Kamis, 23 Oktober 2014

Gus Sholah: Setelah 49 Tahun



Setelah 49 Tahun
Oleh: Salahuddin Wahid

SAYA tertarik pada judul berita halaman 1 sebuah harian: ”Banyak Warga Sudah Lupakan Peristiwa G30S/PKI”. Diberitakan bahwa tidak banyak lagi yang mengibarkan bendera setengah tiang pada 30 September 2014. Judul di atas menunjukkan fakta yang sebenarnya bahwa kita memang melupakan banyak hal terkait Peristiwa G30S.

Yang dilupakan antara lain ialah fakta bahwa 50 tahun-70 tahun lalu terdapat konflik ideologis antara partai komunis dan kelompok lain, yaitu TNI, partai berdasar Pancasila, dan partai-berdasar Islam. PKI dan organisasi pendukungnya menggunakan cara kekerasan terhadap aktivis Partai NU dan organisasi pendukungnya serta aktivis organisasi Islam lain. Selain itu, juga terdapat pertentangan ideologis antara partai Islam dan partai Pancasila, yang baru diakhiri pada 1985.

Duduk perkara sebenarnya dari Peristiwa G30S tampaknya tidak akan pernah jelas. Siapa pihak yang merencanakan dan menjalankan operasi G30S itu tampaknya tidak akan bisa kita ungkap. Ada sejumlah teori tentang siapa yang menjadi dalang. Ada teori bahwa PKI adalah dalangnya, bahwa dalangnya adalah Pak Harto, atau CIA, atau akibat konflik internal AD a,tau bahkan Bung Karno.

Untuk bisa menjawab teka-teki sejarah itu, Presiden Megawati membentuk tim sejarawan dan ahli lain yang dipimpin oleh Prof Taufik Abdullah.  Ternyata tim itu tidak berhasil mencapai kata sepakat untuk memecahkan teka-teki di atas. Para guru Sejarah tentu sulit untuk menjawab pertanyaan siswa tentang masalah itu.

Masalah yang tidak boleh dilupakan dan merupakan salah satu masalah terbesar bangsa kita  adalah tindakan pembunuhan terkait ”Peristiwa G30S” yang memakan korban ratusan ribu bahkan mungkin jutaan warga yang diduga anggota PKI dan organisasi pendukungnya.
Juga terjadi kebijakan diskriminatif terhadap keluarga korban. Hampir setengah abad berlalu belum ada tanda-tanda bahwa akan diperoleh penyelesaian yang menyeluruh dan tuntas. Sudah ada kemajuan yang kita capai, keturunan PKI sudah bisa menjadi anggota DPR dan tampil dalam berbagai posisi di dalam masyarakat. Bagi para korban dan keluarga, penyelesaian itu dianggap belum tuntas.

Mengungkap fakta

Dalam acara Kick Andy (2005), saya bertemu seorang anggota Banser yang mengaku mengeksekusi mereka yang dianggap warga PKI/organisasi pendukungnya. Dia mengaku mendapat perintah itu dari pimpinan TNI tingkat kecamatan.

Dia meminta nasihat dari seorang kiai dan diingatkan bahwa kalau menolak, dia justru akan menjadi sasaran.  Saat tampil di depan layar TV, anggota Banser itu memakai topeng, tetapi di belakang layar dia tampil terbuka. Setelah selesai acara dia mengatakan bahwa dia merasa beban berat yang selama puluhan tahun harus dipikulnya kini terasa jauh berkurang.

Host acara itu menanyakan tanggapan saya terhadap pengakuan anggota Banser tersebut. Menurut saya, kita beruntung tak berada pada posisi anggota Banser itu. Siapa pun yang berada pada posisi itu, termasuk tokoh-tokoh PKI, akan melakukan tindakan sama. Kalau kita tak mau melakukan perintah pimpinan TNI kecamatan, amat mungkin kita dianggap anggota PKI. Jumlah anggota Banser seperti itu amat banyak. Mereka jadi korban dari keadaan yang tak bisa dihindari.

Film The Act of Killing karya Joshua Oppenheimer mengungkap kekejian eksekutor, anggota Pemuda Pancasila di Provinsi Sumatera Utara. Dalam film tersebut diperlihatkan bahwa para pelaku itu tidak merasa bersalah dan tidak menyesal. Ada film lain dari Oppenheimer yang juga terkait Peristiwa G30S, yaitu The Look of Silence, yang mengisahkan seseorang bernama Adi Rukun yang kakaknya dibunuh pada tahun 1965. Dia mencoba mencari pembunuh kakaknya itu. Kedua film tersebut mendapat penghargaan luar biasa di luar negeri, tetapi di sini belum tentu bisa diterima oleh masyarakat luas.

Majalah Tempo September 2012 mengungkap sejumlah tindakan eksekusi di Jawa Timur, yang umumnya adalah warga NU. Tulisan itu lalu diterbitkan sebagai buku dengan judul Pengakuan Algojo 1965. Struktur dan warga NU tentu merasa keberatan terhadap laporan Tempo itu. Untuk mengimbangi buku tersebut, mereka  menerbitkan buku Benturan NU-PKI 1948-1965 dengan perspektif berbeda.

Rekomendasi Komnas HAM

Saat saya menjadi anggota Komnas HAM ada usul untuk membuat Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat terhadap Peristiwa 1965-1966. Saya sudah berjanji kepada diri sendiri bahwa saya tak mau ikut dalam tim karena ada konflik di dalam diri saya sehingga saya khawatir tidak bisa bersikap obyektif. Ternyata tim itu tidak jadi dibentuk dan yang dibentuk ialah Tim Penelitian Kasus Pulau Buru. Saya masuk ke dalam tim itu, tetapi tidak pernah bekerja karena pada awal Mei 2004 saya mengundurkan diri dari Komnas HAM saat menjadi cawapres.

Pada Juni 2008 dibentuklah Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa 1965-1966. Tim bekerja hampir empat tahun dan pada akhir April 2012 menyelesaikan tugasnya dan disetujui rapat pleno, Juli 2012. Tim melakukan pemeriksaan terhadap saksi dan korban berjumlah 349 orang, melakukan peninjauan langsung ke daerah. Tim menyimpulkan diduga telah terjadi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Laporan tim telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung dan pada Agustus 2012 berlangsung pertemuan antara pimpinan Komnas HAM dan pimpinan Kejaksaan Agung untuk membahas tindak lanjut terhadap hasil penyelidikan. Sampai hari ini belum ada hasil nyata dari rencana tindak lanjut itu. Tak lama setelah pertemuan itu, sejumlah purnawirawan TNI dan tokoh-tokoh ormas tertentu berkumpul untuk membahas masalah tersebut.

Mereka menemui Presiden SBY dan meminta supaya Presiden tidak meminta maaf kepada para korban. Saya mengusulkan melalui Dr Albert Hasibuan supaya Presiden meminta maaf kepada para korban dan keluarga mereka, dan menegaskan bahwa permintaan maaf itu bukan kepada organisasi PKI.

Tim Komnas HAM untuk Peristiwa 1965-1966 membuat rekomendasi : 1) Meminta Jaksa Agung menindaklanjuti hasil penyelidikan ini dengan penyidikan. 2) Hasil penyelidikan ini dapat juga diselesaikan melalui mekanisme nonyudisial demi untuk memenuhi rasa keadilan bagi korban dan keluarganya (KKR). Namun, kita tahu bahwa pada 2007, UU KKR telah dibatalkan MK pada saat KKR dalam tahap akhir pembentukannya.  Sampai kini belum ada lagi prakarsa untuk membentuk KKR.

Rekonsiliasi sosial-budaya telah berjalan cukup lama, diprakarsai sejumlah anak muda khususnya dari kalangan NU. Banyak anak-anak dari para anggota Banser yang melakukan eksekusi kepada para korban 1965 merasa punya tanggung jawab membantu keluarga korban. Namun, masih cukup banyak kelompok yang tak menghargai upaya rekonsiliasi ini. Kelompok ini masih kuat sikap penolakannya terhadap hal atau kelompok yang berbau komunisme. Hal itu disebabkan pengalaman kesejarahan pada masa lampau saat mereka jadi korban tindak kekerasan warga PKI dan organisasi pendukungnya.

Ternyata waktu setengah abad masih belum cukup untuk mewujudkan rekonsiliasi dan menyelesaikan dengan tuntas beragam masalah yang muncul sebagai akibat dari Peristiwa G30S dan peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya. Mungkin setelah generasi yang kini berusia di atas 65 tahun telah hilang, baru ada kemungkinan rekonsiliasi terwujud. Perlu dicatat, kalau keluarga korban dan warga eks PKI akan melakukan lagi yang dilakukan PKI pada 1948-1965, akan timbul lagi konflik yang sama. []

KOMPAS,  18 Oktober 2014
Salahuddin Wahid  ;   Pengasuh Pesantren Tebuireng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar