Dilema
Konstitusional Gafatar
Oleh: Moh
Mahfud MD
Bayangkan
ini. Mbok Supri diusir dari rumah dan kampungnya karena dituduh berbuat mesum
dengan suami orang. Padahal, dia tak punya rumah lain dan tak punya sanak
saudara.
Alangkah
buruk dan mengerikan jika ada orang atau sekelompok orang diserang dan diusir
dari rumahnya, padahal dia tidak punya tanah lain atau tempat lain yang bisa
menampungnya. Mau ke mana orang yang seperti itu? Mengeluh dan meminta tolong
pun tidak ada yang menghiraukan. Itulah sebabnya kita sangat kaget ketika
meluas berita bahwa pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Kalimantan
Barat diusir dari kediamannya, bahkan ada yang rumahnya dibakar.
Tetapi,
sebelum itu kita kaget juga dan sangat kesal ketika tahu bahwa Gafatar
merupakan organisasi ”sesat” yang mengatasnamakan agama, sangat merusak, bahkan
membahayakan sehingga kita menjadi paham jika banyak orang yang marah atau
emosional terhadap para pengikut Gafatar.
Masalahnya
memang sangat dilematis. Mengapa? Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945) memberikan jaminan kepada setiap orang untuk memilih
tempat tinggal sesuai dengan kehendaknya sendiri. Hal itu diatur di dalam Pasal
28E Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, ”Setiap orang berhak memeluk agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali”.
Berita
penyerangan, pembakaran rumah-rumah, dan pengusiran terhadap anggota Gafatar
oleh sekelompok warga masyarakat jelas melanggar hak asasi manusia sebagaimana
telah dipatri di dalam Pasal 28E UUD kita. Pematrian itu meniscayakan negara
memberi perlindungan kepada setiap orang yang mengalami pengusiran.
Kita tak
dapat membayangkan betapa buruk dan mengerikan nasib orang yang diusir dari
tempat tinggalnya, sementara dia tak mempunyai tempat lain yang bisa
ditinggali. Dalam kasus (bekas) anggota-anggota Gafatar misalnya, ada yang
sudah menjual semua lahan yang dimilikinya di Jawa (daerah asalnya) dan uangnya
sudah dibelikan lahan baru di daerah lain.
Sekarang
mereka diusir secara beramairamai dari lahan sempit satu-satunya yang mereka
miliki dan tinggali. Mau ke mana mereka? Siapa pun akan merasa ngeri menghadapi
persoalan berat yang seperti itu karena mereka bukan hanya hidup tak nyaman,
tetapi juga tak aman. Kita mendirikan negara merdeka agar tidak ada lagi di
negeri ini orang hidup tersiksa karena tak punya tanah dan tak punya harapan.
Tetapi,
dari sisi lain kita mencatat juga bahwa Gafatar merupakan perkumpulan sesat
yang membahayakan dan mengancam. Mungkin dengan berpedoman pada konstitusi
bahwa setiap orang bebas memeluk agama kita tidak boleh merepresi pengikut
Gafatar. Tetapi, gerakan mereka yang sangat menentang kemanusiaan memang bisa
dilawan oleh banyak orang sebab langkah-langkah mereka bukan hanya merugikan
mereka sendiri, tetapi juga merusak orangorang lain yang dirayunya dengan penuh
kesesatan.
Bayangkan
saja, banyak orang yang harus menghilangkan diri demi perjuangan yang diajarkan
oleh Gafatar. Banyak orang yang hilang dan pergi meninggalkan keluarganya, oleh
Gafatar diajak berjuang dengan memaksa pergi diam-diam dari suami atau
istrinya. Gafatar juga memaksa anak dipisahkan dari orang tuanya. Katanya demi
perjuangan suci.
Pada sisi
yang lain lagi harus diingat pula bahwa banyak orang yang ikut Gafatar karena
keadaan ekonomi kita yang buruk, timpang, dan tidak berkeadilan. Mereka tidak
memahami keadaan, tetapi tidak mampu menanggung beban. Mereka terperangkap
untuk mencari jalan baru atau membuat jalan sendiri untuk mengatasi
persoalan-persoalan berat yang dihadapi dalam hidup sebagai bangsa.
Kita sama
sekali tidak setuju pada tindakan anarkistis masyarakat yang beramai-ramai
menyerang dan mengusir anggota Gafatar karena hal itu jelasjelas bertentangan
dengan rasa kemanusiaan dan melanggar konstitusi. Tetapi, pada sisi lain kita
paham atas munculnya kemarahan masyarakat terhadap pengikut Gafatar karena
ajaran keyakinannya yang merusak.
Ada
dilema. Karena, selain memberikan perlindungan terhadap setiap orang untuk
memeluk agama masing-masing, konstitusi juga melarang setiap orang merusak
kehidupan masyarakat karena hak asasi orang per orang tak bisa dilaksanakan
secara terpisah dari hak masyarakat. Itulah sebabnya bahasa yang dipergunakan
dalam konteks kebebasan beragama dalam konstitusi kita adalah ”toleransi
beragama yang berkeadaban”.
Itu juga
yang dikatakan oleh Bung Karno dalam pidato di depan Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945. Dalam konteks ini
kita menjadi paham, mengapa pada 1965 Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan
Presiden Nomor 1 Tahun 1965 yang kemudian dikukuhkan menjadi UU No 1/PNPS/1965
yang berintikan larangan penistaan atau penodaan agama.
Kita
memahami pembentukan penpres yang kemudian dikukuhkan menjadi UU tersebut
didasarkan pada pandangan agar tidak ada orang dengan seenaknya melahirkan
ajaran yang kemudian disebutnya sebagai agama, padahal ajaran yang disebut
agama itu menyempal, menodai, dan merusak ajaran pokok dari agama yang sudah
ada.
UU
tersebut penting justru untuk melindungi warga negara dari tindakan main hakim
sendiri oleh warga masyarakat lain yang merasa keyakinannya dirusak. Kita harus
mendorong dan mendukung pemerintah untuk menyelesaikan masalah Gafatar ini
dengan berpijak pada kemanusiaan dan kewajiban konstitusional negara. []
KORAN
SINDO, 23 Januari 2016
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar