Kamis, 23 Oktober 2014

Cak Nun: Bukan Pahlawan Orang Hitam



Bukan Pahlawan Orang Hitam
Oleh: Emha Ainun Nadjib

NELSON MANDELA bukan pahlawan orang hitam, karena sebutan macam itu meletakkan orang kulit putih atau kulit cokelat dan merah — sebagai musuh. Mandela tidak punya musuh manusia. Musuh Mandela adalah politik apartheid, diskriminasi sosial, atau pembeda-bedaan primordial yang mencabik-cabik kesamaan dan keutuhan kemanusiaan.

The smart and elegant Mandela, jika pada suatu hari menghadapinya, akan juga melawan bebagai macam pembedaan manusia atas dasar apa pun: kelas ekonomi, status budaya, beda agama, serta dasar apapun juga — apabila pembedaan itu digunakan sebagai landasan untuk menerapkan ketidakadilan.

Nelson Mandela menerima semua manusia sebagai saudara-saudaranya yang sejajar di muka bumi ini. Mandela menentang pemerintahan kulit putih Afrika Selatan, tetapi itu tak berarti ia dan seluruh gerombolan kaum hitam akan menumpas dan membunuhi semua orang kulit putih. Yang dilawan Mandela adalah ideologi mereka, ketidakadilan sikap mereka, keangkuhan; dan keserakahan mereka. Mandela tidak memperjuangkan proses bagaimana memusnahkan atau meniadakan orang kulit putih, sebab kaum putih adalah sedulur yang ia terima makan dengan piring yang sama dan minum dengan gelas yang sama.

Tentu saja manusia berbeda-beda. Ada tukang becak dan ada menteri, ada penjual martabak dan ulama atau ada pemburu kodok dan ada pengusaha. Tetapi Allah menyuruh mereka bersembahyang dengan rakaat yang sama, menghitung baik buruk perilaku mereka dengan kriteria yang sama, serta mempersyaratkan sorga dan neraka dengan rukun-rukun yang sama.

Kulit putih, hitam, dan kulit cokelat, ulama, tukang becak, pencari kodok atau pengusaha, hanyalah terbedakan secara fungsional dan terminologis. Tetapi mereka adalah manusia yang sama dan memiliki hak dan kewajiban yang sama terhadap kebahagiaan, kesejahteraan, hak politik serta kewajiban untuk patuh terhadap aturan main.

Dan Negara Afrika Selatan, yang memenjarakan Mandela selama lebih dari 30 tahun, adalah negeri iblis yang merupakan ironi dan penghinaan yang terlalu dahsyat terhadap modernitas, terhadap alam pikiran sehat, terhadap gagasan-gagasan kemuliaan yang telah dihimpun oleh umat manusia berabad-abad lamanya. Pemerintahan kulit putih yang menguasainya memperlakukan mayoritas penduduk kulit hitam sebagai “alas kakus” kesejahteraan kaum putih. Rasisme yang diterapkan tidak saja dalam prespektif kultural — pisikologis — seperti yang sampai hari ini masih juga terjadi di Amerika Serikat — namun, bahkan diundang-undangkan secara formal. Afrika Selatan adalah Kerajaan Kulit Putih di mana iblis dilembagakan.

Sayang sekali dunia belum sungguh-sungguh global: kekuatan-kekuatan demokrasi kemanusiaan tidak dengan sendirinya merasuk ke segenap pelosok bumi, meskipun ia diperkuat oleh keadidayaan militer, ekonomi, dan politik. Inggris, umpamanya, dalam jangka waktu yang lama sekali bersikap gojag – gajeg (ragu-ragu) dalam mengantisipasi keiblisan Afrika Selatan hanya karena Kerajaan Elizabeth itu amat memerlukan impor batu bara darinya. Kita melihat persis betapa jargon — jargon demokrasi dan kesamaan derajat yang digembar-gemborkan oleh Negara-negara yang merasa diri pelopor di bidang itu menjadi tereliminasi hanya oleh “koalisi-koalisi perut”. Eliminasi dari relativitas yang sama terhadap hak asasi kemanusiaan juga terjadi dalam kasus sikap dunia terhadap Israel, meskipun aksentuasinya agak berbeda.

Dunia, Negara-negara besar maupun kecil, dengan omong besarnya tentang demokrasi dan kemanusiaan, belum sungguh-sungguh menerapkan ‘fatwa’-nya itu dalam proses politik, ekonomi dan hukum. Anda bisa menelitinya lewat kasus-kasus di Teluk dewasa ini, sisa-sisa di Amerika Latin, dan yang masih tersembunyi di Arika Selatan atau peta Utara-Selatan. Namun, kita kita tetap saja bisa “memaafkan”-nya dengan menganggap bahwa “memang demikian isi dunia”. Di dalam filosofi Jawa, kita memaafkannya dengan etos “urip iki mek sakdermo mampir ngombe. Ngombe banyu… saksegoro… ngombe lengo… sak Arab… royokan” (Hidup ini sekadar mampir minum. Minum air sesamudra, minum minyak se-Arab, ramai-ramai). Dengan berbagai alasan yang dihebat-hebatkan, di mulia-muliakan.

Dan Mandela melawan itu semua dengan keyakinan total terhadap kedamaian. Ia merelakan diri habis usianya dalam penjara, membuang segala kemanjaan dan hedonismenya sebagai manusia biasa. Kalau kita yang mengalaminya, kita akan segera angkat clurit. Kalau kita dipenjarakan sampai setahun, kita susah percaya bahwa keterpenjaraan kita akan merupakan jalan ke luar bagi pembebasan atas sesuatu yang kita perjuangkan. Apalagi, kalau kita dipenjarakan sampai 30 tahun lebih….

Tetapi, perkembangan awal globalisasi perpolitikan dunia telah sedemikian rupa menjadi “virus” ke dalam tubuh Afrika Selatan, sehingga jalan bagi Mandela sedikit terbuka.

Dulu, di zaman sebelum kemerdekaan Indonesia, kalau Anda tidak mengangkat bambu runcing, kalau tidak ada tentara darurat, kalau tak ada anak-anak muda yang nekat… saya percaya bahwa hari ini Anda tidak bisa ke luar rumah mengendarai Twin Cam nonton Yurike di gedung bioskop…. []

21 Oktober 1990

Tidak ada komentar:

Posting Komentar