Semoga Waras Listrik di Kegilaan BBM
Senin, 15
September 2014
“Kabar
gembira, Pak Dahlan, STNK mobil listrik kami sudah keluar. Inilah STNK mobil
listrik pertama di Indonesia,” tulis Martin Soekotjo dalam SMS-nya kepada saya.
Malam itu juga saya SMS kepada Bapak Presiden SBY. “Bapak Presiden
Yth, lapor kabar gembira: STNK mobil listrik sudah keluar untuk pertama
kalinya. Mobilnya produksi pabrik yang di Surabaya itu. Terima kasih, Bapak
Presiden. Akhirnya jadi kenyataan di era kepresidenan Bapak. Alhamdulillah.”
Waktu itu, Jumat sore lalu, saya lagi di Bitung. Meninjau galangan
kapal IKI cabang Bitung yang pada pukul 17.00 senja itu masih ramai dengan
orang bekerja. Banyak kapal antre untuk diperbaiki. Bisnis berjalan lancar.
Padahal, PT IKI (Industri Kapal Indonesia yang berpusat di Makassar) tiga tahun
lalu masih mati.
Saya juga meninjau Pelabuhan Bitung di bawah PT Pelindo IV. Tahun
ini Pelabuhan Bitung mulai mengoperasikan dermaga baru yang dalamnya 15 meter.
Memenuhi standar kedalaman tol laut.
Tidak lama lagi PT Pelayaran Meratus dan Tempuran Emas mulai
melayari jalur Belawan-Bitung. “Pertama dalam sejarah Pelabuhan Bitung
dijadikan tujuan rute dari Medan,” ujar GM Pelindo Bitung Heru Bhakti Fireno.
Saya juga meninjau pabrik pengolahan ikan PT Perikanan Nusantara
Cabang Bitung yang amat membanggakan: sebuah pabrik yang amat ramai dan sibuk.
Padahal, empat tahun lalu masih berupa “kuburan”.
“Saya sempat tidak digaji tiga tahun. Kompleks pabrik ini jadi
semak belukar,” ujar Direktur Perinus Max Najoan yang dulunya nelayan beneran.
Kini Max adalah direktur produksi PT Perinus.
“Seumur hidup tidak pernah membayangkan Bapak mengangkat saya jadi
direktur,” ujar tamatan SPMA Perikanan Manado itu.
Dari Bitung saya melakukan komunikasi ke Surabaya, berbicara
dengan petugas yang mengurus STNK mobil listrik itu. “Yang dapat STNK memang
baru satu, Pak. Tapi, berikutnya sudah akan lancar,” ujar Sukotjo, staf PT
Grain, saat saya telepon dari Bitung.
“Kalau begitu, saya akan mampir ke Surabaya. Melihat mobilnya dan
STNK-nya,” kata saya. “Saya bisa menyisihkan waktu empat jam di Surabaya,”
tambah saya.
Empat jam itu sekalian akan saya gunakan untuk jadwal menjalani
stemcell di Stemcell Center RSUD dr Soetomo, memasang crown gigi belakang di
dokter gigi langganan saya, dan mencoba mobil listrik yang sudah ber-STNK itu.
Agar hemat waktu, saya minta mobil tersebut dibawa ke rumah dokter
gigi di Jalan Sedap Malam, Surabaya. Juga mobil listrik jenis sedan kecil yang
STNK-nya sedang diurus.
Lalu, dengan mengemudikan mobil itu saya menuju Bandara Juanda
untuk kembali ke Jakarta. Ketika mencoba mengemudikan mobil listrik ber-STNK
tersebut saya merasakan getaran halus mobil dan getaran bangga di hati saya.
Sebenarnya saya sudah mencoba minivan itu dua tahun lalu. Tepatnya
November 2012. Kini terasa sudah sempurna: power steering, gasnya, remnya,
AC-nya, dan segala macamnya. “Perjuangan dua tahun akhirnya ada hasilnya,” ujar
Sukotjo, staf PT Grain yang menjadi produsen mobil tersebut.
Kendaraan itu memang masih berbasis mobil listrik dari Tiongkok
yang dirakit dan disempurnakan di Surabaya. Tapi, komponen terbesarnya,
baterai, akan sepenuhnya produksi Indonesia. “Kami sudah bicara dengan
Nipress,” ujar Martin. “Yang lain-lain secara bertahap juga akan diproduksi di
Surabaya,” tambahnya.
Dua tahun lalu saya mengunjungi pabriknya yang dibangun di luar
Kota Surabaya itu. Sekarang pabrik tersebut sudah jadi dan beroperasi. Mampu
merakit 10.000 mobil listrik setahun.
Mobil listrik dari Surabaya itu bersimbol petir, mirip logo PLN.
Sebab, ia memang salah satu di antara lima putra petir yang kita unggulkan.
Pabrik itu satu kompleks dengan pabrik baja yang amat besar,
dengan pemilik yang sama. Kerangka baja bandara-bandara baru seperti Bali,
Medan, Sepinggan, dan Juanda dibuat di sana. Juga Terminal 3 Soekarno-Hatta
yang raksasa itu.
Pabrik tersebut sekarang juga memproduksi baja untuk gedung
bertingkat yang berbasis baja. Dengan modul ciptaannya, sebuah gedung enam
lantai bisa dibangun hanya dalam waktu enam bulan. “Desain kami bisa sampai 18
lantai lebih,” ujar Martin.
Mobil listrik pertama ber-STNK itu dibeli oleh anak perusahaan
PLN, PT PJB Cabang Gresik. “Sekarang ke mana-mana kami gunakan minivan ini,”
ujar Sugiyanto, GM PJB Gresik.
“Hemat sekali. Bandingannya, dengan mobil bensin sehari habis Rp
60.000, dengan mobil listrik ini hanya Rp 10.000,” tutur Sugiyanto.
Memang charging-nya masih empat jam. Tapi, di malam hari, saat
pemilik mobil tidur, sangat cukup waktu untuk charging sampai penuh. “Untuk
kepentingan sehari-hari, kami hanya perlu charging dua hari sekali. Tidak tiap
hari,” papar Sugiyanto.
Rabu lusa, saat ada acara di RRI Jogja, saya juga akan menyerahkan
becak listrik kepada dua tukang becak Solo yang selama ini menjadi jamaah
salawat Habib Syekh.
Becak listrik itu benar-benar becak biasa: masih harus dikayuh.
Tapi ringan sekali. Saat becak menanjak pun, kayuhannya tetap sangat ringan.
Habib Syekh-lah pemilik ide awalnya. Saat mendengar salah satu
Syekher-nya, saya, memelopori mobil listrik, beliau minta dibuatkan becak
listrik. Beliau melihat betapa rekoso-nya tukang becak yang sudah tua tapi
tetap mengayuh becaknya untuk mempertahankan hidup.
Saya sendiri sedang mengubah mobil Jaguar saya yang lama untuk
menjadi mobil listrik. Bulan depan sudah jadi.
Di tengah gonjang-ganjing harga BBM, siapa tahu orang menjadi
waras: menoleh ke mobil listrik! (*)
Dahlan Iskan, Menteri BUMN
Sumber:
--
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar