Reorientasi Dakwah
Oleh: Muhammad Zidni Nafi’
--Dakwah selama ini dipahami terlalu
dipersempit. Orientasi dakwah tidak selalu untuk mengajak masyarakat agar
disiplin dalam melaksanakan ritual ibadah. Tetapi dakwah juga dapat digerakkan
bisa dikembangkan pada bidang-bidang kemasyarakatan, dalam konteks ini dakwah
sebagai media untuk memberikan stimulan kepada masyarakat agar tergugah untuk
mendidik, membangun, mengembangkan dirinya sehingga dapat memanfaatkan segala
potensi dan lingkungan disekitarnya.
Muncul pertanyaan, mampukah “dakwah” menjawab
problem di atas? Lazimnya, seorang tokoh agama yang sudah mempunyai wibawa
sehingga masyarakat bakal meng’iya’kan apapun kata tokoh agama tersebut. Inilah
salah satu peluang untuk mengajak masyarakat dengan dakwah-dakwah khusus yang
membangunkan mental-mental kemandirian masyarakat.
Dakwah dan Orientasi
Dakwah dalam pengertian bahasa berarti
mengajak, menyeru, memanggil. Berangkat dari pengertian bahasa itu, lalu
dihubungkan dengan nash (teks) Al-Qur’an dan hadist yang berkaitan dengan
dakwah Islamiah, Syaikh Ali Mahfudh dalam karyanya yang berjudul Hidayah
al-Mursyidin menetapkan definisi dakwah sebagai suatu usaha mendorong
(memotivasi) untuk berbuat baik, mengikuti petunjuk (Allah), menyuruh orang
untuk mengajarkan kebaikan, melarang mengerjakan kejelekan, agar dia bahagia di
dunia dan akhirat (KH. MA. Sahal Mahfudh, 2012: 105).
Dari situ dapat dipahami, bahwa dakwah
merupakan usaha sadar untuk mengajak orang lain bagaimana untuk meraih tujuan
dengan jalan berbuat baik dan meninggalkan keburukan. Melakukan dakwah pada
dasarnya adalah memberikan motivasi kepada orang lain yang memerlukan
perhatian. Jelas bahwa orientasi dakwah tidak lain adalah untuk tercapainya
kesejahteraan dan kebahagiaan dunia hingga akhirat (sa’adatuddarain). Dalam
konteks ini, tentu dakwah yang dimaksud bukanlah dakwah yang sifatnya
konvensional, namun diarahkan pada dakwah-dakwah pemberdayaan masyarakat.
Sayangnya, tidak banyak dari para tokoh agama
yang subtansi dakwahnya memotivasi masyarakatnya dalam membangun mental dan
menggiatkan usaha untuk tercapainya kemandirian sosial maupun ekonomi. Monoton,
normatif bahkan dogmatis yang nampak dalam dakwah yang selama ini kebanyakan
dijalankan oleh para tokoh dakwah. Padahal dakwah merupakan media yang bagus,
netral dan efektif, karena langsung menyentuh dan sudah melekat dalam ritual
keagamaan masyarakat.
Masyarakat sebagai sasaran utama dakwah
terbawa nuansa-nuansa dakwah yang biasanya terpaku pada dimensi rohaniah. Di
samping juga kelemahan masyarakat itu sendiri untuk mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari. Pelaku dakwah tentu harus tahu persis kebutuhan dakwah
yang dibutuhkan oleh suatu kelompok masyarakat. Begitu pula mereka harus
menggali potensi-potensi (manusia, alam dan teknologi) yang dapat dimanfaatkan
untuk menunjang kebutuhan kelompok, baik kebutuhan jangka pendek maupun jangka
panjang, maupun kebutuhan yang mendesak atau mendasar.
Berangkat dari premis-premis di atas, dapat
dipahami bahwa dakwah harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sasaran.
Dalam konteks ini, KH. MA. Sahal Mahfudh atau yang akran disapa Mbah Sahal
memberikan perhatian lebih dalam materi dakwah juga perlu dipilah, antara
ritual keagamaan dan semangat pemberdayaan. Pemilahan materi dakwah penting
untuk diperhatikan. Apabila dakwah berorientasi pada pemenuhan kebutuhan
kelompok, maka dibutuhkan pendekatan yang partisipatif, bukan pendekatan
teknokratis. Artinya, disamping memotivasi, masyarakat juga diajak untuk
bergerak melaksanakan materi dakwah pemberdayaan yang sudah disampaikan.
Dengan pendekatan itu, kebutuhan masyarakat
sasaran dakwah yang akan diberdayakan oleh para motivator dakwah (kader) akan
berjalan beriringan antara materi dan praktek. Pendekatan seperti ini
memerlukan monitoring yang up to date sebagaimana yang kini dikembangkan oleh
Lembaga Swadaya Masyarakat yang populer disebut “riset aksi”.
Dengan demikian, dakwah yang tidak dilakukan
dengan perencanaan global yang turunan dari atas (top down), yang kadang-kadang
sampai di bawah tidak menyelesaikan masalah. Perencanaan model top down sering
mengabaikan pemetaan masalah, potensi, dan hambatan spesifik berdasarkan
wilayah atau kelompok, jenis kelamin, dan sebagainya.
Tipe masalah satu kelompok masyarakat lain di
tempat yang berbeda. Dakwah inilah yang sekarang Sahal Mahfudh sebut dengan
dakwah bil hal atau dakwah pembangunan, atau dakwah bil hikmah menurut istilah
di Al-Qur’an. Seperti yang tercantum dalam surat al-Nahl ayat 25, “Serulah
manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah
mereka dengan jalan yang baik”.
Orang menyebut dakwah bil hal, barangkali
merupakan koreksi dakwah selama ini yang banyak terfokus pada dakwah mimbar
yang monoton dari sisi penerimaan pembicaranya, sementara dana dan daya habis
untuk kegiatan semacam itu tanpa ada arti perubahan berarti.
Namun kalau melalui dakwah bil hal atau
dakwah bil hikmah, apakah dakwah bil lisan atau mau’izhah hasanah ditinggalkan?
Sama sekali tidak. Sebab harus tetap ada dakwah model mau’izhah hasanah. Karena
dakwah yang dicontohkan Mbah Sahal seperti dakwah di atas mimbar tetap penting
dalam konteks-konteks tertentu. Juga tidak ditinggalkan metode dakwah yang
lainnya, misalnya mujahadah, seperti forum dialog, seminar, simposium, atau
diskusi-diskusi.
Metode Penunjang
Melihat sasaran dakwah yang begitu luas,
sementara perkembangan teknologi begitu pesatnya, maka dalam menjalankan dakwah
juga perlu menggunakan media yang sesuai dengan selara sasaran dakwah. Jika
diklasifikasikan bisa ditinjau dari umur, status sosial, tingkat pendidikan,
dan kebutuhan kelompok sasaran itu sendiri. Karena dakwah yang berorientasi
pada sasaran itu tidak pada ‘ruangan’ yang hampa. Ruangan sudah terisi budaya,
sistem nilai, teknologi dan perundang-undangan yang sudah mengakar.
Pembangunan masyarakat adalah proses dari
serangkaian kegiatan yang mengarah pada peningkatan taraf hidup dan
kesejahteraan masyarakat. Setidaknya ada kesamaan antara keduanya. Ia sama-sama
ingin mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat atau sekelompok
sasaran. Dan ia sama-sama meningkatkan kesadaran dari perilaku dari perilaku
tidak baik untuk berperilaku yang baik.
Pada akhirnya, dakwah yang tidak memenuhi
selera sasaran dan tujuan, meskipun berjalan, tetapi ibarat berjalan di tempat,
atau dengan kata lain, maju tidak, mundur bisa jadi. Hal ini karena orientasi
pembangunan negara untuk kepentingan masyarakat, harus lebih diutamakan,
bukannya pengembangan sumber daya manusia yang tinggi maupun penguasaan teknis
hanya untuk memenuhi kebutuhan modernisasi.
Dengan kata lain, bukan modernitas yang lebih
dikejar melainkan terpenuhinya rasa keadilan dalam kehidupan bermasyarakat yang
harus diutamakan. Kehidupan modern yang penuh kenikmatan bagi sekelompok orang
bukanlah sesuatu yang dituju Islam, melainkan kesejahteraan bagi seluruh
penduduk. Prinsip ini sangat menentukan bagi keberlangsungan hidup sebuah
negara (Abdurrahman Wahid, 2006: 96).
Hemat penulis, metode dan materi dakwah
haruslah disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan objek itu sendiri. Dakwah
bukan lagi cara orang untuk meyakinkan orang lain untuk percaya kepada Tuhan
yang Haqq, tetapi untuk menggerakkan masyarakat akan menjadi hamba Allah dan
warga negara yang terampil, kreatif mandiri dan mempunyai orientasi hidup yang
progresif. []
Muhammad Zidni Nafi’, alumni Ma’had Qudsiyyah
Kudus, mahasiswa jurusan Tasawuf Psikoterapi UIN Sunan Gunung Djati Bandung,
kontributor NU Online Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar