Pajak dan
Peranan Kiai
Oleh: KH.
MA. Sahal Mahfudh
Adalah fenomena baru dan masih menimbulkan berbagai pertanyaan, jika masalah perpajakan dikaitkan dengan peranan kiai atau ulama. Pada umumnya para kiai belum banyak yang mengetahui tentang seluk-beluk perpajakan yang berlaku. Mengapa ada pajak, apa dasar penentuan wajib pajak, untuk apa hasil pajak dan apa standarisasi penentuan jumlah pajak yang dipungut? Semua itu belum banyak diketahui para kiai, meskipun dalam hal ini para kiai -hampir dapat dipastikan- telah mentolelir dengan sikap sedia membayar pajak yang telah ditentukan.
Sikap toleran seperti itu mungkin didasarkan, atas konsekuensi logis dari pendapat mereka tentang kewajiban nashbu al-imamah (menegakkan kepemimpinan) dan kewajiban mentaati Imam dalam hal yang menyangkut al-mashalih al-‘ammah (kepentingan umum). Sikap ini lalu mempengaruhi masyarakat muslim di tingkat bawah, yang pada umumnya juga aktif membayar pajak (paling tidak PBB), meskipun seringkali dirasa amat memberatkan.
Sikap ini akan berbeda bila dibandingkan dengan siasat sebagian masyarakat kelas menengah ke atas, yang justru mencari-cari jalan untuk menghindari pungutan pajak atau paling tidak meminimalkan jumlah pungutan pajak usahanya.
Bila kiai akan diperankan dalam perpajakan, maka dapat dipastikan, keterlibatannya hanya pada penyadaran para wajib pajak untuk membayar- kewajibannya. Dengan kata lain, para kiai hanya akan dibebani engkampanyekan perpajakan yang pola, sistem dan pengelolaannya telah ditetapkan. Ini berarti para kiai tidak dapat melakukan pendekatan partisipatif secara penuh, di mana beliau-beliau terlibat dalam perumusan konsepsi perpajakan. Pendekatan kepada kiai hanya dilakukan secara teknokratis dan dilakukan oleh sekelompok ahli. Pada gilirannya para kiai akan dilibatkan dalam pengerahan dan penyadaran pengumpulan pajak.
***
Terlepas dari istilah apapun dan batasan apapun dalam perpajakan di negeri ini, dari sudut pandangan (Islam) fiqih, apakah jizyah, khoroj, dloribah atau apakah PBB, PPn, PPh, retribusi dan lain-lain, peranan kiai hanyalah komplementer. Peranan seperti ini biasanya cenderung statis, apalagi bila tidak didukung keyakinan dan kebenaran atas substansi masalah yang akan diperankan. Akan fatal lagi bila paran kiai hanya akan diperankan sebagai legitimator seperti sering terjadi dalam berbagai kegiatan pembangunan yang menyangkut kepentingan masyarakat luas, yang dinilai menghadapi hambatan dari persepsi hukum fiqihnya.
Kiai dengan potensi yang dimiliki berupa ilmu fiqih, wibawa dan kharismanya di tengah masyarakat, selalu menjadi rujukan dan referensi. Namun potensi dasar itu mempunyai gradasi berbeda-beda dalam mengaktualisasikan dirinya di tengah transformasi sosial. Aktualisasi diri artinya memaksimalkan potensi dirinya untuk kepentingan masyarakat. Ini berarti, kiai dituntut peranannya dalam hal perpajakan dengan pendekatan timbal-balik, tidak sepihak.
Dengan motivasi saja tidak akan banyak berpengaruh atas kesadaran wajib pajak. Bahkan mungkin dapat mengakibatkan kecemburuan sosial dari pihak sasaran terhadap para kiai. Akan tetapi secara simultan, motivasi mesti dibarengi dengan pendekatan kebutuhan. Sehingga pada gilirannya, masyarakat terangsang memenubi kewajibannya sebagai warga negara setelah hak-haknya terpenuhi.
Pendekatan motivasi memerlukan kesamaan persepsi para kiai tentang perpajakan, tidak hanya dari sisi legalitas fiqih, tetapi juga menyangkut latar belakang kebijakan, sistem dan pemanfaatannya. Di samping itu kiai juga perlu memiliki wawasan politik. Mengingat kegiatan motivasi perpajakan ini pada dasarnya tidak lepas dari kebijakan politis yang sering diduga masyarakat -meski tidak sepenuhnya benar- bahwa pajak itu semata-mata kepentingan pemerintah, bukan untuk rakyat.
Sedangkan pendekatan kedua (kebutuhan) sulit dilakukan oleh kiai secara individual, hanya dapat dilakukan secara institusional. Tentu saja ini harus didukung oleh sistem manajerial yang baik dan sarana yang lengkap. Barangkali kiai dengan pesantrennya dapat difungsikan sebagai lembaga pendekatan kebutuhan dimaksud.
***
Personifikasi ajaran Islam bukan hanya ada pada ulama dan kiai, meskipun mereka adalah pewaris para Nabi. Namun begitu, peranan ulama dalam berbagai gerakan nasional yang memberi imbas pada pranata keagamaan Islam cukup banyak dan sangat bermakna. Peranan kiai lalu sarat dengan muatan kemaslahatan umat. Para ulama yang antara lain dicirikan oleh Imam Ghazali sebagai faqih fi mashalihi al-khalqi fi dunyaha, masih sering bersikap apriori terhadap apa yang disebut maslahah. Sehingga kadang-kadang peranan dan potensi itu ketika diperankan menjadi kurang tepat pada sasaran. Alkibat selanjutnya malah menimbulkan kesalahfahaman masyarakat, yang akan berpengaruh pada timbulnya degradasi kewibawaannya.
Karenanya, adalah sangat mendesak upaya pengembangan wawasan keagamaan Islam dan wawasan sosial di kalangan masyarakat muslim oleh para ulama dan kiai. Ini penting sebagai modal menentakan ukuran-ukuran mashlahah yang baku, berhubungan dengan masalah diniyah maupun dunyawiah yang tidak menyimpang dari kaidah al-kulliyyat al-khamsah. Hal ini sama pentingnva dengan konsepsi-konsepsi al-ma’ruf dan al-dirasat al-Islamiyyah al-ijtima'iyyah, yang nampaknya sangat diperlukan dalam konteks memerankan kiai dan ulama dalam proses kegiatan pembangunan nasional termasuk perpajakan.
Peranan ulama dan kiai dengan demikian tidak statis dan hanya menunggu permintaan dari pihak lain. Tetapi peranan itu akan menjadi lebih dinamis dalam setiap perubahan dan pengembangan yang terjadi. Bahkan lebih dari itu para kiai dengan potensi, peranan dan kepekaan sosialnya yang tajam akan menjadi pemandu terjadinya proses transformasi sejalan dengan era globalisasi. Ini berarti menuntut adanya kemampuan analisis terhadap perkembangan yang sedang terjadi untuk dapat ditindaklanjuti dengan rencana pengembangan yang antisipatif dan strategis.
Dalam konteks pajak, kiai tampaknya harus mengetahui bagaimana prosesnya, ke mana uangnya dipergunakan dan lain-lain. Kiai dengan demikian akan berperan lebih positif dalam persiapan sosial di masyarakat. Paling tidak kiai turut membentuk kepribadian muslim yang tangguh dan tanggap terhadap segala bentuk perubahan, memiliki sikap mental yang kuat tetapi lentur, tidak menutup mata terhadap realitas yang plural, tetapi sekaligus tidak silau terhadap berbagai bentuk inovasi dan modernitas yang semakin canggih dan spektakuler.
Peranan kiai seperti itu mutlak diperlukan oleh semua pihak, ketika muncul fenomena yang mengisyaratkan adanya sikap individualistik, materialistik dan konsumeristik akibat dominasi sektor ekonomi di satu sisi dan keterbukaan kultur di sisi lain.
Akhirnya, potensi apapun yang dimiliki kiai akan diperankan ke dalam proses kegiatan pembangunan, termasuk dalam kegiatan perpajakan. Pertanyaannya adalah, seberapa jauh porsi yang diberikan kepada kiai untuk itu? Apakah porsi yang akan diberikan cukup untuk mempengaruhi kebijakan pengambilan keputusan? Ataukah yang akan diberikan hanya satu porsi pemasaran dan sosialisasi kebijakan, di mana kiai tinggal mengkampanyekan kesadaran wajib pajak?.
Pilihan untuk mengetahui secara mendasar apa yang akan dilakukan, nampaknya merupakan jalan terbaik bagi kiai, untuk terlibat dalam pembangunan yang partisipatif. []
*) Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Tulisan ini pernah disampaikan pada halaqah RMI pada 28-29 September 1992 di Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar