Prestasi Baru setelah Azra Pimpin
UI Negeri
Oleh: Dahlan Iskan
Kian banyak institut agama Islam negeri (IAIN)
yang berubah menjadi universitas Islam negeri (UIN). Yang memulai adalah IAIN
Jakarta. Lebih dari sepuluh tahun lalu. Disusul IAIN kota besar lainnya.
IAIN Surabaya, yang pernah bertekad tidak akan
pernah mau berubah menjadi UIN, akhirnya berubah juga awal tahun ini. Di bawah
kepemimpinan Prof Dr Abdul A’la yang asli Madura.
Kini gelombang baru menyusul: membuka fakultas
kedokteran (FK). Juga dimulai UIN Jakarta. Di zaman rektornya Prof Dr Azyumardi
Azra, intelektual muda (saat itu) yang sangat terkenal.
IAIN Jakarta memang selalu beruntung mendapat
rektor yang bukan hanya intelektual, tapi juga public opinion maker. Public
figure.
Rektor setelah itu, Prof Dr Komarudin Hidayat,
bahkan terkenal juga di lapangan-lapangan golf.
Rasanya baru rektor yang sekarang yang tidak dikenal
luas konsep-konsep pemikiran keagamaan, kebangsaan, dan kenegaraannya.
Minggu lalu saya ke UIN Malang. Diminta memberi
kuliah umum entrepreneurship. Mahasiswa membeludak. Sampai duduk di lantai
memenuhi sela-sela kursi di ruangan besar itu.
Mayoritas yang tampil ke panggung menyerbu saya
dengan pertanyaan adalah mahasiswi dari prodi akuntansi. Ada juga dari prodi
teknik. Tentu masih ada dari prodi syariah.
Sebagai orang yang pernah kuliah (lalu drop
out) di IAIN, saya kaget dengan perkembangan baru ini. Lalu membayangkan
seperti apa dampak jangka panjangnya.
Seperti apa struktur masyarakat Islam di
Indonesia 15 tahun ke depan. Apalagi setelah melihat menjamurnya
sekolah-sekolah swasta Islam yang bermutu internasional. Baik dari sayap
modernis maupun dari sayap tradisionalis. Seperti Al Azhar, Al Izzah, dan
banyak lagi.
Lihat juga munculnya semangat pondok-pondok
pesantren mengirim lulusannya untuk kuliah di Tiongkok. Ke depan tentu akan
lahir lapisan baru masyarakat Islam yang bakal sangat berbeda.
Kini UIN Makassar dan UIN Malang sedang
menyiapkan diri membuka FK. Mereka melihat kenyataan tetangganya sudah
melangkah lebih dulu. Seperti Universitas Muhammadiyah yang raksasa itu. Atau
Universitas Islam Malang (Unisma) yang kian cantik itu. Fakultas kedokterannya
kian mapan saja.
Melihat new hope seperti itu, saya mencari
nomor telepon Prof Azyumardi Azra. Sudah sangat lama saya kehilangan kontak
beliau. Saya ingin tahu asbabun nuzul ide dasar beliau mengubah IAIN dulu.
Ternyata beliau juga lagi mengajar di Unisma.
Prof Azra tentu bukan pemimpin biasa.
Setidaknya tiga terobosan besar beliau lakukan. Dia terobos aturan. Yang tidak
mungkin jadi terbuka. Pertama, dia paksakan untuk dapat izin membuka FK yang
mestinya tidak boleh.
Kedua, dia paksakan agar Jepang memberikan
bantuan yang cukup. Ketiga, dia paksakan Prof Dr dr M.K. Tadjudin yang baru
turun dari jabatan rektor Universitas Indonesia (UI) yang begitu bergengsi
untuk bersedia menjadi dekan sebuah fakultas baru di UIN.
Kalau ada moto “kemauan yang keras bisa
meruntuhkan gunung”, kemauan Prof Azra itu buktinya.
Prof Azra tahu membuka fakultas kedokteran
tidak boleh asal buka. Laboratoriumnya harus bagus dan lengkap. Dan itu mahal.
Tapi, beliau berhasil merayu pemerintah Jepang
untuk mengadakannya. Dengan alasan sebagai monumen abadi hubungan Jepang dengan
umat Islam Indonesia.
“Karena itu, lab FK UIN termasuk yang terbaik
di Indonesia,” kata beliau.
Kini FK UIN sudah meluluskan lebih dari 500
dokter. Hampir 50 persen berlatar belakang pesantren atau madrasah aliyah.
Prof Azra memang menginginkan kian banyaknya
dokter yang mengerti fikih Islam. Karena itu, mahasiswa baru FK UIN wajib masuk
asrama selama dua tahun pertama. Untuk mendapat pendidikan agama. Juga untuk tertib
ibadah, termasuk wajib salat malam.
Prestasi tahunan FK UIN tidak kalah dengan FK
universitas terkemuka. “Memang tidak pernah nomor satu, tapi hampir selalu
nomor dua,” ujar Prof Azra.
“Sudah sering mengalahkan UI,” tambahnya.
“Saking seringnya, UIN dikira UI yang negeri,”
guraunya mengutip gurauan di masyarakat.
Saat ini ada salah seorang mahasiswa di FK UIN
yang baru berumur 17 tahun sudah co-as. Artinya, dia sudah dokter muda.
Namanya: Gulam Gumilar. Itu berarti umur 20 tahun nanti Gulam sudah lulus
dokter. Anak ini waktu kelas II SD di Malang dikeluarkan dari sekolah. Nakal.
Suka mengganggu temannya dan naik-naik meja.
Setelah dibawa ke psikolog baru ketahuan:
IQ-nya 150. Memang, setiap kali ulangan, dia hanya perlu waktu sepuluh menit
untuk menyelesaikan. Teman-temannya perlu setengah jam. Akibatnya, dia lama
menganggur. Tidak bisa diam. Lalu ganggu-ganggu temannya.
Setelah dimasukkan ke SD Lab IKIP Malang, Gulam
lulus SD saat mestinya masih kelas IV. SMP dan SMA dia selesaikan masing-masing
dua tahun. Gulam memilih masuk FK UIN karena dua kakaknya juga lulus dokter
dari UIN.
Dan bapaknya, Prof Dr dr Sardjana (baca:
Sarjono), adalah wakil dekan di situ. FK UIN Jakarta telah menjadi inspirasi
UIN se-Indonesia. Demikian juga fakultas tekniknya.
Seorang rektor yang hebat ternyata begitu
langsung pengaruhnya pada perubahan dan kemajuan sebuah universitas. Sayang, di
beberapa perguruan tinggi masih sesekali terjadi salah pilih. (*)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar