Dakwah
yang Partisipatif
Oleh: KH.
MA. Sahal Mahfudh
Manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Allah di atas makhluk yang lain, dititahkan sebagai khalifah Allah dalah kehidupan di muka bumi ini. Pengertian khalifah atau pengganti, berfungsi penugasan dan pembebanan (taklif) kepada manusia untuk melaksanakan tugas-tugas kehidupan di dunia ini. Dalam hal ini manusia dibekali potensi dan kekuatan fisik dan kekuatan berpikir. Manusia diberi kemampuan menggunakan akal dan pikiran secara penuh. Ini tidak berarti bahwa akal manusia adalah satu-satunya potensi absolut yang mampu memecahkan segala persoalan hidupnya, karena manusia juga diberi rasa dan nafsu yang saling mempengaruhi dalam setiap proses pengambilan keputusan atau penegasan sikap. Bahkan kecenderungan nafsu ke arah negatif pada umumnya lebih kuat, terutama bila pikir dan rasa manusia tidak mampu mengendalikan.
Manusia -oleh karenanya-dalam kehidupan sosial dituntut dan bertanggung jawab untuk mengajak mengerjakan ma'ruf sekaligus meninggalkan kemungkaran. Ini berarti manusia tidak bisa terlepas dari fungsi dakwah. Bahwa dakwah mempunyai relevansi sepanjang masa, karena manusia hidup tidak bisa lepas dari nafsu dan berbagai kecenderungan negatifnya.
Manusia dengan hidup dan kehidupannya sesuai dengan fitrahnya selalu mengalami perubahan-perubahan, baik perubahan yang alami maupun yang dirancang oleh manusia sendiri. Perubahan itu tidak selamanya menjadi lebih baik, bahkan sering terjadi sebaliknya, manusia akan mengalami krisis identitas dirinya sebagai makhluk yang mulia di sisi Allah mau pun bagi sesamanya. Di sinilah dakwah akan berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan dan bahkan mengembangkan kemuliaan manusia. Karena tu dakwah juga mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan transformasi sosial yang berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
***
Ada indikasi mencolok yang menunjukkan bahwa, Islam di Indonesia semakin mendapatkan tempat yang luas di kalangan masyarakat, dari kelompok remaja mau pun kelompok tua. Mushala dan masjid dibangun di mana-mana dan selalu dipadati oleh kaum muslimin. Kelompok pengajian, majelis ta'lim dan kajian Islam muncul bagaikan cendawan di musim penghujan. Namun semua itu tidak berarti adanya perkembangan dan pengembangan agama Islam. Karena berkembangnya jumlah pemeluk agama Islam yang menunjukkan adanya kepedulian masyarakat terhadap agama tidak atau belum berarti bahwa ajaran agama Islam secara substansial juga berkembang.
Dari sisi lain, kualitas keberagamaan masyarakat Indonesia cenderung melemah, akibat perubahan nilai yang berkembang. Nilai-nilai spiritual Islami tidak lagi manjadi rujukan baku bagi kehidupan. Solidaritas Islam sebagai nilai Islami dalam masyarakat dan berbangsa mulai berhadapan dengan kecenderungan sikap individualistik yang mulai menggejala akibat kemajuan dunia usaha yang memacu pada watak kompetitif. Nilai ekonomis makin dominan, berpengaruh besar bagi makin berkembangnya etos ikhtiar yang pada gilirannya akan menghilangkan sikap tawakal, dan lebih dari itu akan mengganggu keimanan.
Pemahaman tentang konsep ibadah pada umumnya masih terpaku pada bentuk-bentuk ritual formal, terikat oleh syarat, rukun, waktu dan ketentuan-ketentuan tertentu. Misalnya shalat, itu saja pelaksanannya masih belum pas. Sedangkan persepsi tentang ibadah sosial (tidak individual) masih jauh dari harapan. Pada hal yang terakhir ini justru lebih bermakna daripada ibadah individual formal.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi srta dampak hasil pembangunan dewasa ini, memberikan pengaruh kuat atas munculnya dua fenomena yang saling berlawanan. Di satu sisi orang semakin bersikap sekuler, sementara di sisi lain justru lebih bersifat agamis, bahkan senderung sufistik atau fundamentalistik. Ini terlihat dari radikalisme berlebihan, yang sering disebut gerakan sempalan dan sikap ekstrim sebagian masyarakat. Timbul juga kelompok yang sering disebut para-normal yang menjadi tempat pelarian bagi orang-orang yangmengalami keputusasaan.
Semua ini terjadi akibat lemahnya kualitas keberagamaan mereka. Pemahaman mereka terhadap agama Islam tidak utuh dan tuntas, karena hanya menggunakan salah satu dari paradigma rasional dan mistikal, atau hanya secara eksklusif terpaku pada norma statis saja atau pada yang kontekstual dinamis saja. Padahal Islam merupakan kesatuan utuh dan bulat dari beberapa komponen, yang astu dengan lainnya saling mempengaruhi, misalnya aqidah, syari'ah, akhlak, mu'asyarah, dan lain sebagainya.
Faktor lain yang juga mempengaruhi rendahnya kualitas keberagamaan Islam di Indonesia adalah adanya sifat ambivalen dalam proses kulturisasi nilai-nilai Pancasila di satu pihak dan penghayatan serta pengamalan norma agama Islam di lain pihak. Hal ini senderung membuat rancu orientasi nilai dalam kehidupan. Disintegrasi dari dua sumber nilai ini tentu saja sangat tidak menguntungkan dalam kehidupan, sementara itu upaya pengembangan pemahaman integratif yang memperjelas hubungan simbiosis dari keduanya sering mengundang kesalahpahaman.
***
Dakwah berasal dari bahasa Arab yang berarti mengundang, mengajak dan mendorong. Konotasi dakwah yang lazim adalah mengajak dan mendorong sasaran untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kejelekan, atau memerintah melakukan pekerjaan ma'ruf dan melarang bertindak munkar. Dapat juga dakwah diartikan mengajak sasaran ke jalan Allah, yakni agama Islam. Pengertian tersebut dapat dipahami dari ayat Al-Qur'an 104 surat Ali Imran dan ayat 125 surat al-Nahl. Dari sini dapat dibedakan antara dakwah dan di'ayah (propgaganda) serta indoktrinasi. Dalam di'ayah, yang dipropagandakan belum tentu sesuatu yang baik. Sedangkan dalam indoktrinasi terdapat unsur paksaan. Berbeda dengan dakwah, di mana sesuatu yang didakwahkan tentu baik dan tidak mengandung unsur paksaan, tetapi justru menumbuhkan kesadaran.
Kegiatan dakwa Islamiyah tidak bisa lepas dari lima unsur yang harus berjalan serasi dan seimbang. Karena kegiatan dakwah itu sendiri, merupakan proses interaksi antara pelaku dakwah (da'i) dan sasaran dakwah (masyarakat) dengan strata sosialnya yang berkembang. Antara sasaran dakwah dan pelaku dakwah saling mempengaruhi, bahkan saling menentukan keberhasilan dakwah, di mana keduanya sama-sama menuntut porsi materi,metode dan media tertentu.
Strategi dakwah akan berhasil apabila ke lima unsur di atas berjalan seimbang. Ini berarti, kegiatan dakwah bukan sekadar memberikan "pengajian" di atas mimbar dengan berbagai bumbu penyedapnya di hadapan massa luas dan heterogen yang menyambutnya dengan tepukantangan menggema di tengah-tengah lapangan. Namun lebih dari itu, ia menuntut tumbuhnya kesadaran bagi audiens, agar pada gilirannya melakukan perubahan positif dari sisi pengamalan dan wawasan agamanya.
Adalah sangat naif, mengukur keberhasilan dakwah hana dari banyaknya jumlah pengunjung yang melimpah ruah pada forum pengajian dan hebatnya mubaligh yang lucu, kocak, dan lincah. Sementara itu biaya yang keluar relatif banyak, tidak pernah diimbangi dengan evaluasi massa pengunjungnya. Apakah mereka makin meningkatkan kesadaran dan wawasan keberagamaannya? Ataukah biasa-biasa saja, mereka pulang hanya membawa kesan kagum dan puas terhadap pembawaan mubaligh?
Pengembangan dakwah Islamiyah merupakan proses interaksi dari serangkaian kegiatan terencana yang mengarah pada peningkatan kualitas keberagamaan Islam. Kualitas itu meliputi pemahaman ajaran Islam secara utuh dan tuntas, wawasan keberagamaan, penghayatan dan pengalamannya. Sebagai proses, maka tuntutan dasarnya adalah peubahan sikap da perilaku yang akan diorientasikan pada sumber nilai yang Islami. Dari dimensi lain pengembangan itu merupakan alat untuk mencapai tujuan dakwah Islamiyah. Di sini kebutuhan dasarnya adalah proyeksi dan kontekstualisasi ajaran Islam dalam proses transformasi sosial. Ini memerlukan kejelian dan kepekaan sosial bagi setiap da'i/mubaligh, agar mampu melakukan pendekatan kebutuhan, yang dipandu oleh sumber nilai Islami.
Efektifitas dakwah mempunyai dua strategi yang saling mempengaruhi keberhasilannya. Pertama, peningkatan kualitas keberagamaan dengan berbagai cakupannya seperti di atas, dan kedua, sekaligus mampu mendorong perubahan sosial. Ini berarti memerlukan pendekatan partisipatif di samping pendekatan kebutuhan. Dakwah bukan lagi menggunakan pendekatan yang hanya direncanakan sepihak oleh pelaku dakwah dan bukan pula hanya pendekatan tradisional, mengutamakan besarnya massa.
Pendekatan partisipatif menghendaki sasaran dakwah dilibatkan dalam perencanaan dakwah, bahkan dalam penggalian permasalahan dan kebutuhan. Di sinilah akan tumbuh dinamisasi ide dan gagasan baru, di mana para da'i berperan sebagai pemandu dalam dialog-dialog keberagamaan yang muncul dalam mencari alternatif pemecahan masalah.
Dakwah Islamiyah dituntut kemampuannya untuk meletakkan Islam pada posisi pendamai dan pemberi makna terhadap kotradiksi dan konflik dalam kehidupan manusia akibat globalisasi di segala bidang. Di samping itu, manusia dalam kehidupannya selalu menjumpai berbagai macam kontradiksi dan dikotomi yang inhern dalam eksistensinya, seperti mati-hidup, sementara-permanen, kebebasan-keterbatasan dan lain-lain. Secara historis, manusia juga menghadapi kontradiksi, seperti kaya-miskin, bodoh-pandai dan sebagainya. Di sini dakwah secara konseptual harus merumuskan keseimbangan-keseimbangan yang secara implementatif mapu menumbuhkan sistem manajemen konflik. Dengan demikian ajaran Islam menjadi alternatif terhadap upaya mencari solusi pengembangan sumber daya manusia seutuhnya.
Memang hal ini tidak mudah, memerlukan da'i-da'i berkualitas, sebagai personifikasi sikap dan erilaku dalam kehidupan Islami, yang mampu mengaktualisasikan dirinya di tengah-tengah pluralitas masyarakat. Dalam hal ini Allah telah mengisyaratkan dalam surat Ali Imran ayat 110. Bahwa para da'i harus menjadi khaira ummah yang punya kemampuan menampilkan dirinya di tengah dan untuk masyarakat (ukhrijat li al-naas). Ini berarti pelaku dakwah (da'i) harus memiliki kemampuan menjawab sekaligus menerapkan jawaban atas pertanyaan apa, siapa di mana dan kapan ia berada. Kemampuan ini bisa menumbuhkan kesadaran akan potensi dirinya, posisinya, situasi dan kondisi yang sedang dan akan dihadapinya. Barulah ia mampu menggunakan pilihan-pilihan penerapan metode hikmah, mau'dhah hasanah, mujadalah bi ihsan dan lain sebagainya yang tepat dan mendukung strategi dakwah.
***
Pandangan orang tentang hidup selalu berbeda. Pertanyaan, untuk apa hidup bagi manusia, selalu berbeda jawabannya. Bagi umat Islam, hidup bukan sekadar untuk hidup. Hidup bukanlah tujuan. Hidup dan kehidupan manusia merupakan proses yang akan berakhir di dunia dengan datangnya kematian. Sebagai proses, hidup tentu memerlukan berbagai sarana. Sarana yang paling mendasar secara fisik adalah aspek kesehatan dan aspek ekonomi. Perbedaannya dengan hidup yang dialami makhluk lain, hanyalah terletak pada nilai dan makna. Sedangkan nilai dan makna hidup manusia ditentukan oleh aspek spiritual.
Model pembanguna yang difokuskan pada pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, cenderung memisahkan atau mengasingkan aspek spiritual. Alienasi antara keduanya tercermin pada gerakan dan pelembagaan agama yang tidak menyatu dengan aktifitas pelembagaan ekonomi. Keadaan seperti itu akan mengacu pada pembentukan nilai dan norma ekonomis. Ini berarti bahwa ekonomi merupakan sistem nilai tersendiri. Akibatnya, gerakan ekonomi berhadapan secara diametral dengan sistem nilai spiritual. Pada gilirannya gerakan ekonomi berjalan bebas tanppa spiritualitas dan meluncurkan sikap kompetitif yang bila tidak dikontrol oleh aspek spiritual, akan cenderung ke arah individualisme, materialisme dan konsumerisme yang justru bertentangan degan etika berekonomi dalam Islam.
Pada umumnya di dalam masyarakat ekonomis aspek spiritual yang bertolak dari hakikat martabat manusia yang mulia, tidak bertahan lama. Sumber daya manusia, alam, ilmu pengetahuan dan teknologi -sebagai asset ekonomi yang sangat penting- di negara-negara ekonomi maju, banyak mengakibatkan berbagai krisis spiritualitas. Kemiskinan nilai spiritual mendorong masyarakat ekonomi maju berpandangan, bahwa alam bukanlah sahabat yang setia, tetapi sebagai kawulo yang harus ditaklukkan dan diperlakukan sewenang-wenang.
***
Idealnya pengembangan dakwah yang efektif harus mengacu pada masyarakat untuk meningkatkan kualitas keislamannya, sekaligus juga kualitas hidupnya. Dakwah tidak saja memasyarakatkan hal-hal yang religius Islami, namun juga menumbuhkan etos kerja. Inilah yang sebenarnya diharapkan oleh dakwah bil hal yang sering disebutkan oleh para mubaligh. Dakwah bil hal tidak berarti tanpa maqol (ucapan lisan dan tulisan), akan tetapi lebih ditekankan pada sikap, perilaku dan kegiatan-kegiatan nyata yang secara interaktif mendekatkan masyarakat pada kebutuhannya, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi peningkatan keberagamaan.
Rekayasa pola pengembangan dakwah seperti ini, merupakan unsur alih teknologi sosial yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia sebagai imbangan alih teknologi material yang tidak akan berhenti dengan segala dampaknya. Keseimbangan antara dua teknologi itu setidaknya akan menjanjikan ketenteraman hati serta mengurangi gejolak sosial yang dan stres di kalangan masyarakat awam. Keseimbangan dimaksud akan mengacu ke arah tercapainya kebahagiaan di dunia dan akhirat (sa'adatud darain).
Prospek sosial ekonomi memang dapat diproyeksikan, tetapi dalam setiap kehidupan umat, interaksi antara semua aspek kehidupan sangat besar pengaruhnya dalam proses menuju prospek yang dicita-citakan. Masing-masing aspek tentu harus pasti, sehingga proses tersebut mengarah kepada adanya kepastian. Bila yang terjadi sekarang adalah, aspek-aspek positif dalam kehidupan mengalami ketidakpastian, maka pada masa depan yang pasti adalah ketidakpuasan.
Ini berarti, bahwa aspek ekonomi tidak dapat ditarik ke depan tanpa aspek-aspek positif kehidupan lainnya secara simultan dalam suatu sistem yang seimbang. Pengembangan aspek ekonomi itu sendiri merupakan proses interaksi dari serangkaian upaya peningkatan sarana yang menunjang. Penumbuhan etos kerja yang diarahkan pada kualitas sumber daya alam mau pun lapangan kerja yang tersedia atau yang mungkin diciptakan, merupakan kegiatan yang paling menentukan bagi tercapainya keadaan ekonomi yang stabil. Ini perlu dilakukan oleh gerakan Islam yang bergerak di bidang tersebut, tentu saja harus diimbangi dengan pemantapan mental yang diorientasikan pada aspek spiritual. []
*) Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Tulisan ini pernah disampaikan pada Lokakarya LKK-NU Pusat, 9 Januari 1992 di Jakarta. Sebelumnya pernah disampaikan pada seminar sehari tanggal 7 Oktober 1990 di Semarang, dengan judul asli Dakwah Islam dan Pembangunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar