Sisi Gelap Demokrasi
Oleh: Komaruddin Hidayat
Salah satu formula demokrasi yang populer adalah: kekuasaan
berasal dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Mengingat yang bernama rakyat
jumlahnya semakin meningkat, dibentuklah lembaga yang menyalurkan aspirasi
rakyat, yaitu partai politik (parpol).
Salahsatufungsi parpol adalah memfasilitasi pemilihan wakil rakyat
agar duduk di dewan perwakilan rakyat (DPR), baik di tingkat pusat maupun
daerah. Jadi, di situ sudah terjadi dua jenjang penyambung lidah rakyat, yaitu
parpol dan lembaga DPR. Oleh karenanya, sangatmungkinterjadipenyimpangan pada
tingkat parpol. Bahwa agenda yang diperjuangkan elite parpol tak lagi sejalan
dengan aspirasi rakyat. Kedua, ketika wakil parpol duduk di DPR, mungkin saja
berbeda dari aspirasi asal parpolnya, karena banyaknya lobi dan tekanan dari
kanan-kiri.
Dengan mengikuti pemberitaan dinamika politik dan demokrasi yang
berlangsung, rupanya aspirasi dan perilaku kalangan DPR dipandang asing, bahkan
menjengkelkan bagi rakyat yang merasa telah mempercayakan aspirasi politik
mereka kepada para wakil mereka. Di sini terjadi inkonsistensi dan deviasi
hubungan antara rakyat dan wakilnya. Kedaulatan berasal dari rakyat,
dilimpahkan ke parpol, lalu oleh parpol diwakilkan lagi ke anggota DPR, dan
ketika sampai di DPR jangan-jangan hubungan antara anggota DPR dengan parpol
dan rakyat semakin renggang dan jauh.
Sampai di sini, kedaulatan bukan lagi di tangan rakyat, melainkan
di tangan anggota DPR. Di sini sisi dan lorong gelap demokrasi mulai muncul.
Mengingat jumlah rakyat Indonesia di atas 200 juta, tentu saja tidak mungkin
semua ikut sidang demi menjaga kedaulatan rakyat secara utuh. Mesti ada parpol
dan sistem perwakilan. Dan untuk memilih pun jalannya cukup panjang dan
biayanya mahal. Beda sekali dari gagasan dan praktik awal demokrasi di zaman
Yunani kuno dulu. Rakyat masih sedikit dan memiliki kedekatan hubungan antara
yang diwakili dan yang mewakili.
Tetapi rakyat Indonesia yang demikian banyak dan tersebar di
ribuan pulau, pasti banyak yang tidak tahu siapa calon wakil mereka. Ketika
pemilu hanya disuruh masuk bilik suara untuk nyoblos gambar, dan foto yang
dicoblos pun sesuai pesanan juru bayar. Jadi, pada praktiknya demokrasi yang
punya klaim sebagai manifestasi kedaulatan rakyat, di sana bisa saja terjadi
pembajakan kedaulatan rakyat oleh parpol, kemudian kedaulatan parpol diambil
alih oleh wakilnya di DPR, dan kedaulatan anggota DPR diambil alih oleh fraksi.
Sehingga, pada urutannya, yang menentukan kebijakan undang-undang
dan anggaran negara hanya segelintir orang dengan mengatasnamakan rakyat dan
parpol. Itulah salah satu konsekuensi demokrasi. Apa yang disebut majelis
permusyawaratan bisa saja tak lebih dari majelis permusyawaratan beberapa wakil
parpol yang belum tentu mewakili aspirasi anggotanya. Demokrasi yang mengejar
kemenangan hanya dengan formula suara 50% + 1 akan terjatuh pada demokrasi
prosedural, tetapi melupakan substansinya. Atau dalam bahasa Pancasila,
demokrasi yang tak lagi menghargai hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan.
Dalam kaitan ini, manifestasi hak rakyat untuk bersuara hanya
sebatas mencoblos suara sewaktu pemilu lima tahun sekali yang berlangsung
sekitar lima menit, setelahnya sudah beralih ke tangan politisi yang tak mudah
lagi siapa pun mengontrolnya. Jika demokrasi ibarat benih pohon besar yang
menjanjikan daun yang rindang dan buahnya yang manis, maka kebesarannya tak
akan terwujud ketika tanahnya tidak gembur. Air dan cahaya matahari tidak
mendukung.
Demikianlah, makanya demokrasi akan sehat dan tumbuh kokoh serta
mendatangkan kemakmuran jika rakyatnya memiliki pendidikan yang bagus dan
merata, tingkat ekonominya sudah sejahtera, serta terwujudnya ketegasan dan
keadilan hukum. Dalam masyarakat yang demikian, rakyat justru rela mengeluarkan
uang untuk membantu perjuangan para calon wakil rakyat dan calon presiden
karena rakyat yakin mereka akan memperjuangkan nasibnya. Tetapi menjadi suatu
ironi dan memilukan ketika yang terjadi justru politisi mengeluarkan uang
miliaran untuk membeli suara rakyat.
Logika awam pun bertanya, para politisi yang telah mengeluarkan
miliaran uang untuk membeli suara rakyat itu apakah karena dorongan hati untuk
bersedekah secara ikhlas, karena telah kelebihan uang, ataukah karena ada
agenda lain semata mengejar jabatan untuk mengejar kekayaan materi? Jika yang
terjadi adalah yang terakhir, maka dipastikan mereka akan korupsi dan
menyalahgunakan jabatan setelah berkuasa untuk mengembalikan modal dan mencari
keuntungan.
Demikian burukkah demokrasi? Tentu saja sampai hari ini sistem
demokrasi masih diyakini sebagai sistem yang terbaik selama syarat-syaratnya
yang standar terpenuhi. Prasyarat demokrasi yang sehat kita semua tentunya
sudah tahu. Jika tak terpenuhi, panggung demokrasi bisa berubah jadi panggung
dagang sapi yang miskin dari sikap politisi-negarawan, dan hanya menyajikan
tontonan yang sangat menyebalkan. Pemilu lalu menjadi lembaga dan mekanisme
pembelian dan pembajakan suara rakyat sebagai modal untuk berburu kekuasaan,
jabatan, dan keuntungan materi. []
KORAN SINDO, 10 Oktober 2014
Komaruddin Hidayat ; Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar