletakkan di belakang kata hukum, misalnya, hukum perindustrian atau
hukum industri.
Hukum perindustrian atau hukum industri masih bisa dilacak sebagai
bagian dari studi hukum ekonomi. Namun, kalau kata industri diletakkan di depan
kata hukum, yakni industri hukum, tentu menimbulkan pertanyaan. Apakah istilah
itu dimaksudkan sebagai segala kegiatan untuk menjadikan hukum sebagai alat
pembangunan ekonomi? Kalau itu maksudnya, maka istilah ilmiahnya adalah politik
hukum, tepatnya politik hukum ekonomi, bukan industri hukum.
Politik hukum industri, misalnya, menjadikan hukum sebagai
independent variable yang mengarahkan dan mengatur kegiatan perindustrian.
Tetapi apa arti istilah industri hukum? Jaya tidak memberi definisi. Definisi
itu terlalu mewah dan biasanya menjadi santapan akademisi di kampus. Jaya
menjelaskan istilah itu dengan pengalamannya di lapangan. Dia berkisah, pada
suatu hari dia didatangi oleh seorang yang mengaku pengacara dan menawarkan
jasa untuk membuatkan perkara.
”Loh, perkara apa? Saya tak punya masalah untuk diperkarakan,”
jawab Jaya. ”Sebagai pengusaha Pak Jaya bisa saya buatkan perkara, misalnya,
menggugat perusahaan orang atau kita atur agar Pak Jaya digugat, kemudian Pak
Jaya menggugat balik. Dari sana Pak Jaya bisa mendapat banyak uang melalui
proses pengadilan. Itu bisa kita atur,” jawab pengacara itu.
Gila, kan? Silakan definisikan sendiri, kalau mau diakademiskan.
Jaya pernah juga menceritakan pengalamannya beperkara karena digugat oleh
seseorang. Saat maju ke pengadilan dia hadapi sendiri karena setelah
didiskusikan dengan para ahli hukum dia berada pada posisi yang sangat kuat dan
pasti menang. Tetapi, di pengadilan tingkat pertama kalah, di tingkat banding
juga kalah.
Saat akan kasasi Jaya ditawari oleh seseorang untuk mengurus dan
memenangkan perkaranya, asal menyediakan sejumlah uang tertentu. ”Loh, saya ini
benar, kenapa harus membayar?” tanya Jaya. ”Kalau Pak Jaya tak mau membayar
sejumlah itu, lawan Pak Jaya yang akan membayar dan mengambil kemenangan dalam
perkara ini. Ini kan bisa diatur,” jawab orang itu enteng.
Jaya Suprana menceritakan itu dalam diskusi tentang e-justice di
kantor Kementerian Ristek saat kementerian itu dipimpin oleh Gusti Muhammad
Hatta. Nah, kalau itu contoh yang dikemukakan oleh Jaya, maka industri hukum
berarti kegiatan profesi hukum yang menjadikan hukum untuk mencari keuntungan
dengan merekayasa hukum secara curang.
Hukum dijadikan sebagai dependent variable dalam kegiatan
merekayasa atau memanipulasi hukum untuk memperoleh keuntungan secara asal
untung, bukan secara benar menurut hukum. Apa yang dicontohkan oleh Jaya memang
banyak terjadi juga di jagat raya penegakan hukum kita. Saat duduk di Kabinet
Presiden Gus Dur (2001) saya mendapat cerita yang sama dari Baharuddin Lopa
(Menteri Kehakiman dan kemudian Jaksa Agung).
Katanya, berdasar penelitiannya, banyak pengacara yang menjadikan
hukum sebagai alat untuk merusak harmoni kehidupan masyarakat dengan mencari-
cari dan membuat-buat perkara agar punya kasus. Ada yang mendorong seorang
istri agar menyuruh suaminya menuntut ibunya agar segera membagiharta warisan
dari ayahnya. Ada juga yang mengipasi suami atau istri untuk menuntut cerai
dari pasangannya agar bisa mendapat harta gono-gini. Semua didorong oleh orang
yang mengaku bisa menangani perkara dan memenangkannya di pengadilan dengan
biaya tertentu.
Jadi, industri hukum ala Jaya adalah bagian penting dari mafia
hukum yang kita kenal selama ini. Di dalam industri atau mafia hukum yang
seperti itu bisa ada pengacara papan atas yang tidak perlu mengandalkan
keahlian, bahkan bodoh, di bidang hukum, melainkan hanya ahli membangun
jaringan politik berbau mafia. Dengan jaringan mafianya dia bisa mengatur siapa
yang akan menjadi penyidik di kepolisian, siapa jaksa penuntut dan apa
tuntutannya, dan siapa majelis hakim yang akan menangani perkara ini dan,
akhirnya, bagaimana vonisnya.
Contoh nyata tentang ini adalah kasus pegawai pajak Gayus Tambunan
yang sekarang sudah meringkuk di penjara. Selain Gayus semua penegak hukum yang
menangani kasus itu juga dipenjarakan karena bermafiaria. Pengacaranya
(Haposan), polisinya (antara lain Sumarni), jaksanya (Cirus Sinaga), dan
hakimnya (Ibrahim) semua masuk penjara setelah kasus itu dibongkar oleh Tim
Pemberantasan Mafia Hukum bentukan Presiden SBY waktu itu.
Kegiatan industri hukum atau mafia hukum yang seperti itu
disinyalir dan dirasakan masih banyak bergentayangan di jagat raya hukum kita.
Percayalah, kalau itu dibiarkan terus, Indonesia akan terpuruk dan terancam
runtuh. Ketidakadilan selalu menjadi sebab banyaknya kejahatan dan memodali
pembangkangan sipil yang mengarah ke disintegrasi. []
KORAN SINDO, 16 Januari 2016
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar