Jumat, 17 Oktober 2014

Kang Komar: Sisi Gelap Demokrasi



Sisi Gelap Demokrasi
Oleh: Komaruddin Hidayat

Salah satu formula demokrasi yang populer adalah: kekuasaan berasal dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Mengingat yang bernama rakyat jumlahnya semakin meningkat, dibentuklah lembaga yang menyalurkan aspirasi rakyat, yaitu partai politik (parpol).

Salahsatufungsi parpol adalah memfasilitasi pemilihan wakil rakyat agar duduk di dewan perwakilan rakyat (DPR), baik di tingkat pusat maupun daerah. Jadi, di situ sudah terjadi dua jenjang penyambung lidah rakyat, yaitu parpol dan lembaga DPR. Oleh karenanya, sangatmungkinterjadipenyimpangan pada tingkat parpol. Bahwa agenda yang diperjuangkan elite parpol tak lagi sejalan dengan aspirasi rakyat. Kedua, ketika wakil parpol duduk di DPR, mungkin saja berbeda dari aspirasi asal parpolnya, karena banyaknya lobi dan tekanan dari kanan-kiri.

Dengan mengikuti pemberitaan dinamika politik dan demokrasi yang berlangsung, rupanya aspirasi dan perilaku kalangan DPR dipandang asing, bahkan menjengkelkan bagi rakyat yang merasa telah mempercayakan aspirasi politik mereka kepada para wakil mereka. Di sini terjadi inkonsistensi dan deviasi hubungan antara rakyat dan wakilnya. Kedaulatan berasal dari rakyat, dilimpahkan ke parpol, lalu oleh parpol diwakilkan lagi ke anggota DPR, dan ketika sampai di DPR jangan-jangan hubungan antara anggota DPR dengan parpol dan rakyat semakin renggang dan jauh.

Sampai di sini, kedaulatan bukan lagi di tangan rakyat, melainkan di tangan anggota DPR. Di sini sisi dan lorong gelap demokrasi mulai muncul. Mengingat jumlah rakyat Indonesia di atas 200 juta, tentu saja tidak mungkin semua ikut sidang demi menjaga kedaulatan rakyat secara utuh. Mesti ada parpol dan sistem perwakilan. Dan untuk memilih pun jalannya cukup panjang dan biayanya mahal. Beda sekali dari gagasan dan praktik awal demokrasi di zaman Yunani kuno dulu. Rakyat masih sedikit dan memiliki kedekatan hubungan antara yang diwakili dan yang mewakili.

Tetapi rakyat Indonesia yang demikian banyak dan tersebar di ribuan pulau, pasti banyak yang tidak tahu siapa calon wakil mereka. Ketika pemilu hanya disuruh masuk bilik suara untuk nyoblos gambar, dan foto yang dicoblos pun sesuai pesanan juru bayar. Jadi, pada praktiknya demokrasi yang punya klaim sebagai manifestasi kedaulatan rakyat, di sana bisa saja terjadi pembajakan kedaulatan rakyat oleh parpol, kemudian kedaulatan parpol diambil alih oleh wakilnya di DPR, dan kedaulatan anggota DPR diambil alih oleh fraksi.

Sehingga, pada urutannya, yang menentukan kebijakan undang-undang dan anggaran negara hanya segelintir orang dengan mengatasnamakan rakyat dan parpol. Itulah salah satu konsekuensi demokrasi. Apa yang disebut majelis permusyawaratan bisa saja tak lebih dari majelis permusyawaratan beberapa wakil parpol yang belum tentu mewakili aspirasi anggotanya. Demokrasi yang mengejar kemenangan hanya dengan formula suara 50% + 1 akan terjatuh pada demokrasi prosedural, tetapi melupakan substansinya. Atau dalam bahasa Pancasila, demokrasi yang tak lagi menghargai hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan.

Dalam kaitan ini, manifestasi hak rakyat untuk bersuara hanya sebatas mencoblos suara sewaktu pemilu lima tahun sekali yang berlangsung sekitar lima menit, setelahnya sudah beralih ke tangan politisi yang tak mudah lagi siapa pun mengontrolnya. Jika demokrasi ibarat benih pohon besar yang menjanjikan daun yang rindang dan buahnya yang manis, maka kebesarannya tak akan terwujud ketika tanahnya tidak gembur. Air dan cahaya matahari tidak mendukung.

Demikianlah, makanya demokrasi akan sehat dan tumbuh kokoh serta mendatangkan kemakmuran jika rakyatnya memiliki pendidikan yang bagus dan merata, tingkat ekonominya sudah sejahtera, serta terwujudnya ketegasan dan keadilan hukum. Dalam masyarakat yang demikian, rakyat justru rela mengeluarkan uang untuk membantu perjuangan para calon wakil rakyat dan calon presiden karena rakyat yakin mereka akan memperjuangkan nasibnya. Tetapi menjadi suatu ironi dan memilukan ketika yang terjadi justru politisi mengeluarkan uang miliaran untuk membeli suara rakyat.

Logika awam pun bertanya, para politisi yang telah mengeluarkan miliaran uang untuk membeli suara rakyat itu apakah karena dorongan hati untuk bersedekah secara ikhlas, karena telah kelebihan uang, ataukah karena ada agenda lain semata mengejar jabatan untuk mengejar kekayaan materi? Jika yang terjadi adalah yang terakhir, maka dipastikan mereka akan korupsi dan menyalahgunakan jabatan setelah berkuasa untuk mengembalikan modal dan mencari keuntungan.

Demikian burukkah demokrasi? Tentu saja sampai hari ini sistem demokrasi masih diyakini sebagai sistem yang terbaik selama syarat-syaratnya yang standar terpenuhi. Prasyarat demokrasi yang sehat kita semua tentunya sudah tahu. Jika tak terpenuhi, panggung demokrasi bisa berubah jadi panggung dagang sapi yang miskin dari sikap politisi-negarawan, dan hanya menyajikan tontonan yang sangat menyebalkan. Pemilu lalu menjadi lembaga dan mekanisme pembelian dan pembajakan suara rakyat sebagai modal untuk berburu kekuasaan, jabatan, dan keuntungan materi. []

KORAN SINDO,  10 Oktober 2014
Komaruddin Hidayat  ;   Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar