UU Mati, Perppu Tak Hidup
Oleh: Moh Mahfud MD
Akun Twitter saya @mohmahfudmd dibanjiri pertanyaan: Benarkah jika
Perppu No. 1 Tahun 2014 ditolak oleh DPR bisa menimbulkan kekosongan hukum
dalam mekanisme pemilihan kepala daerah? Karena tak mungkin menjawab itu
melalui Twitter, saya tulis pokok-pokok analisisnya melalui Kolom ini.
Menurut Pasal 22 UUD 1945 jika terjadi keadaan genting dan memaksa
Presiden dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti
Undang-Undang (Perppu). Perppu adalah satu bentuk peraturan perundang- undangan
yang hierarkinya sejajar dengan UU. Alasan genting dan memaksa merupakan hak
subjektif Presiden, ditentukan sendiri oleh Presiden tanpa ukuran objektif yang
ditentukan di dalam UU. Tetapi melalui putusan No..... Mahkamah Konstitusi
menentukan tiga rambu alasan untuk dikeluarkannya sebuah Perppu dengan alasan
genting dan memaksa: (1) Karena kekosongan hukum atau tidak adanya UU yang
mengatur tentang hal yang harus segera diselesaikan berdasar UU;
(2) UU yang ada tidak dapat dipergunakan; (3) Situasi atau waktu
sangat mendesak sehingga tidak memungkinkan untuk dibuat UU secara norma.
Karena hierarkinya sejajar dengan UU padahal hanya dibuat sendiri oleh
Presiden, masa berlakunya Perppu terbatas hanya sampai pada masa sidang DPR
berikutnya. Pada masa sidang berikut itu DPR harus melakukan political review
atau legislative review atas Perppu tersebut, apakah akan disetujui atau akan
ditolak. Jika Perppu itu disetujui oleh DPR maka ia menjadi UU tetapi jika DPR
menolak Perppu tersebut maka ia dinyatakan tidak berlaku.
Perppu No 1 Tahun 2014 lahir bukan karena kekosongan hukum,
melainkan mengosongkan hukum yang sudah ada dulu (mencabut UU Pilkada) untuk
kemudian baru mengisinya dengan Perppu. Hal ini secara yuridis bisa menimbulkan
problem kekosongan hukum jika ternyata DPR kelak menolak Perppu tersebut. Sebab
pada saat dikeluarkan Perppu itu berlaku secara sah dan dengan itu secara sah pula
mencabut keberlakuan UU No. 22 Tahun 2014. Maka itu jika DPR kelak menolak
Perppu tersebut bisa terjadi kekosongan hukum karena UU No. 22 Tahun 2014 sudah
dimatikan (dicabut), sedangkan Perppu yang menggantikannya tak bisa dihidupkan
karena ditolak DPR.
Ada yang mengatakan, jika DPR menolak Perppu tersebut maka UU yang
sudah dimatikannya otomatis hidup kembali. Pandangan ini bisa benar dalam
bidang hukum perdata, tetapi menurut saya kurang tepat kalau diberlakukan untuk
hukum tata negara. Perppu yang direviu di DPR itu bukan tidak sah, melainkan
ditolak untuk dijadikan UU. Adapun sebelum ditolak ia berlaku secara sah
sehingga sah pula saat mencabut UU No. 22 Tahun 2014. Harus diingat, keputusan
DPR dalam mereviu Perppu hanya berisi menerima atau menolak, tak bisa menolak
sebagian, menerima sebagian atau menerima dengan perbaikan.
Untuk memberlakukan lagi sebuah UU pun DPR harus melalui
pembahasan lagi dari awal, melalui kesepakatan politik, memasukkannya ke dalam
Prolegnas, dan membahas sesuai dengan tahapantahapan yang tersedia. Memang baru
pertama ini sebuah Perppu langsung mencabut sebuah UU yang mengatur
masalah-masalah rutin yang masih eksis, sehingga membuka risiko terjadinya
kekosongan hukum jika Perppu tersebut ditolak oleh DPR. Maka itu, untuk jangka
panjang, perlu penyediaan instrumen hukum untuk mengantisipasinya.
Ada yang mencontohkan bahwa MK sudah pernah membuat putusan
menghidupkan lagi UU Ketenagalistrikan setelah terlebih dulu MK menyatakan
batal UU Ketenagalistrikan yang baru. Ini tentu hal yang berbeda sebab yang
dilakukan MK adalah proses yudikatif, bukan legislatif seperti di DPR dalam
melakukan reviu atas Perppu. Sebagai lembaga peradilan, demi kemanfaatan hukum,
MK bisa saja memutus hal seperti itu. Di dalam proses peradilan memang ada
istilah membatalkan (ex nunc) dan istilah menyatakan batal (ex tunc).
Kalau menyatakan membatalkan maka putusan itu bersifat prospektif
(berlaku ke depan sejak diputus), tetapi kalau menyatakan batal maka putusan
itu berlaku retroaktif (berlaku ke belakang sejak ditetapkan) sehingga
peraturan/ keputusan yang disengketakan dianggap tidak pernah ada dan
keputusan/ peraturan yang lama bisa dihidupkan lagi melalui amar putusan. Itu
tergantung pada bagaimana pilihan vonis pengadilan, apakah mau memalakan atau
menyatakan batal. Tetapi yang kita bicarakan tentang sudah matinya UU dan tak
bisa hidupnya Perppu ini adalah dalam konteks political/legislative review di
DPR, bukan judicial review.
Kemungkinan terjadinya kekosongan hukum tentang Pilkada karena UU
sudah mati dan pilkada tak bisa hidup itu untuk perkembangan politik terbaru
sekarang ini memang lebih mungkin tidak terjadi. Sebab sejak keluarnya Perppu
tersebut, parpol-parpol yang kemarin getol memperjuangkan dan memenangkan
pemilihan melalui DPRD tampaknya tidak menolak; bahkan banyak yang
mengisyaratkan akan menerimanya. Tetapi hal tersebut tetap penting didiskusikan
secara akademis untuk mengantisipasi masalah yang mungkin, suatu saat,
tiba-tiba muncul sehingga perlu instrumen hukum. Di dalam UU tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, misalnya, perlu dicantumkan larangan
Perppu langsung mencabut UU melainkan hanya boleh menangguhkan berlaku UU
sampai selesainya pembahasaan atau pengujian Perppu tersebut oleh DPR. []
KORAN SINDO, 11 Oktober 2014
Moh Mahfud MD ; Guru
Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar