Variasi Gaya Bercinta dan
Hukumnya
Seorang istri sebagaimana diterangkan dalam
surat Al-Baqarah 223 berlaku sebagai lahan yang boleh ditanami apapun oleh sang
suami. Meski demikian, Islam juga telah mengatur berbagai tata norma kehidupan
antara suami dan istri. Termasuk di dalamnya juga etika berhubungan intim.
Seperti yang diterangkan dalam kitab ‘uqudul lujain’ mengenai tatacara
melakukan huhbungan seks suami-istri.
Namun demikian di zaman globalisasi dengan
arus informasi yang semakin kencang dan terbuka, sangat mempengaruhi perilaku
manusia. Termasuk juga dalam melakukan variasi gaya dalam berhubungan seks
dengan pasangannya. Mereka yang telah banyak mendapatkan pengetahuan dan
informasi dari berbagai sumber mengenai gaya bersetubuh, tentunya ingin
menerapkannya dalam kehidupan seksualnya.
Jika keadaan ini dapat dipahami oleh pasangan
suami istri, tidaklah menimbulkan masalah. Akan tetapi jika terjadi keinginan
sepihak tentunya akan menimbulkan permaslahan. Nah bagaimanakah jika seorang
istri menolak untuk memenuhi tuntutan suami dalam melakukan variasi bercinta?
Apakah istri telah melakukan pembangkangan terhadap suami (nusyuz)?
Penolakan seorang istri terhadap permintaan
suami dalam melayani variasi bercintanya tidaklah termasuk dalam kategori
membangkan (nusyuz, dalam fiqih mengakibatkan hak suami berhak memberhentikan
nafkah kepada istriI) karena pada dasarnya kewajiban melayani hubungan seks
seorang istri adalah sewajarnya saja. Kecuali apabila seorang suami tidak bisa
mengeluarkan sperma tanpa variasi tersebut atau akan menyebabkan kerepotan yang
lain, maka bagi istri memenuhi permintaan suaminya tersebut hukumnya adalah
wajib. Selama bentuk variasi itu masih dalam kewajaran. Misalnya dengan
berbagai gaya (jurus cakar elang, hariamau menerkam dan lain-lain) atau sekedar
bermain-main dengan tangan dan jari-jari di wilayah mister v, atau menggunakan
tangan istri untuk mempermainkan dzakar dan lainnya. Akan tetapi jika
variasi itu telah melanggar norma agama, maka tidak wajib bagi istri untuk
menurutinya misalnya dengan menggunakan jalur belakang.
Demikian keterangan dalam kitab Fathul Muin
dan juga kitab-kitab lainnya semisal dalam al-Fatawy al-Fiqhiyyah al-kubra
karangan Ibnu Hajar al-Haytami:
الواجب
عليها هو التمكين من الوطء ولايجب عليها ما وراء ذلك مما هو معروف وان ترتب عليه
مزيد قوة لهمة الرجل وتنشيط للجماع هذا هو الذى يتجه ويحتمل أن يجب عليها ما يتوقف
عليه الانزال او مايترتب على تركه ضرر للرجل
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar