Kemarahan Global dan Ngamuk Lokal
Oleh: Emha
Ainun Nadjib
Seorang
pakar mengemukakan pendapat dan harapan yang dilandasi oleh budi lembut dan
kemuliaan sosial: “Kenaikan harga BBM jangan membebani rakyat.” Inilah yang
mengasyikkan di negeri kita. Meskipun dari jaman purba, sepanjang ilmu dan
peradaban dunia hingga kehidupan akherat kelak 4 x 4 pasti = 16, kita masih
optimistik dan berkata: “Kita berharap 4 x 4 tidak = 16.”
Kalimat berikutnya dari pakar kita itu adalah, “karena pada
hakekatnya kenaikan harga BBM akan diikuti oleh harga barang-barang yang lain.”
Dua kalimat itu terkait satu sama lain, bersifat kausalitif, oleh
kata ‘karena’ yang menyambungnya. Dua kalimat itu berada dalam satu frame
logika. Sehingga kita sangat kagum kepada diri kita sendiri yang sanggup
mendamaikan dua fenomena yang dari A sampai Z haqqul yaqin ‘ainul yaqin
benar-benar bertentangan.
Seandainya tak ada kata ‘karena’ kita mungkin bersifat ‘berpikir
lokal’. Pagi dan di sini berpikir 4 x 4 = 16. Sore nanti di sana kita berpikir:
bisa saja tidak = 16. Kita sangat percaya kepada keajaiban, doa, tahayul.
Ketika di sekolah kita diberi logika dan keyakinan bahwa kalau
harga minyak naik, maka rakyat tambah beban kesengsaraannya. Sesudah tamat
universitas kita memahami suatu kosmos pasca logika bahwa belum tentu kenaikan
harga minyak akan membebani rakyat, sehingga logis kalau kita berharap
demikian.
Kondisi dan tradisi persepsi seperti ini yang sering memenuhi
kepala kita. Indonesia adalah negeri surrealistik. Kita sangat mendamaikan dan
mempersatukan apa saja. Kebenaran dan ketidakbenaran bisa berjalan seiring.
Yang berbuat tidak adil bisa mempidatokan keadilan. Iblis dikerjasamakan dengan
malaikat. Orang punya hutang, karena tak bisa bayar, maka demi mempertahankan hatinya
sendiri ia menuduh orang yang menghutangi itu yang terhutang. Orang berbuat
baik membantu orang lain, bisa malah kehilangan uang sekaligus kehilangan
persaudaraan dengan orang yang dibantunya. Bahkan juga kehilangan kehormatan di
wilayah tertentu karena orang beramal bisa tertuduh pencuri, sementara pencuri
bisa diumumkan sebagai orang beramal. Dan kita jamin bahwa kita tetap
damai-damai saja dengan itu semua.
Itu adalah kasus keputusasaan.
Penduduk dua desa di Kabupaten Jepara kita doakan jangan sampai
jadi melaksanakan ‘perang suku’ sesudah tiga orang itu terbunuh. Yang satu desa
membela korban, yang lain desa membela martabat kelompok penduduk desanya.
Kita sudah tiba kepada tingkat keputusasaan dan kemarahan global
yang sangat serius. Namun kita tidak memiliki efektivitas untuk menyentuh pihak
yang sebenarnya berkewajiban atas keputusasaan dan kemarahan kita. Energi
kemarahan dua desa itu berasal dari situasi-situasi global yang tidak adil dan
mengepung mereka. Namun karena mereka tak mampu berbuat apa-apa atas kekuatan
global itu, maka potensialitas psikologis kemarahannya itu mengendap,
menggumpal di bawah sadar—kemudian sewaktu-waktu akan muncrat dan yang ditimpa
adalah sedulur-sedulurnya sendiri, semua orang tertekan dan menderita.
Selama setahun belakangan ini telah kita alami potensi dan
kemarahan global, namun diekspresikan dalam amukan-amukan lokal. Tidak hanya
kerusuhan di suatu kota, tapi juga kengawuran-kengawuran dalam pergaulan,
perdagangan serta dalam menjalankan berbagai tugas hidup lainnya. Kita juga tak
bisa jamin bahwa muncrat-muncratan lokal itu sudah usai.
Salah satu bentuk keputusan itu antara lain menimpa saya: Tidak
diizinkan berbicara di Pekalongan dan Kudus karena ada asumsi bahwa saya turut
menyulut kerusuhan di tempat itu beberapa waktu yang lalu. []
Tulisan diambil dari buku Kyai Kocar Kacir (Zaituna, Yogyakarta,
1999, hal. 104-106).
--
--
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar