Rabu, 29 Oktober 2014

Cak Nun: Kemarahan Global dan Ngamuk Lokal



Kemarahan Global dan Ngamuk Lokal
Oleh: Emha Ainun Nadjib

Seorang pakar mengemukakan pendapat dan harapan yang dilandasi oleh budi lembut dan kemuliaan sosial: “Kenaikan harga BBM jangan membebani rakyat.” Inilah yang mengasyikkan di negeri kita. Meskipun dari jaman purba, sepanjang ilmu dan peradaban dunia hingga kehidupan akherat kelak 4 x 4 pasti = 16, kita masih optimistik dan berkata: “Kita berharap 4 x 4 tidak = 16.”

Kalimat berikutnya dari pakar kita itu adalah, “karena pada hakekatnya kenaikan harga BBM akan diikuti oleh harga barang-barang yang lain.”

Dua kalimat itu terkait satu sama lain, bersifat kausalitif, oleh kata ‘karena’ yang menyambungnya. Dua kalimat itu berada dalam satu frame logika. Sehingga kita sangat kagum kepada diri kita sendiri yang sanggup mendamaikan dua fenomena yang dari A sampai Z haqqul yaqin ‘ainul yaqin benar-benar bertentangan.

Seandainya tak ada kata ‘karena’ kita mungkin bersifat ‘berpikir lokal’. Pagi dan di sini berpikir 4 x 4 = 16. Sore nanti di sana kita berpikir: bisa saja tidak = 16. Kita sangat percaya kepada keajaiban, doa, tahayul.
Ketika di sekolah kita diberi logika dan keyakinan bahwa kalau harga minyak naik, maka rakyat tambah beban kesengsaraannya. Sesudah tamat universitas kita memahami suatu kosmos pasca logika bahwa belum tentu kenaikan harga minyak akan membebani rakyat, sehingga logis kalau kita berharap demikian.
Kondisi dan tradisi persepsi seperti ini yang sering memenuhi kepala kita. Indonesia adalah negeri surrealistik. Kita sangat mendamaikan dan mempersatukan apa saja. Kebenaran dan ketidakbenaran bisa berjalan seiring. Yang berbuat tidak adil bisa mempidatokan keadilan. Iblis dikerjasamakan dengan malaikat. Orang punya hutang, karena tak bisa bayar, maka demi mempertahankan hatinya sendiri ia menuduh orang yang menghutangi itu yang terhutang. Orang berbuat baik membantu orang lain, bisa malah kehilangan uang sekaligus kehilangan persaudaraan dengan orang yang dibantunya. Bahkan juga kehilangan kehormatan di wilayah tertentu karena orang beramal bisa tertuduh pencuri, sementara pencuri bisa diumumkan sebagai orang beramal. Dan kita jamin bahwa kita tetap damai-damai saja dengan itu semua.

Itu adalah kasus keputusasaan.

Penduduk dua desa di Kabupaten Jepara kita doakan jangan sampai jadi melaksanakan ‘perang suku’ sesudah tiga orang itu terbunuh. Yang satu desa membela korban, yang lain desa membela martabat kelompok penduduk desanya.

Kita sudah tiba kepada tingkat keputusasaan dan kemarahan global yang sangat serius. Namun kita tidak memiliki efektivitas untuk menyentuh pihak yang sebenarnya berkewajiban atas keputusasaan dan kemarahan kita. Energi kemarahan dua desa itu berasal dari situasi-situasi global yang tidak adil dan mengepung mereka. Namun karena mereka tak mampu berbuat apa-apa atas kekuatan global itu, maka potensialitas psikologis kemarahannya itu mengendap, menggumpal di bawah sadar—kemudian sewaktu-waktu akan muncrat dan yang ditimpa adalah sedulur-sedulurnya sendiri, semua orang tertekan dan menderita.

Selama setahun belakangan ini telah kita alami potensi dan kemarahan global, namun diekspresikan dalam amukan-amukan lokal. Tidak hanya kerusuhan di suatu kota, tapi juga kengawuran-kengawuran dalam pergaulan, perdagangan serta dalam menjalankan berbagai tugas hidup lainnya. Kita juga tak bisa jamin bahwa muncrat-muncratan lokal itu sudah usai.

Salah satu bentuk keputusan itu antara lain menimpa saya: Tidak diizinkan berbicara di Pekalongan dan Kudus karena ada asumsi bahwa saya turut menyulut kerusuhan di tempat itu beberapa waktu yang lalu. []

Tulisan diambil dari buku Kyai Kocar Kacir (Zaituna, Yogyakarta, 1999, hal. 104-106).

--

"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar