Selasa, 28 Oktober 2014

Yudi Latif: Restorasi GBHN



Restorasi GBHN
Oleh: Yudi Latif

Yang menjengkal dari kecenderungan sikap “ahli” dan pelaku politik kontemporer di negeri ini adalah kegairahan untuk meninggalkan sistem politik sendiri dengan mencangkokkan sistem dari negara adikuasa, namun dengan cara tambal sulam.

Lewat empat kali amandemen Konstitusi, kedudukan kedaulatan (locus of sovereignty) yang semula memusat di MPR dihapuskan. Para pelaku amandemen mengira bahwa sistem pemerintahan yang meletakkan kedaulatan di tiga tempat (Legislatif, eksekutif dan yudikatif) seperti di Amerika Serikat lebih demokratis ketimbang sistem pemerintahan yang memusatkan kedaulatannya di satu “lembaga tertinggi” seperti sistem Westminster di Inggris. Jarang disadari bahwa “kedaulatan” rakyat dalam demokrasi tidak harus selalu dijalankan dalam bentuk pemisahan kekuasaan (separation of power) seperti di Amerika Serikat. Yang terjadi di Inggris malah suatu penggabungan kekuasaan (fusion of power) dengan memusatkan kedaulatan rakyat di “parlemen”. Parlemen Inggris terdiri dari 3 unsur: Raja/Ratu di Parlemen sebagai unsur eksekutif, House of Commons (yang dipilih langsung) dan House of Lords (yang ditunjuk) sebagai unsur legislatif, dan juga mengandung unsur judicial karena law lords yang berada di House of Lords merupakan “Appellate Committee” (peninjau keputusan peraturan perundang-undangan).

Sistem pemerintahan Indonesia sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945 hampir menyerupai Inggris dalam hal memusatkan kedaulatan rakyat di satu lembaga tertinggi, yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Bedanya, fungsi dan kekuasaan MPR dalam sistem pemerintahan kita lebih lemah ketimbang parlemen di Inggris. MPR sebagai parlemen di Indonesia tidak mengandung unsur eksekutif dan judicial, dan fungsi utamanya hanya merumuskan dua “norma hukum” tertinggi (UUD dan GBHN) yang dilakukan oleh tiga unsur parlemen: DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan.

Orde Reformasi tampaknya cenderung hendak meniru sistem Amerika Serikat tetapi “salah arah”, karena tidak mengadopsinya secara konsisten. Kekuasaan membuat undang-undang (legislatif) di Amerika Serikat hanya dijalankan oleh lembaga perwakilan saja, yakni Kongres, yang merupakan gabungan antara house of representatives (DPR) dan senate (DPD). Resminya, Presiden AS dilarang untuk menyampaikan rancangan undang-undang ke Kongres. Adapun kekuasaan membuat undang-undang dalam sistem pemerintahan Indonesia pasca amandemen Konstitusi tidak hanya dijalankan oleh lembaga perwakilan. Meskipun pasal 20 ayat 1 menyatakan: “DPR memegang kekuasaan membuat undang-undang”, tetapi ketentuan ini dimentahkan oleh ayat 2: “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.” Artinya, kita tidak konsisten menjalankan konsep pemisahan kekuasaan, karena Presiden masih ikut dalam pembuatan undang-undang.

Setelah MPR dijatuhkan posisinya dari lembaga tertinggi, kewenangannya dalam menyusun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) juga ditiadakan. Sebagai gantinya, muncul Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang ditetapkan dengan Undang- Undang. RPJPN ini kemudian diturunkan ke dalam Rencana Pembanguan Jangka Menengah (RPJM) untuk periode lima tahunan, dengan memberi kesempatan kepada Presiden untuk menentukan platform  politik pembangunannya tersendiri, sesuai dengan janji kampanye.

Masalahnya, karena RPJP ini ditetapkan oleh undang-undang, maka Presiden ikut serta dalam merumuskan ketentuannya. Setelah itu, karena Presiden juga diberikan kewenangan untuk menetapkan platform pembangunan, maka Presiden juga yang menjalankan undang-undang itu dan menetapkan anggarannya. Dan akhirnya, karena tidak ada mekanisme pertanggungjawaban kepada MPR, maka Presiden juga yang mengawasi pelaksanannya. Alhasil, jika Presidennya tidak amanah, mudah sekali kebijakan pembangunan di negeri ini jatuh ke tangan kepentingan perseorangan, yang dapat merugikan kepentingan nasional.

Hal ini amat berbeda dengan sistem pemerintahan yang dijalankan di Amerika Serikat. Di sana,  meskipun Presiden diberikan wewenang untuk menetapkan platform kebijakannya, namun  fungsi Kongres dalam menentukan anggaran lebih kuat. Sesuai dengan sistem pemisahan kekuasaan, baik Senat dan DPR di AS harus sama-sama menyetujui anggaran, kemudian ditandatangani Presiden Amerika Serikat. Jika Presiden tidak setuju atas rancangan anggaran yang ditetapkan Kongres, Presiden bisa memvetonya, dan rancangan anggarannya dikembalikan ke Kongres. Di Kongres, veto tadi dapat dibatalkan dengan dua per tiga suara menolak. Oleh karena itu, kerap terjadi dalam sejarah AS, perselisihan dalam Kongres atau veto Kongres atas veto Presiden berdampak pada penutupan pemerintahan (shut down), seperti terjadi belum lama ini.

Selain persoalan teknis-instrumental, ada persoalan prinsipil. Dalam konsepsi negara kekeluargaan, haluan negara sebagai norma dasar itu mestinya dirumuskan oleh pelbagai representasi kekuatan politik dalam lembaga tertinggi negara (MPR). Ekses negatif dari kewenangan MPR sebagai lembaga tertinggi negara di masa lalu sebenarnya bisa saja dihilangkan. Artinya, Presiden tidak perlu lagi dipilih oleh MPR; dan MPR juga tidak bisa langsung menjatuhkan Presiden tanpa melalui mekanisme impeachment yang memerlukan pengajuan DPR dan keputusan Mahkamah Konstitusi. Namun, dalam ketentuan prosedur impeachment pada UUD pasca amandemen pun sebenarnya terkandung pengakuan terselubung, yang menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi. Karena MPR-lah yang diberikan wewenang sebagai pemutus terakhir bisa atau tidaknya Presiden dimakjulkan. Seturut dengan itu, mestinya tidak perlu ada keraguan untuk mengembalikan kewenangan MPR dalam menetapkan GBHN dalam versi yang lebih disempurnakan dari produk GBHN di masa lampau. []

REPUBLIKA, 15 Oktober 2014
Yudi Latif  ;  Pemikir Kenegaraan dan Kebangsaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar