Rabu, 22 Oktober 2014

(Ngaji of the Day) Usaha Memperluas Pemahaman Terhadap Sebuah Tradisi



Usaha Memperluas Pemahaman Terhadap Sebuah Tradisi
Oleh: Fathoni

--Secara leksikal, tradisi berarti kebiasaan. Ya, kebiasaan yang berkesinambungan dalam kehidupan masyarakat sehingga tak jarang manusia meyakininya sebagai sebuah laku sosial maupun keagamaan yang harus dilaksanakan. Oleh sebab itu, tak jarang sebuah tradisi berbenturan dengan keyakinan agama bagi sekelompok orang, terutama dalam lingkup agama Islam di Indonesia.

Sebenarnya pemahaman seperti itu kontradiktif mengingat agama Islam di Nusantara ini disebarkan melalui instrumen tradisi dan budaya. Wali Songo, sebagai pelaku penyebaran Islam di Nusantara tidak memberangus sedikitpun tradisi maupun budaya orang-orang Nusantara. Justru mereka menjadikan semua itu sebagai media dalam proses internalisasi nilai-nilai Islam sehingga Islam dengan mudah dapat merasuk ke dalam hati mereka di tengah keyakinan nenek moyangnya yang telah berjalan selama berabad-abad.

Tak bisa dipungkiri, tradisi yang lahir dari manusia secara sosiologis memberikan warna dan kekayaan dalam kehidupan sebagai sebuah media perekat secara humanis dari orang per orang maupun sekelompok orang sehingga membentuk semacam tali kasih kuat yang jika satu orang mengalami kesusahan, semua orang tentu akan merasakan hingga timbul rasa ingin membantu. Misal tradisi sedekah bumi, sekelompok orang menilainya sebagai sebuah laku agama yang dapat menggelincirkan akidah.

Padahal bagi orang-orang dengan pemahaman Islam secara substantif tidak demikian. Sebab, dalam kemasan tradisi sedekah bumi tersebut, kita berdzikir memuji Allah swt dengan membaca ayat-ayat al-Qur’an, kalimah tahlil, dan kalimah-kalimah toyyibah lain yang kesemuanya bermuara kepada Allah dan Kekasih-Nya Muhammad saw dengan khusyu dan penuh khidmat. Itulah pemahaman orang-orang Nusantara dari zaman Wali Songo hingga sekarang yang tidak lagi menjadikan para leluhur sebagai muara dari ritualnya. Hingga sekarang, 400 lebih suku bangsa di Indonesia dengan ribuan tradisi di dalamnya telah mampu merekatkan seluruh bangsa Indoensia.

Jika sebagian atau sekelompok orang ingin mereduksi atau menghancurkannya, maka perbuatan tersebut sama saja dengan menghancurkan alat pemersatu bangsa Indonesia. Kalau dahulu tradisi digunakan oleh orang-orang Nusantara untuk meminta pengasihan kepada para leluhur, tentu zaman sekarang pemikiran tersebut telah hilang. Sebab, para Wali Songo dan ulama-ulama Nusantara telah mengisinya dengan nilai-nilai Islam yang dibawa Kanjeng Nabi saw dengan tidak merusak tradisi. Analoginya, jika ada sebuah gelas yang berisi air keruh, kita tidak harus serta merta membanting gelas untuk membuang airnya. Cukup dengan membuang air keruhnya untuk kemudian diisi dengan air putih bersih nan bening sehingga kita tetap bisa menggunakan gelas tersebut selamanya. Inilah yang seharusnya dipahami dari sebuah tradisi yang dapat menjadi media perekat kehidupan masyarakat. Tentu peran para ‘alim ulama sangat penting dalam memahamkan esensi Islamnya sehingga masyarakat tidak tergelincir dalam pemahaman yang keliru.

Dengan ingin mereduksi tradisi, tentu sekelompok orang ini memahami Islam dari kulit luarnya saja. Rekonstruksi kehidupan manusia yang terjalin melalui tradisi yang memunculkan berbagai kekayaan pemikiran dan laku sosial serta dibalut dengan kehidupan beragama dianggap sebagai sebuah kesesatan. Mereka menganggap Islam bisa diterapkan hanya dengan ‘bercuap-cuap’ tanpa alat atau media. Padahal selama ini, dakwah seperti itulah yang cenderung menciptakan sikap eksklusif (menutup diri) sehingga yang timbul adalah sifat kaku dan keras dalam mendakwahkan Islam. Sedangkan dalam sejarahnya, Islam disampaikan secara inklusif (terbuka dengan siapapun dan apapun) dengan tidak gampangnya melontarkan kata-kata kafir, sesat, bid’ah, dan sebagainya terhadap kelompok lain apalagi dengan kelompoknya sendiri dengan alasan mengotori ajaran agama Islam karena mencampuradukan Islam dengan tradisi dan budaya.

Jika pemahaman dan sikap seperti ini yang dibawa oleh para Wali Songo, Islam di Indonesia tidak akan sebesar seperti sekarang. Oleh karena itu, atas jasa-jasanya, kesalehaannya secara sosial dan spiritual, dan kedekatannya dengan dengan Allah swt, masyarakat Nusantara tidak henti-hentinya menziarahi makam para Wali. Tapi sayang, dengan pola pikir piciknya pula, tradisi ziarah juga dinilai sebagai perbuatan sesat oleh orang-orang inklusif tersebut. Tentu, masyarakat tidak bermaksud menyembah kuburan melainkan mendoakan orang saleh dengan cara mengunjunginya. Apakah dengan shalat menghadap tembok lantas kita menyembah tembok?

Dari hal di atas mengandung esensi bahwa hanya jasadlah yang meninggal, ruh tetap hidup. Kendati demikian, jasad kekasih Allah yaitu para Nabi dan Wali tidak akan hancur untuk selamanya karena dipelihara Allah. Oleh sebab itu, orang-orang saleh yang telah meninggal dapat menjadi perantara (wasilah) permohonan kita kepada Allah, karena mereka sangat dekat dengan-Nya. Seperti kita hendak memetik buah pada ketinggian, sedangkan kita tak bisa memanjat, tentu kita butuh wasilah tongkat untuk dapat memperoleh buah tersebut.

Tradisi sebagai Sebuah Simbol

Dalam memperluas pemahaman terhadap tradisi dapat juga dengan mencatatkan diri bahwa tradisi adalah sebuah simbol. Perlu kita ketahui bersama bahwa instrumen pengingat yang paling efektif adalah simbol. Dengan kata lain, simbol adalah pengingat. Misal di perjalanan, simbol S dengan strip garis merah mengingatkan kita bahwa dilarang stop (berhenti) di area tersebut. Jika tidak diingat, tentu akan membahayakan diri dan orang lain. Begitu juga dengan simbol-simbol lalu lintas yang lain.

Contoh lain, ada seseorang yang hendak mencari Kantor Pusat Kementerian Agama di Jakarta. Dia belum tahu letak gedungnya. Tiba-tiba di tengah jalan dia melihat gedung yang cukup tinggi dari kejauhan dengan simbol segi lima warna hijau dengan gambar kitab di tenganhya. Dia tahu bahwa itulah kantor yang dia tuju dengan mengingat simbol atau logo yang terlihat dari jarak jauh tersebut.

Artinya, simbol adalah petunjuk. Sama seperti sebuah tradisi. Jika tak bisa memahami dari sudut pandang agama yang akhirnya hanya bisa mengkafirkan, cukup tradisi dipahami sebagai simbol untuk mengingat ayat-ayat Tuhan. Contoh tradisi sedekah bumi sebagai simbol untuk mengingatkan kita bahwa manusia harus selalu bersyukur kepada Sang Pemberi Nikmat berupa kesuburan tanah dan melimpahnya hasil panen. Melalui sedekah bumi juga, masyarakat dapat saling mengenal sehingga tercipta kondisi yang guyub-rukun. Begitu juga dengan tradisi ziarah kubur sebagai simbol pengingat manusia akan kehidupan sementara di dunia. Selain itu, dengan mulianya para Wali yang tempat peristirahatan terkahirnya banyak dikunjungi, cukuplah menjadi simbol agar manusia berlaku baik selama hidupnya sehingga menjadi seorang kekasih yang dikasihi Tuhannya.

Dengan berpikir dan bersikap seperti demikian, tentu sebagai makhluk berbudaya, manusia tidak akan mudah men-judge dan menghukumi sesat apalagi berusaha menghilangkan sebuah tradisi yang jelas-jelas mampu mempererat dan merekatkan kehidupan masyarakat dari berbagai kelompok, suku, maupun keyakinan. Antipati terhadap sebuah tradisi, berarti tak simpati pula dengan kekayaan berpikir manusia yang telah menjadi keniscayaan dalam mengelola hidupnya sebagai seorang khalifah. Nah, dalam hal ini, tradisi dapat dianggap sebagai sebuah instrumen manusia sebagai seorang khalifah dalam mengelola kehidupan di bumi. Wallahu‘alam bisshowab... []

 Fathoni, Pegiat Kajian Islam Nusantara STAINU Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar