Kamis, 14 Januari 2016

Shambazy: Tentang ”Partai Juara”



Tentang ”Partai Juara”
Oleh: Budiarto Shambazy

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menyambut hari lahir yang ke-43 hari Minggu (10/1) esok dengan rasa sukacita berkat kesuksesan di pemilihan kepala daerah serentak, 9 Desember 2015. Menurut catatan, PDI-P memenangi 114 dari 264 daerah pemilihan, baik melalui pencalonan kepala daerah sendiri maupun melalui koalisi dengan partai-partai lain.

Tentu ada sejumlah alasan mengapa ”Moncong Putih” merebut gelar ”juara umum” pada pilkada serentak perdana ini. Salah satu alasan, ini sekadar carry over kesuksesan 2014 ketika PDI-P memenangi pemilihan anggota legislatif dan Joko Widodo memenangi pemilihan presiden.

Ada juga pandangan alasan kemenangan itu lebih karena figur yang populer, khususnya yang petahana, dan tersedianya ”gizi” mencukupi untuk pemilih. Dengan kata lain, PDI-P sebagai partai bukan menjadi entitas utama yang diincar pemilih saat mencoblos kertas suara.

Bermacam-macamlah teori yang berkembang mengenai yang terjadi dengan ”politik elektoral” kita tatkala pilkada serentak berlangsung. Hendaknya, PDI-P, juga partai-partai lain, segera mempelajari dalam rangka bersiap menyongsong pilkada-pilkada serentak mendatang.

Apa pun, rasanya adil untuk mengatakan salah satu alasan utama kesuksesan PDI-P yang tak bisa dikesampingkan adalah faktor kepemimpinan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Ibaratnya, dia, seperti pernah dikatakannya sendiri, masih tetap menjadi nakhoda pengendali kapal tanker yang mengarungi samudra luas yang sarat peluang ataupun tantangan.

Tak berlebihan mengatakan, PDI-P adalah Megawati, dan sebaliknya, Megawati adalah PDI-P. Ia membawa PDI-P sebagai partai perlawanan terhadap Orde Baru, menang telak pada Pemilu 1999, dikalahkan Golkar empat tahun kemudian, dan berada di urutan ketiga pada Pemilu 2009.

Terlalu banyak predikat superlatif yang dapat disebut untuk Megawati. Predikat yang cukup melekat, suka atau tidak, dia adalah figur politik nasional yang paling berpengaruh saat ini.

Megawati tentu tetap bertahan menyelesaikan tugas sebagai penggembala PDI-P sampai kongres 2020, saat usianya mencapai 73 tahun. Masihkah Megawati mencalonkan diri pada kongres empat tahun lagi atau sebaliknya, mulai dari sekarang mendapuk para calon pengganti?

Memang telah berlangsung lama terjadi debat tentang calon-calon pengganti dari ”kader biologis” ataupun ”kader ideologis”. Setidaknya sudah ada dua anak Megawati yang berkiprah di DPP PDI-P, yakni Puan Maharani dan Prananda Prabowo.

Dan, jumlah ”kader ideologis” tentu lebih banyak lagi. Seperti halnya partai-partai yang mengandalkan ideologi konservatif lainnya di mana pun di dunia ini, regenerasi di PDI-P berjalan relatif baik.

Ikatan dan kepatuhan

Kekuatan utama PDI-P, mungkin serupa dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), ada pada ikatan, pemahaman, dan kepatuhan kepada ideologi tunggal Soekarnoisme yang tidak pudar dimakan zaman. Itu sebabnya para politisi PDI-P terkesan kurang pragmatis—apalagi oportunis—dalam praktik day to day politics.

Tentu tidak ada yang salah dengan itu. Soekarnoisme yang antara lain diterjemahkan menjadi Trisakti/Nawacita itulah yang memandu para politisi PDI-P agar tidak terjerembap ke jurang pragmatisme/oportunisme ala ”papa minta saham”, misalnya.

Sayangnya, sepanjang 2014-2015, publik menilai PDI-P seperti menunjukkan sikap kurang mendukung Presiden Joko Widodo. Bukan rahasia lagi, sumber masalahnya berkaitan dengan rencana perombakan kabinet.

Sebagai partai pengusung terbesar, Megawati dan PDI-P pasti tahu apa yang mesti dilakukan untuk memperbaiki hubungan dengan Presiden. Ada kesempatan emas saat Presiden mengadakan sebuah pertemuan tertutup dalam rangka Rapat Kerja Nasional PDI-P pada 10-12 Januari 2016.

Pertemuan tertutup itu bisa dimanfaatkan sebagai ajang dialog terbuka, dari hati ke hati, dan produktif, dengan tujuan menjaga kelangsungan pemerintahan yang bekerja untuk rakyat. Pertemuan tertutup tersebut kemajuan pesat dibandingkan dengan peringatan HUT pada tahun silam ketika Joko Widodo, baik sebagai Presiden maupun kader partai, tidak berpidato.

Di lain pihak, Presiden barangkali membutuhkan bantuan yang lebih besar dan tulus dari PDI-P dibandingkan dengan sebelum-sebelumnya. Kegaduhan politik akibat akrobat sejumlah menteri telah menimbulkan kesan Presiden kurang mampu menjaga kekompakan kabinet.

Masih beruntung publik cenderung memisahkan antara ”Presiden” dan ”pemerintah”. Publik kurang peduli dengan kegaduhan politik selama Presiden tetap bernyali besar, merakyat, rajin bekerja, dan tidak ”main proyek”.

Untuk PDI-P, dan juga Presiden yang juga kader partai, selamat ulang tahun dan mengadakan rakernas! Sudah saatnya PDI-P kembali unjuk diri dan berlaku sebagai ”partai juara” yang mendulang medali-medali emas di pileg/pilpres 2014 dan pilkada serentak 2015. []

KOMPAS, 09 Januari 2016
Budiarto Shambazy  ;  Wartawan Senior Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar