Kontra
Terorisme dengan Pancasila
Oleh:
Yudi Latif
Aksi keji
terorisme kembali meledak di tengah kita. Seperti biasa, pemuka politik dan
masyarakat muncul melancarkan kecaman untuk kemudian tak berkutik hingga teror
kembali terjadi. Sesungguhnya terorisme adalah gejala permukaan dari kelalaian
bangsa ini dalam mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila. Seluruh teori sosial
tentang terorisme bisa diringkas premis-premisnya ke dalam lima prinsip
Pancasila.
Pertama,
terorisme itu mencerminkan kemiskinan kehidupan keagamaan. Semangat ketuhanan
dikembangkan tanpa keadaban nilai-nilai kasih sayang (rahman-rahim) yang jadi
kaidah emas semua agama. Modus beragama yang berhenti sebagai pemujaan
eksterioritas formalisme peribadatan, tanpa kesanggupan menggali interioritas
nilai spiritualitas dan moralitas hanya berselancar di permukaan gelombang
bahaya. Tanpa menyelam di kedalaman pengalaman spiritual, keberagamaan menjadi
mandul, kering, dan keras. Agama yang seharusnya membantu manusia untuk
menyuburkan rasa kesucian, kasih sayang, dan perlindungan justru acap memantulkan
rasa keputusasaan dan kekerasan dalam bentuk terorisme, permusuhan, dan
intoleransi.
Kedua,
terorisme mencerminkan relasi kemanusiaan pada tingkat global yang mengabaikan
hak-hak asasi manusia, rasa keadilan, dan keadaban. Globalisasi, selain memberi
kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan dan relasi antarmanusia, juga menciptakan
ketidakadilan distributif dan tercerabutnya manusia dari akar eksistensinya.
Dalam
pandangan Juergen Habermas, fundamentalisme-terorisme adalah reaksi terhadap
kegagalan sekularisasi dan ekstensifikasi rasionalitas instrumental atas dunia
kehidupan (Lebenswelt), yang membuat banyak komunitas tercerabut dari akar
kehidupan tradisionalnya. Fundamentalisme sebagai basis terorisme bukanlah
gerak kembali yang sederhana kepada cara yang pramodern dalam memahami agama,
melainkan lebih sebagai respons panik dan gagap menghadapi modernitas dan
globalisasi. Kepanikan ini ditandai resistensi diri terhadap prinsip kehidupan
global, yang termanifestasi dalam sikap religius yang menutup komunikasi dengan
dunia kehidupan, yang melahirkan kekerasan dalam wujud teror.
Ketiga,
terorisme itu mencerminkan pelumpuhan kapasitas kewargaan untuk menjalin
persatuan dalam keragaman. Studi- studi sosiologi agama menunjukkan
fundamentalisme sebagai akar terorisme mudah melanda pribadi-pribadi dengan
ruang pergaulan yang tertutup dan homogen. Isolasi sosial cenderung memandang
kebaruan dan perbedaan sebagai ancaman, yang melahirkan mekanisme defensif
melalui konsolidasi dan politisasi identitas.
Bagi
Indonesia, fundamentalisme ini mencerminkan adanya patologi dalam relasi
kebangsaan. Politisasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) secara
berlebihan di masa lalu membuat ekspresi dan wacana perbedaan menjadi tabu.
Akibatnya, sebagian besar warga hidup dalam kepompong budaya (SARA) yang
relatif seragam dengan mengembangkan sikap hidup monokultural. Padahal, bangsa
Indonesia sebagai masyarakat plural mestinya mengembangkan sikap hidup
multikultural, yang membudayakan warga untuk mengembangkan penyerbukan silang
budaya dan pergaulan lintas budaya.
Keempat,
terorisme itu mencerminkan penyimpangan dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Dalam visi demokrasi permusyawaratan, demokrasi memperoleh kesejatiannya dalam
penguatan daulat rakyat ketika kebebasan politik berkelindan dengan kesetaraan
ekonomi, yang menghidupkan persaudaraan dalam kerangka ”musyawarah-mufakat”.
Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak didikte oleh golongan
mayoritas (mayorokrasi) atau kekuatan minoritas elite politik dan pengusaha
(minorokrasi), tetapi dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya
rasionalitas deliberatif dan kearifan warga.
Dalam
praktiknya, sifat demokrasi permusyawaratan yang bersifat egaliter, imparsial,
dan inklusif itu tersisihkan oleh pengadopsian nilai-nilai demokrasi liberal,
yang membuat banyak komunitas tidak memiliki akses ke dalam proses pengambilan
keputusan formal. Kelompok-kelompok terpinggirkan dari gelanggang politik resmi
inilah yang kemudian menjadi penonton agresif, yang merasa perlu ”berteriak”
melalui aksi brutal untuk menarik perhatian publik.
Kelima,
terorisme itu mencerminkan ada persoalan dalam pemenuhan kesejahteraan dan
keadilan sosial. Melebarnya ketidakadilan dan ketimpangan sosial memberikan
lahan yang subur bagi pengembangbiakan radikalisme. Ketimpangan ini warisan
diskriminasi kolonial maupun rezim-rezim pemerintahan pasca kolonial. Sumber
ketimpangan sosial-ekonomi baru adalah konsekuensi dari globalisasi dan
penetrasi kapitalisme.
Di sini,
pergeseran ke arah sistem politik demokratis yang membawa serta gelombang
aspirasi neoliberal dalam perekonomian terjadi ketika tradisi negara
kesejahteraan belum berjejak. Penetrasi kapital dan kebijakan pro pasar di
tengah-tengah perluasan korupsi, serta lemahnya regulasi negara dan pelaku
ekonomi ”kebanyakan”, memberi peluang bagi bersimaharajalelanya ”predator-
predator” raksasa, yang cepat memangsa pelaku-pelaku ekonomi menengah dan
kecil.
Akibatnya,
kekayaan dikuasai segelintir orang yang meluaskan kesenjangan dan kecemburuan
sosial. Karena dalam masyarakat plural terdapat afinitas antara golongan budaya
dan kelas ekonomi, resistensi atas kesenjangan sosial pun bisa diartikulasikan
lewat bahasa-bahasa perbedaan SARA.
Singkat
kata, terorisme memang harus dikecam, tetapi selebihnya harus menjadi wahana
refleksi diri. Meski aksi teror memang meledak sekarang dan di sini, akarnya
menghunjam dalam dan lebar. Terorisme mencerminkan patologi sosial yang
ditimbulkan oleh ketidaksetiaan kita dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila.
[]
KOMPAS,
19 Januari 2016
Yudi Latif | Direktur Eksekutif Pusat Studi Pancasila Universitas
Pancasila
Tidak ada komentar:
Posting Komentar