Kelirumologi dalam Hukum
Oleh: Moh Mahfud MD
Jumat (19 September 2014) kemarin sahabat saya Jaya Suprana
memotori seminar kelirumologi di Gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Mungkin merupakan kekeliruan ketika Jaya meminta saya untuk berbicara di dalam
seminar kelirumologi itu. Maunya sih saya menolak karena takut keliru, tapi
kalau menolak saya khawatir menjadi lebih keliru lagi.
Namun keliru-keliru pun sebenarnya tak apa-apa karena seminarnya
memang seminar kelirumologi. Semakin keliru, semakin relevan. Alasan yang agak
akademis, mengapa semula saya ingin menolak menjadi pembicara, karena saya tak
tahu apa definisi kelirumologi ini. Di kamus-kamus dan ensiklopedi belum ada
kata atau istilah kelirumologi ini. Tapi saya nekat mendefinisikan kelirumologi
adalah penggunaan atau pemahaman yang keliru atas istilah-istilah yang dipakai
masyarakat baik permanen maupun insidental sehingga menimbulkan kegaduhan atau
salah paham terbatas maupun meluas. Berdasar definisi nekat itu saya akan
berbicara kelirumologi dalam hukum dengan cerita-cerita pop di bawah ini.
Pada suatu hari di awal tahun 2011 saya mendapat SMS dari seorang
kawan bahwa di koran lokal di Ternate ada berita “Gugatan Gafur Ditolak MK”.
Berita tersebut berisi uraian yang sangat insinuatif-provokatif bahwa gugatan
Gafur untuk membatalkan kemenangan Thaib Harmain dalam sengketa Pemilihan
Gubernur Maluku Utara ditolak oleh MK karena MK diintervensi oleh Presiden.
Disebarkan juga isu bahwa sehari sebelum pengucapan vonis Ketua MK dipanggil
oleh Presiden SBY. Berita itu bukan hanya keliru, tetapi juga salah. Bukan
hanya terjadi kelirumologi, tetapi juga salahologi. Selama saya jadi ketua MK
tak pak pernah dan tak mungkin Presiden memanggil saya untuk urusan perkara apa
pun atau siapa pun.
Itu salahologinya. Kelirumologinya, kasus Gafur saat itu adalah
kasus sengketa kewenangan antara KPU Maluku Utara dan Presiden. KPU Maluku
Utara mempersoalkan Presiden karena mengangkat Thaib Harmain sebagai gubernur
terpilih berdasar fatwa Mahkamah Agung. Jadi perkara itu bukanlah gugatan
Gafur, melainkan permohonan KPU Maluku Utara. Kelirunya lagi berita itu
menyebutkan bahwa gugatan ditolak, padahal yang benar permohonan tidak dapat
diterima. Di dalam hukum peradilan ada perbedaan antara “tidak dapat diterima”
dan “ditolak”.
Tidak dapat diterima berarti pokok perkara tidak diperiksa karena
beberapa alasan, misalnya, karena lewat waktu, pemohon tidak mempunyai legal
standing atau bukan pihak yang berhak mengajukan pemohonan, permohonan tidak
jelas (kabur), pokok perkaranya merupakan kompetensi lembaga peradilan lain,
perkara yang sama sudah pernah diputus (ne bis in idem). Jika perkara
dinyatakan “tidak dapat diterima”, pokok perkara belum atau tidak diperiksa.
Untuk permohonan yang tidak dapat diterima masih terbuka kemungkinan diajukan
lagi asal sudah dibetulkan, misalnya legal standing subjeknya atau kekaburan
objeknya.
Dalam kasus sengketa Pilgub Maluku Utara yang melibatkan Gafur dan
Thaib Harmain, misalnya, perkara itu bukan ditolak, melainkan tidak dapat
diterima oleh MK. Alasannya, yang punya legal standing untuk mengajukan
permohonan sengketa kewenangan dalam kasus itu adalah KPU (pusat), bukan KPU
Maluku Utara. Saat itu pokok perkara tentang siapa yang bisa menetapkan
pemenang pilgub itu dipersoalkan oleh KPU Maluku Utara, tetapi MK menyatakan
yang punya legal standing adalah KPU (pusat) sebagai lembaga yang kewenangannya
disebutkan di dalam konstitusi.
Jadi perkaranya tidak dapat diterima, tetapi dapat diajukan
kembali oleh yang punya legal standing. Salah paham yang sama terjadi saat MK
memutus sengketa Pilpres 2009. Waktu itu MK memutus “menolak eksepsi termohon
(KPU)” dan “menolak pokok permohonan para pemohon (Megawati-Prabowo dan Jusuf
Kalla-Wiranto)”. Belum setengah jam vonis selesai diucapkan tiba-tiba ada
statemen dari salah seorang DPP Golkar bahwa MK salah memutus. Katanya, pilpres
tidak ada yang menang karena dua-duanya ditolak MK. Rupanya yang bersangkutan
keliru memahami arti eksepsi dan pokok permohonan.
Duduk perkaranya, pasangan Megawati-Prabowo dan pasangan Jusuf
Kalla-Wiranto mengajukan permohonan (sebagai pemohon) yang dalam pokok
perkaranya meminta agar hasil pilpres dibatalkan karena SBY-Boediono menang
secara curang. Atas permohonan tersebut pihak KPU (termohon) mengajukan eksepsi
agar permohonan tidak dapat diterima karena masalah kecurangan pemilu menjadi
ranah peradilan pidana, bukan wewenang MK. Oleh sebab itu sebelum memutus pokok
perkara, MK memutus dulu eksepsi termohon dengan menyatakan “menolak” eksepsi
tersebut, sebab MK secara absolut berwenang mengadili kasus tersebut.
Karena eksepsi ditolak, kemudian MK memeriksa dan memutus pokok
perkaranya. Hasilnya, MK menolak permohonan dalam pokok perkara karena para
pemohon tak bisa membuktikan dalil-dalilnya. Adalah tidak mungkin MK langsung
memutus menolak pokok perkara kalau eksepsinya tidak ditolak lebih dulu. Orang
yang tidak paham pembedaan istilah yang secara eksklusif dipergunakan di dalam
hukum bisa terjebak dalam kelirumologi yang bisa membingungkan dan menghebohkan
masyarakat. Celakanya justru sekarang ini banyak wartawan bidang hukum yang
menulis berita dengan kelirumologi sehingga membingungkan, bahkan memancing
kekisruhan. []
KORAN SINDO, 20 September 2014
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar