Esensi Ibadah Qurban
Oleh: Nasrulloh Afandi
--Pengorbanan tertinggi manusia adalah
mengikhlaskan sesuatu yang sangat dicintai semata-mata untuk dan karena Allah
SWT, meskipun sesuatu itu telah lama dinantikan dan baru saja didapatkannya.
Khazanah ini, bisa mengambil i’tibar
(perumpamaan) dari kisah keikhlasan jiwa besar Nabi Ibrahim AS, Ia telah
lama berdoa dan menantikan kehadiran seorang putra, namun ketika putra yang
telah lama Ia nantikan itu, baru saja Ia miliki dan telah tumbuh berusia
tiga belas tahun, malah justru datang perintah baru dari Allah SWT, untuk
menyembelih putranya sebagai qurban, Ia pun ikhlas menerimanya. Maka akhirnya,
semakin diangkatlah derajatnya di mata Allah swt.
Mengorbankan Kepentingan Keluarga
Nabi Ibrahim AS adalah sang promotor yang
mengajak umat manusia untuk mengorbankan kepentingan pribadi dan keluarganya
demi untuk kepentingan yang lebih luas atas dasar kebenaran (agama) sehingga Ia
pun tanpa ragu, tanpa menunda-nunda, langsung dengan ikhlas menuruti
(Kebenaran) perintah Allah swt untuk menyembelih putranya.
Ia bersikap mengedepankan kepentingan agama
(kebenaran di ruang publik) dan untuk ummat, meski harus mengorbankan
putranya.- Subhanallah-. Meskipun akhirnya putranya tidak jadi disembelih,
karena Allah SWT mengutus malaikat untuk menggantikan Nabi Ismail AS dengan
kambing untuk disembelih.
Syeikh Tohir Bin Asyur Sang penggerak
lokomotif Maqashid Syariah modern, dalam magnum opusnya, kitab “Tafsir
At-Tahrir wat-Tanwir”, ia mengomentari tentang perintah Allah swt kepada Nabi
Ibrahim as untuk menyembelih putranya ,yang dibadikan dalam al-Quran(QS
As-Shaafaat 102-109) : “Sejatinya Allah swt tidaklah akan mensyariatkan kepada
Nabi Ibrahim untuk menyembelih putra semata wayang kesayangannya yang telah
lamadinantikannya itu, tetapi perintah tersebut hanyalah upaya Allah swt
menguji kualitas keimanan untuk menetapkan dan mengangkat derajatnya Nabi
Ibrahim as, bersedia atau tidakkah mengorbankan putranya itu. Terbukti, setelah
Nabi Ibrahim dan putranya pun bersedia(bersabar) untuk melaksanakn perintah
tersebut, kemudian Allah swt pun menggirim kambing untuk disembelih,
sebelum Nabi Ibrahim melaksanakan atau menyembelih putranya”.
Inilah esensi disyariatkan ibadah qurban,
pada tahun kedua Hijriah, yaitu tahun bebarengan dengan
disyariatkan(diperintahkannya) Dua salat Id dan zakat harta, itu.
Ekslusivisme Ibadah Qurban
Faktor yang menjadi pijakan ibadah qurban,
setidaknya ada dua hal:
Pertama; Untuk mengenang kebesaran jiwa
antara seorang ayah yang bernama Nabi Ibrahim AS yang sangat berjiwa besar dan
ikhlas rela mengorbankan kpentingan pribadi dan keluarganya, terbukti Ia pun
bersedia melaksanakan perintah meneyemeblih anaknya atas dasar kebenaran (dari
perintah agama).
Kedua; Mengenang kesabaran dan ketaatan
Sang anak (birrul walidain) yang sangat berbakti pada orang tuanya, Ia
bernama Nabi Ismail as yang ikhlas mau disembelih sebagai qurban oleh ayahnya
dengan landasan kebenaran(Firman Allah swt).
Karena dua faktor ini pula, ibadah Qurban
mempunyai ekslusivisme, diantaranya, memotong hewan Qurban, adalah harus
dilakukan pada waktu yang telah ditentukan oleh syariat, yaitu empat hari:
Tanggal 10 Dzulhijjah (setelah shalat ‘Id) dan tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah
(tiga hari sesudahnya) yang dikenal dengan Ayyamutasyriq.
Hal ini, yang membedakan antara penyembelihan
hewan Qurban dengan (ibadah) penyembelihan hewan lainnya. seperti menyembelih
hewan aqiqah, atau juga memotong hewan ternak untuk pesta pernikahan atau
menjamu tamu, atau memotong hewan karena memenuhi nazar, atau hewan Dam(denda)
yang disembelih oleh orang yang berhaji Tamattu, atau haji Qiran, namun itu
semua berbeda dengan memotong hewan Qurban dalam momentum Idul Adha ini. Karena
amalan-amalan trsebut, bisa dilaksanakan kapanpun.
Inilah dimensi ekslusivis Ibadah qurban dari
syiar Islam lainnya yang berupa ibadah menyembelih(hewan)
Bagaimana Berqurban di Ruang Publik?
Betapa pun sesuatu hal yang sangat dicintai
dan telah lama diharapkan, dan baru saja dimiliki, tetapi ketika Perintah
Tuhan(kebenaran di ruang Publik) menyerukan untuk mengorbankan hal itu, maka
harus ikhlas dikorbankannya.
Dalam konteks ini, implementasinya, dalam
kehidupan sosial sehari-hari, dengan tidak terbatas waktu, musim atau tempat,
kapan dan dimanapun, jelas membantu orang-orang membutuhkan adalah sebuah
tuntutan kebenaran yang harus dilakukan. Sebagaimana Nabi Ibrahim ikhlas
mengorbankan putranya, meski masih dalam keadaan “bulan madu” bersama putra
kesayangannya.
Di berbagai lini aktivitas sosial, hal ekonomi,
pendidikan, keadilan, politik dan kebebasan berpikir, itu semua adalah bagian
dari hal-hal yang perlu pengorbanan, wajib dilakukan oleh orang-orang
mampu untuk melakukannya , berkewajiban untuk berqurban demi membantu
mereka yang membutuhkan. Bukan sebaliknya, orang yang lebih kuat atau
berkecukupan justeru mengorbankan orang yang lebih lemah atau kekurangan
dijadikannya sebagai tumbal angkara ambisi mereka yang kuat.
Jika hal ini bisa terlaksana di kancah
kehidupan sosial bermasyarakat, maka kronisnya penyakit moral berupa:
“Mengorbankan kebenaran yang merugikan publik, demi tercapainya hal-hal ambisi
pribadi , keluarga dan golongannya”, secara estafet, penyakit tersebut akan
tergusur. Bahkan niscaya event Idul Adha ini, maka secara estafet akan mampu
dijadikan Pijakan Strategis Reorientasi Totalitas Moralitas Bangsa, dari
keterpurukannya yang kian bertambah akut ini.
Teladan dari Nabi Ibrahim AS ini, memang
tentu sangatlah langka untuk kita temukan dalam kehidupan bangsa Indonesia
tercinta itu, utamanya yang menjangkit kalang elite pemerintah negeri tercinta
dasawarsa ini.
Di sisi lain, skandal moral, yang menjangkit
totalitas bangsa kita itu, di berbagai lini aktivitas kehidupan bangsa
Indonesia ini, dengan semakin langkanya jiwa-jiwa sosial, egoistis merajalela,
mencari rezeki dengan menghalalkan segala cara. Kebenaran dan kemanusian
dikorbankan, -- parahnya lagi kerap mengklaim sebagai pejuang publik---
meski sejatinya demi hanya untuk mengedepankan tercapainya ambisi pribadi dan
keluarga atau maksimal golongannya belaka.
Analisis (tafakkur) berbagai unsur nilai
ruhaniah (spiritualitas) yang terkandung, atas disyariatkannya ibadah qurban
ini. Adalah sebuah pijakan awal untuk langkah menempa setiap individual manusia
(Pasca Idul Adha) dengan hal-hal positif, dengan metode mengambil I’tibar(
Teladan) dari apa yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS
putranya.
Semangat Idul Adha atau hari raya Qurban ini,
sudah semestinya “menjadi start awal” medan memerangi nafsu angkara
ambisi, dan kedzoliman (kesewenang-wenangan) yang telah subur bercokol di ruang
publik tanah air kita ini, dengan cara “menyembelih” kenaifan-kenaifan
tersebut, dan kembali kepada semangat autentisitas berqurban sejati, yaitu
berkorban untuk mengedepankan kebenaran, kepentingan luas, dan meminggirkan
kepentingan sempit, demi terwujudnya kemaslahatan yang lebih luas. []
Nasrulloh Afandi, Wakil Ketua Yayasan Pondok
Pesantren Asy-Syafi’iyyah, Kedungwungu, Indramayu Timur, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar