Rabu, 22 Oktober 2014

Kiai Machfudz Siddiq Sang Pemula



Kiai Machfudz Siddiq Sang Pemula

Walaupun KH Machfudz Siddiq tinggal di luar Ibu Kota Propinsi, tetapi kreativitasnya untuk mengembangkan organisasi yang berskala nasional tidak pernah terhenti, sekitar tahun 1935 kiai ini telah merintis berdirinya majalah NU, yaitu Soeara Nahdlatoel Oelama. Tulisannya tersebar ke seluruh Nusantara dan digemari para Kiai serta santri, apalagi Majalah itu terbit dalam dua aksara, baik aksara Arab maupun Aksara Latin dengan menggunakan bahasa Melayu dan bahasa Jawa.

Melihat pengetahuannya yang luas, pikirannya yang jernih dan mendalam itu orang semakin tertarik untuk mengikutinya, karena itu pada Muktamar NU ke-12 di Malang 1937 kiai ini dipilih menjadi Ketua Hoftbestuur Nahdlatul Ulama (Ketua Umum PBNU). Walaupun Muktamirin telah sepakat memilihnya, tetapi Kiai yang juga pujangga ini menolak dengan alasan masih akan konsentrasi mengelola majalah dan pesantrennya di Jember.

Melihat keinginan Muktamirin itu akhirnya KH Hasyim Asy’ari turun sendiri dengan meminta kesediaan Kiai Machfudz Siddiq. Karena yang meminta Rois Akbar, maka tidak ada jalan lain kecuali harus menerima. Tetapi masalah besar muncul bahwa Kiai Machfudz tidak memiliki rumah di Surabaya, pusat kantor PBNU Saat itu. Akhirnya Muktamirin mengedarkan kotak sumbangan untuk menyewakan rumah bagi ketua umumnya, uang pun didapat dari Muktamirin dengan jumlah yang melebihi kebutuhan sewa rumah, tetapi juga untuk membantu kehidupan Sang Kiai dengan keluarganya hidup di Surabaya.

Saat menjadi ketua Umum PBNU itu pikirannya semakin tumbuh subur, selain melakukan penataan organisasi secara modern, merumuskan  metode dakwah yang efektif, penerbitan majalah dan koran semakin digencarkan, juga merumuskan tentang prinsip pengembangan masyarakat yang dikenal dengan mabadi khoiro ummah. Pikiran ini sangat terkenal di kalanagan ulama saat itu dan digunakan hingga sekarang.  

Ketika masa Orde Baru NU mengalami kemunduran yang sangat drastis ditekan oleh rezim itu sehingga NU tercabik-cabik. Melihat kenyataan itu  sekitar tahun 1980-an Kiai Ahmad Siddiq (adik Kiai Machfudz Siddiq) menyampaikan keluhannya pada Kiai Muchith Muzadi. “Kita ini sudah berumur 50 tahun lebih tetapi belum bisa berbuat apa-apa seperti yang dulu dilakukan Kiai Machfud yang saat itu baru berusia 30-an tahun, sehingga kita tidak bisa mendandani Nu yang sedang jatuh ini.”

“Sampeyan yang sudah bisa berbuat banyak masih mengeluh, lalu bagaimana dengan orang seperti saya yang seumur-umur belum bisa berbuat apa-apa, tentunya saya harus lebih mengeluh lag kiai,” jawab Kiai Muchith sedih.

“NU ini milik Allah dan milik ummat, semoga Allah mengirimkan pemimpin besar untuk kembali menegakkan NU di tengah bangsa ini, sehingga bisa dijadikan jalan menuju keridloan hidup di dunia dan akhirat.”

Tidak lama setelah itu yakni 1983 islah antara kubu NU Situbondo dan kubu Cipete terjadi, lalu diadakan Munas 1983 dan Muktamar NU 1984, di Situbondo. Tanpa diduga sebelumnya KH Achmad Siddiq terpilih sebagai Rois Aam dan KH Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum, sementara Mustasyarnya KH As’ad Syamsul Arifin merupakan paduan yang sangat ideal, yang mampu membawa NU ke puncak kemajuan, sehingga NU menjadi organisasi paling disegani  baik di level nasional maupun dilingkungan diplomasi internasional. []

(Abdul Mun’im DZ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar