Bukan Pahlawan Orang Hitam
Oleh: Emha
Ainun Nadjib
NELSON
MANDELA bukan pahlawan orang hitam, karena sebutan macam itu meletakkan orang
kulit putih atau kulit cokelat dan merah — sebagai musuh. Mandela tidak punya
musuh manusia. Musuh Mandela adalah politik apartheid, diskriminasi sosial,
atau pembeda-bedaan primordial yang mencabik-cabik kesamaan dan keutuhan
kemanusiaan.
The smart and elegant Mandela, jika pada suatu hari menghadapinya,
akan juga melawan bebagai macam pembedaan manusia atas dasar apa pun: kelas
ekonomi, status budaya, beda agama, serta dasar apapun juga — apabila pembedaan
itu digunakan sebagai landasan untuk menerapkan ketidakadilan.
Nelson Mandela menerima semua manusia sebagai saudara-saudaranya
yang sejajar di muka bumi ini. Mandela menentang pemerintahan kulit putih
Afrika Selatan, tetapi itu tak berarti ia dan seluruh gerombolan kaum hitam
akan menumpas dan membunuhi semua orang kulit putih. Yang dilawan Mandela
adalah ideologi mereka, ketidakadilan sikap mereka, keangkuhan; dan keserakahan
mereka. Mandela tidak memperjuangkan proses bagaimana memusnahkan atau
meniadakan orang kulit putih, sebab kaum putih adalah sedulur yang ia terima
makan dengan piring yang sama dan minum dengan gelas yang sama.
Tentu saja manusia berbeda-beda. Ada tukang becak dan ada menteri,
ada penjual martabak dan ulama atau ada pemburu kodok dan ada pengusaha. Tetapi
Allah menyuruh mereka bersembahyang dengan rakaat yang sama, menghitung baik
buruk perilaku mereka dengan kriteria yang sama, serta mempersyaratkan sorga
dan neraka dengan rukun-rukun yang sama.
Kulit putih, hitam, dan kulit cokelat, ulama, tukang becak,
pencari kodok atau pengusaha, hanyalah terbedakan secara fungsional dan
terminologis. Tetapi mereka adalah manusia yang sama dan memiliki hak dan
kewajiban yang sama terhadap kebahagiaan, kesejahteraan, hak politik serta
kewajiban untuk patuh terhadap aturan main.
Dan Negara Afrika Selatan, yang memenjarakan Mandela selama lebih
dari 30 tahun, adalah negeri iblis yang merupakan ironi dan penghinaan yang
terlalu dahsyat terhadap modernitas, terhadap alam pikiran sehat, terhadap
gagasan-gagasan kemuliaan yang telah dihimpun oleh umat manusia berabad-abad
lamanya. Pemerintahan kulit putih yang menguasainya memperlakukan mayoritas penduduk
kulit hitam sebagai “alas kakus” kesejahteraan kaum putih. Rasisme yang
diterapkan tidak saja dalam prespektif kultural — pisikologis — seperti yang
sampai hari ini masih juga terjadi di Amerika Serikat — namun, bahkan
diundang-undangkan secara formal. Afrika Selatan adalah Kerajaan Kulit Putih di
mana iblis dilembagakan.
Sayang sekali dunia belum sungguh-sungguh global:
kekuatan-kekuatan demokrasi kemanusiaan tidak dengan sendirinya merasuk ke
segenap pelosok bumi, meskipun ia diperkuat oleh keadidayaan militer, ekonomi,
dan politik. Inggris, umpamanya, dalam jangka waktu yang lama sekali bersikap
gojag – gajeg (ragu-ragu) dalam mengantisipasi keiblisan Afrika Selatan hanya
karena Kerajaan Elizabeth itu amat memerlukan impor batu bara darinya. Kita melihat
persis betapa jargon — jargon demokrasi dan kesamaan derajat yang
digembar-gemborkan oleh Negara-negara yang merasa diri pelopor di bidang itu
menjadi tereliminasi hanya oleh “koalisi-koalisi perut”. Eliminasi dari
relativitas yang sama terhadap hak asasi kemanusiaan juga terjadi dalam kasus
sikap dunia terhadap Israel, meskipun aksentuasinya agak berbeda.
Dunia, Negara-negara besar maupun kecil, dengan omong besarnya
tentang demokrasi dan kemanusiaan, belum sungguh-sungguh menerapkan ‘fatwa’-nya
itu dalam proses politik, ekonomi dan hukum. Anda bisa menelitinya lewat
kasus-kasus di Teluk dewasa ini, sisa-sisa di Amerika Latin, dan yang masih
tersembunyi di Arika Selatan atau peta Utara-Selatan. Namun, kita kita tetap
saja bisa “memaafkan”-nya dengan menganggap bahwa “memang demikian isi dunia”.
Di dalam filosofi Jawa, kita memaafkannya dengan etos “urip iki mek sakdermo
mampir ngombe. Ngombe banyu… saksegoro… ngombe lengo… sak Arab… royokan” (Hidup
ini sekadar mampir minum. Minum air sesamudra, minum minyak se-Arab,
ramai-ramai). Dengan berbagai alasan yang dihebat-hebatkan, di mulia-muliakan.
Dan Mandela melawan itu semua dengan keyakinan total terhadap
kedamaian. Ia merelakan diri habis usianya dalam penjara, membuang segala
kemanjaan dan hedonismenya sebagai manusia biasa. Kalau kita yang mengalaminya,
kita akan segera angkat clurit. Kalau kita dipenjarakan sampai setahun, kita
susah percaya bahwa keterpenjaraan kita akan merupakan jalan ke luar bagi
pembebasan atas sesuatu yang kita perjuangkan. Apalagi, kalau kita dipenjarakan
sampai 30 tahun lebih….
Tetapi, perkembangan awal globalisasi perpolitikan dunia telah
sedemikian rupa menjadi “virus” ke dalam tubuh Afrika Selatan, sehingga jalan
bagi Mandela sedikit terbuka.
Dulu, di zaman sebelum kemerdekaan Indonesia, kalau Anda tidak
mengangkat bambu runcing, kalau tidak ada tentara darurat, kalau tak ada
anak-anak muda yang nekat… saya percaya bahwa hari ini Anda tidak bisa ke luar
rumah mengendarai Twin Cam nonton Yurike di gedung bioskop…. []
21 Oktober 1990
Tidak ada komentar:
Posting Komentar