Kesaksian Pendeta
Buhaira atas Kenabian Muhammad
Syekh Shafiyurrahman
Al-Mubarakfury dalam karyanya berjudul “Ar-Rahiqul Makhtum” berkisah, ketika
usia Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menginjak usia dua belas
tahun—ada pendapat mengatakan lebih 2 bulan 10 hari— sang paman Abu Thalib
mengajaknya melakukan perjalanan dagang ke Syam yang saat itu berada di bawah
kekuasaan bangsa Romawi.
Di gunung pasir
sambungan Jabal Hauran terdapat tempat bertapa dan puncak pasirnya dijadikan
tempat duduk. Di atas pasir itu pendeta sakti bernama Buhaira—dalam keterangan
lain disebutkan bernama Jurjis— duduk memperhatikan daerah pelataran tanah
Syam. Buhaira merasa heran melihat awan putih berjalan memayungi kafilah unta
yang sedang berjalan beriringan. Saat mereka berhenti di kaki gunung pasir
tempat pendeta itu duduk, lalu membuat perkemahan dan beristirahat di pinggir
kali yang kering, awan putih pun turut berhenti. Tidak lama kemudian awan putih
menghilang, diganti oleh pohon-pohon yang condong sehingga daun-daunnya bisa
dipegang.
Pohon dan daun yang
condong memayungi seorang anak yang sedang duduk beristirahat. Melihat hal itu,
batin Buhaira merasa yakin terhadap apa yang tertera dalam kitab bahwa akan
muncul seorang nabi terakhir untuk seluruh manusia dan akan diagung-agungkan
oleh semua orang. Tanda-tanda di depan mata itulah buktinya. Buhaira segera
turun dari gunung pasir dan memerintahkan kepada para pengiringnya untuk
mempersiapkan makanan dan minuman untuk menyambut para tamu.
Buhaira sendiri terus
bersembunyi dan memperhatikan tamunya yang sedang makan. Ia sebenarnya masih
bingung sebab di antara tamunya itu tidak ada seorang pun yang sesuai dengan
ciri-ciri yang disebutkan dalam kitabnya.
Ibn Katsir dalam
al-Sirah al-Nabawiyah menerangkan, sesudah jamuan selesai, Buhaira mendekati
Muhammad dan duduk dekat sekali, lalu berkata, “Demi Lata dan Uzza, aku ingin
mengetahui keadaanmu yang sebenarnya”, sengaja dia mengucapkan sumpah demi Lata
dan Uzza karena ingin mengetahui reaksi Muhammad.
Sayidina Muhammad
lantas berkata, “Bapak jangan sekali-kali menyebut demi Lata dan Uzza yang
sangat dibenci Allah!” Buhaira cepat-cepat menjawab, “Baiklah, demi Allah, aku
tidak akan berbuat itu lagi.”
Setelah Buhaira
berbincang-bincang tentang rumah, keluarga, impian-impian, dan hal-hal lain
pada diri Muhammad, rombongan tersebut mohon undur. Buhaira masih belum puas
akan bukti yang diterimanya. Tapi Allah memang ingin memperjelas bahwa Muhammad
adalah benar-benar seorang nabi. Ketika Muhammad berdiri, kerah jubahnya
tersingkap sehingga Buhaira melihat dengan jelas bahwa di pundaknya ada tanda
kenabian (khatim an-nubuwah) sesuai dengan isi kitab yang dibacanya.
Buhaira menjadi
semakin yakin dan segera mendekati Sayidina Abu Thalib untuk memberitahukan
tentang tanda-tanda kenabian Muhammad yang ada dalam kitab yang dia baca itu.
Abu Thalib langsung percaya sebab Buhaira memang sudah terkenal keilmuannya.
Buhaira memberikan pesan agar Abu Thalib menjaga Muhammad dan menganjurkannya
untuk segera membawa pulang, sebab yang akan mencelakakan Muhammad datang dari
orang Yahudi. Kalau mereka tahu bahwa nabi terakhir yakni Muhammad sudah lahir,
akan berbahaya bagi keselamatan Muhammad.
Dalam kitab
Al-Ma’arif sebagaimana dikutip oleh Ibn Katsir, Ibn Qutaibah mengatakan bahwa
sebelum kedatangan Islam, sebaik-baik orang pada masa Jahiliyah ada tiga
orang; (1) Buhaira, (2) Wara’ab ibn Barra’, (3) al-Muntadhar. Orang ketiga yang
al-Muntadhar bermakna “orang yang ditunggu-tunggu”, Ibn Qutaibah mengartikannya
sebagai Muhammad. Nabi terakhir bagi seluruh umat manusia yang diberikan mandat
untuk mengemban misi rahmatan lil ‘alamin. Wallahu a’lam. []
(M. Zidni Nafi’)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar