Bughot Haram, Nahi Munkar Wajib
Kiai Bisri Sansoeri dikenal sebagai ulama
fikih yang lugas dan tegas, sehingga banyak berbenturan dengan Kiai Wahab
Chasbullah yang lebih luwes dan moderat. Memang dalam berpendapat dan bersikap
Kiai Bisri menunjukkan watak yang seperti itu. Ketika Bung Karno membubarkan
Konstituante dan DPR kemudian membentuk DPR GR Kiai Bisri menganggap langkah
Bung Karno itu ghosob (penjarahan) terhadap hak rakyat, karena itu Kiai Bisri
menolak NU bergabung di DPR GR maupun pada rezim Soekarno.
Sebaliknya untuk menjalankan amar ma’ruf nahi munkar Kiai Wahab menganjurkan NU terlibat dalam DPRGR maupun dalam Kabinet, yang penting masuk dulu berjuang dari dalam kalau tidak cocok keluarnya gampang. Akhirnya NU terlibat dalam politik Bung Karno, namun secara Pribadi Kiai Bisri tetap pada pendiriannya, tetap berbeda dengan Kiai Wahab.
Namun demikian jangan mengira ia mengambil sikap oposisi pada pemerintah, tidak, buktinya pendiri NU ini mengecam tindakan Imron Rosjadi aktivis NU yang menjadi ketua Liga Demokrasi, ini sudah gerakan oposisi yang merongrong kewibawaan pemerintah dan bisa membahayakan keamanan negara. Apalagi ketika Kiai Bisri tahu bahwa dalam Liga demokrasi itu berkumpul para simpatisan pemberontak PRRI-Permesta, maka ketidaksukaannya semakin besar.
Berkaitan dengan strategi berpolitik itu Kiai Bisri mengingatkan para kader muda NU saat itu antara lain KH Hafidz Usman dan kawan kawannya yang rajin sowan ke pesantrennya, agar tetap tegas dalam berpendirian, tetapi tetap luwes dalam menyikapi keadaan negara NU tidak terjebak pada radikalisme dan ekstremisme, karena ujung-ujungnya akan menjadi pemberontak seperti DI, PRRI Permesta, PKI dan sebagainya. Menurut Kiai Bisri sebenci apapun terhadap pemerintah yang berkuasa, NU tidak boleh melakukan bughot (memberiontak) ini hukumnya haram, tetapi melakukan amar makruf nahi munkar wajib hukumnya. []
(Abdul Mun’im DZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar