Restorasi GBHN
Oleh: Yudi Latif
Yang menjengkal dari kecenderungan sikap “ahli” dan pelaku politik
kontemporer di negeri ini adalah kegairahan untuk meninggalkan sistem politik
sendiri dengan mencangkokkan sistem dari negara adikuasa, namun dengan cara
tambal sulam.
Lewat empat kali amandemen Konstitusi, kedudukan kedaulatan (locus
of sovereignty) yang semula memusat di MPR dihapuskan. Para pelaku amandemen
mengira bahwa sistem pemerintahan yang meletakkan kedaulatan di tiga tempat
(Legislatif, eksekutif dan yudikatif) seperti di Amerika Serikat lebih
demokratis ketimbang sistem pemerintahan yang memusatkan kedaulatannya di satu
“lembaga tertinggi” seperti sistem Westminster di Inggris. Jarang disadari
bahwa “kedaulatan” rakyat dalam demokrasi tidak harus selalu dijalankan dalam
bentuk pemisahan kekuasaan (separation of power) seperti di Amerika Serikat.
Yang terjadi di Inggris malah suatu penggabungan kekuasaan (fusion of power)
dengan memusatkan kedaulatan rakyat di “parlemen”. Parlemen Inggris terdiri
dari 3 unsur: Raja/Ratu di Parlemen sebagai unsur eksekutif, House of Commons
(yang dipilih langsung) dan House of Lords (yang ditunjuk) sebagai unsur
legislatif, dan juga mengandung unsur judicial karena law lords yang berada di
House of Lords merupakan “Appellate Committee” (peninjau keputusan peraturan
perundang-undangan).
Sistem pemerintahan Indonesia sebelum amandemen Undang-Undang
Dasar 1945 hampir menyerupai Inggris dalam hal memusatkan kedaulatan rakyat di
satu lembaga tertinggi, yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Bedanya, fungsi
dan kekuasaan MPR dalam sistem pemerintahan kita lebih lemah ketimbang parlemen
di Inggris. MPR sebagai parlemen di Indonesia tidak mengandung unsur eksekutif
dan judicial, dan fungsi utamanya hanya merumuskan dua “norma hukum” tertinggi
(UUD dan GBHN) yang dilakukan oleh tiga unsur parlemen: DPR, Utusan Daerah dan
Utusan Golongan.
Orde Reformasi tampaknya cenderung hendak meniru sistem Amerika
Serikat tetapi “salah arah”, karena tidak mengadopsinya secara konsisten.
Kekuasaan membuat undang-undang (legislatif) di Amerika Serikat hanya
dijalankan oleh lembaga perwakilan saja, yakni Kongres, yang merupakan gabungan
antara house of representatives (DPR) dan senate (DPD). Resminya, Presiden AS
dilarang untuk menyampaikan rancangan undang-undang ke Kongres. Adapun
kekuasaan membuat undang-undang dalam sistem pemerintahan Indonesia pasca
amandemen Konstitusi tidak hanya dijalankan oleh lembaga perwakilan. Meskipun
pasal 20 ayat 1 menyatakan: “DPR memegang kekuasaan membuat undang-undang”,
tetapi ketentuan ini dimentahkan oleh ayat 2: “Setiap rancangan undang-undang
dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.” Artinya,
kita tidak konsisten menjalankan konsep pemisahan kekuasaan, karena Presiden
masih ikut dalam pembuatan undang-undang.
Setelah MPR dijatuhkan posisinya dari lembaga tertinggi,
kewenangannya dalam menyusun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) juga
ditiadakan. Sebagai gantinya, muncul Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN) yang ditetapkan dengan Undang- Undang. RPJPN ini kemudian
diturunkan ke dalam Rencana Pembanguan Jangka Menengah (RPJM) untuk periode
lima tahunan, dengan memberi kesempatan kepada Presiden untuk menentukan
platform politik pembangunannya tersendiri, sesuai dengan janji kampanye.
Masalahnya, karena RPJP ini ditetapkan oleh undang-undang, maka
Presiden ikut serta dalam merumuskan ketentuannya. Setelah itu, karena Presiden
juga diberikan kewenangan untuk menetapkan platform pembangunan, maka Presiden
juga yang menjalankan undang-undang itu dan menetapkan anggarannya. Dan
akhirnya, karena tidak ada mekanisme pertanggungjawaban kepada MPR, maka
Presiden juga yang mengawasi pelaksanannya. Alhasil, jika Presidennya tidak
amanah, mudah sekali kebijakan pembangunan di negeri ini jatuh ke tangan kepentingan
perseorangan, yang dapat merugikan kepentingan nasional.
Hal ini amat berbeda dengan sistem pemerintahan yang dijalankan di
Amerika Serikat. Di sana, meskipun Presiden diberikan wewenang untuk
menetapkan platform kebijakannya, namun fungsi Kongres dalam menentukan
anggaran lebih kuat. Sesuai dengan sistem pemisahan kekuasaan, baik Senat dan
DPR di AS harus sama-sama menyetujui anggaran, kemudian ditandatangani Presiden
Amerika Serikat. Jika Presiden tidak setuju atas rancangan anggaran yang ditetapkan
Kongres, Presiden bisa memvetonya, dan rancangan anggarannya dikembalikan ke
Kongres. Di Kongres, veto tadi dapat dibatalkan dengan dua per tiga suara
menolak. Oleh karena itu, kerap terjadi dalam sejarah AS, perselisihan dalam
Kongres atau veto Kongres atas veto Presiden berdampak pada penutupan
pemerintahan (shut down), seperti terjadi belum lama ini.
Selain persoalan teknis-instrumental, ada persoalan prinsipil.
Dalam konsepsi negara kekeluargaan, haluan negara sebagai norma dasar itu
mestinya dirumuskan oleh pelbagai representasi kekuatan politik dalam lembaga
tertinggi negara (MPR). Ekses negatif dari kewenangan MPR sebagai lembaga
tertinggi negara di masa lalu sebenarnya bisa saja dihilangkan. Artinya,
Presiden tidak perlu lagi dipilih oleh MPR; dan MPR juga tidak bisa langsung
menjatuhkan Presiden tanpa melalui mekanisme impeachment yang memerlukan
pengajuan DPR dan keputusan Mahkamah Konstitusi. Namun, dalam ketentuan
prosedur impeachment pada UUD pasca amandemen pun sebenarnya terkandung
pengakuan terselubung, yang menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi. Karena
MPR-lah yang diberikan wewenang sebagai pemutus terakhir bisa atau tidaknya
Presiden dimakjulkan. Seturut dengan itu, mestinya tidak perlu ada keraguan untuk
mengembalikan kewenangan MPR dalam menetapkan GBHN dalam versi yang lebih
disempurnakan dari produk GBHN di masa lampau. []
REPUBLIKA, 15 Oktober 2014
Yudi Latif ; Pemikir
Kenegaraan dan Kebangsaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar