Kelirumologi Keadilan Substantif
Oleh: Moh Mahfud MD
Ini masih lanjutan soal kelirumologi yang saya tulis pekan lalu dari
seminar bersama Jaya Suprana. Saya bisa menyebut satu contoh lagi, betapa
keliru memahami satu istilah seringkali menimbulkan kegaduhan.
Pada 2009, MK membatalkan satu hasil penetapan KPU tentang
keanggotaan DPR/ DPRD karena peraturan KPU yang mendasarinya batal. Kemudian,
seorang komisioner KPU menyatakan bahwa penetapannya tentang anggota DPR/ DPRD
terpilih tetap sah karena vonis MK berlaku ke depan (prospektif), tidak berlaku
surut (retroaktif). Terjadilah saling klaim antara parpol dan para caleg.
Rupanya komisioner KPU itu tak paham perbedaan arti ”batal” dan ”dibatalkan”
sebagai istilah hukum.
Menurut hukum, keputusan yang batal itu sifatnya extunc, artinya
konsekuensi dari peraturan/keputusan yang dinyatakan batal itu dianggap tidak
pernah ada. Ada pun jika pengadilan mengatakan ”membatalkan” maka sifatnya
ex-nunc. Artinya, keberlakuan keputusan/peraturan yang dibatalkan itu berhenti
sejak pengadilan membatalkannya, sehingga akibat-akibat dan/atau manfaat
peraturan/keputusan sebelum dibatalkan dinyatakan sah. Ya, banyak kegaduhan
karena kelirumologi atau kekeliruan dalam memahami istilah-istilah hukum,
termasuk kelirumologi wartawan dalam membuat berita.
Di luar istilah-istilah yang lebih teknis, kekeliruan acap terjadi
juga pada masalah yang cukup serius bahkan filosofis. Dalam sengketa pemilihan
umum (pileg, pilpres, dan pemilukada) di Mahkamah Konstitusi (MK) kerap muncul
perebutan kebenaran tafsir tentang ”keadilan substantif”. Misalnya pihak
pemohon mengatakan telah terjadi kecurangan yang dilakukan oleh termohon Komisi
Pemilihan Umum (KPU), karena membuat daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb) di
luar daftar pemilih tetap (DPT).
DPKTb yang dibuat di luar perintah UU itu oleh pemohon dianggap
sebagai pelanggaran terhadap konstitusi karena ternyata banyak disalahgunakan,
bahkan ditengarai ada mobilisasi pemilih tambahan dengan memanfaatkan DPKTb.
Maka itu, pemohon meminta agar, demi keadilan dan tegaknya konstitusi,
keputusan KPU tentang hasil pemilu dibatalkan oleh MK. Sebaliknya, pihak
termohon KPU menyatakan bahwa justru pembuatan DPKTb diperlukan demi keadilan.
Alasannya, banyak warga negara yang tidak bisa memilih karena
tidak terdaftar di dalam DPT, atau, karena sedang berada jauh dari tempat
pemungutan suara di mana dirinya terdaftar sebagai pemilih. Oleh sebab itu,
demi keadilan, menjadi tepat jika KPU membuat pengaturan tentang daftar pemilih
tambahan atau DPKTb itu sehingga hak konstitusional untuk memilih tidak
terhalangi oleh persoalan teknis-administratif. Di mana letak kelirumologi
dalam kontroversi ini? Ternyata kedua kubu yang punya argumen yang saling
bertentangan itu justru sama-sama berdalih ”demi keadilan”.
Yang satu mengatakan bahwa keadilan itu harus dibangun dengan cara
tidak membuat peraturan DPKTb di luar DPT karena bisa mengacaukan dan bisa
disalahgunakan, seperti mobilisasi pemilih fiktif dan pemilih ganda. Sementara
yang satunya mengatakan bahwa justru ”demi keadilan” itulah KPU harus membuat
peraturan DPKTb yang membuka peluang bagi warga negara yang tidak terdaftar di
DPT atau sedang berada di tempat lain untuk tetap bisa menggunakan haknya untuk
memilih.
Persoalannya kemudian merambah ke debat soal keadilan substantif.
Yang satu mengatakan bahwa demi keadilan substantif maka ketentuan yang ada di
dalam dan menjadi bunyi UU tak perlu disiasati dengan membuat peraturan ekstra,
agar tak membuka peluang bagi terjadinya kecurangan-kecurangan; sedangkan yang
satunya mengatakan bahwa demi keadilan substantif diperlukan peraturan ekstra
guna menampung mereka yang terhalang hak pilihnya karena tak tercantum di dalam
DPT.
Soalnya, apakah dalam keadilan substantif itu penegakan hukum
harus sama dengan bunyi UU (apa pun isinya), ataukah boleh keluar dari bunyi UU
yang isinya dirasa tidak mampu memberi rasa keadilan? MK sendiri sudah lama
mengampanyekan dirinya sebagai lembaga yang bekerja untuk menegakkan keadilan
substantif (substantive justice) , bukan sekadar penegak keadilan prosedural (procedural
justice) .
Di dalam istilah, keadilan substantif ini terkandung makna
filosofis bahwa hakim tidak harus dibelenggu oleh aturan-aturan
formal-prosedural atau bunyi UU. Hakim boleh membuat hukum sendiri di luar UU
jika UU yang ada tidak memadai atau tidak memberi rasa keadilan. Makna
filosofis yang seperti ini bisa dipahami, misalnya, dari pernyataan Bung Karno
ketika pada 10 Juli 1945 menyatakan di depan sidang BPUPKI bahwa prosedur
formalitet harus dibuang ke tong sampah jika tidak memberi manfaat.
Sikap MK seperti dinyatakan dalam vonis sengketa Pilpres 2009,
menegakkan keadilan substantif ”boleh” keluar dari bunyi UU yang tidak adil,
tetapi ”tidak harus” selalu keluar dari ketentuan atau isi UU. Selama rasa
keadilan masih bisa ditemukan di dalam UU, pengadilan harus memberlakukan isi
UU. Hakim, baru boleh keluar dari isi UU jika setelah digali sedemikian rupa,
rasa keadilan itu tetap tidak dapat ditemukan di dalamnya.
Jadi, penegakan keadilan substantif itu membuka peluang bagi hakim
untuk membuat vonis hukum sendiri di luar UU sesuai dengan rasa keadilan,
sekaligus membuka peluang untuk memberlakukan isi UU sepanjang bisa ditemukan
darinya rasa keadilan. Idealnya, keadilan substantif mempertemukan public
common sense dengan pasal-pasal UU dan/atau dengan keyakinan hakim dalam
memutus. []
KORAN SINDO, 27 September 2014
Moh Mahfud MD ; Guru
Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar