Kawan dan Lawan Politik
Oleh: Mohamad Sobary
Pak Jokowi punya banyak pendukung dan kawan yang bisa diandalkan.
Mereka kuat dan bisa membikin Pak Jokowi menang dalam pemilu yang baru lalu.
Mereka kuat karena pada dasarnya semua orang-orang lemah, terbukti
dari ”saweran” politik yang disalurkan melalui suatu rekening khusus recehan.
Ini semua luar biasa. Hanya suasana jiwa dan solidaritas politik
di masa revolusi dulu yang bisa menyamainya. Kita terkejut, dan heran, bahwa di
tengah suasana serbauang, serbamateri, serbabayar, dan tak satu pun unsur
gratis dalam hidup ini, tiba-tiba, entah apa sebabnya, sebuah solidaritas yang
tak terbayangkan muncul.
Kita belum lagi tahu, faktor apa penyebabnya. Apakah kita tak
perlu tahu dan cukup mengatakan solidaritas ya solidaritas? Apakah solidaritas
itu cukup dijelaskan, semata untuk Pak Jokowi dan tidak mungkin untuk orang
lain?
Betapa luar biasanya fenomena politik ini. Apakah ini suatu cermin
kewibawaan kharismatik yang bisa membius kesadaran massa, yang hanya dimiliki
Bung Karno pada zamannya? Apakah kewibawaan keduanya memiliki sumber-sumber
yang sama dan muncul dalam wajah politik yang sama?
”Kita belum tahu.” ”Apakah Pak Jokowi setingkat Bung Karno?”
”Kita juga belum tahu.” ”Apakah kewibawaan Pak Jokowi sama dengan
kewibawaan Bung Karno?”
”Kita belum tahu.” ”Apakah pengaruh kewibawaan keduanya sama?”
”Mungkin sama pengaruhnya. Tapi tak berarti Pak Jokowi sama dengan
Bung Karno”
Mungkin tidak harus sama. Pak Jokowi ya Pak Jokowi. Bung Karno ya
Bung Karno. Itu saja. Lagi pula buat apa harus sama dan disama-samakan? Biarlah
masing-masing menjadi pribadi khusus, sesuai tuntutan sejarah. Dan itu berarti
keduanya tidak sama, dan memang tidak harus sama.
Kecuali itu, kawan politik Pak Jokowi, pendukung Pak Jokowi, tidak
sama dengan kawan politik dan pendukung politik Bung Karno. Seperti disebut di
atas tadi, secara sepintas solidaritas politik kali ini tampak seperti
solidaritas di zaman revolusi, solidaritas pada Bung Karno. Tapi apa yang
”tampak seperti” belum tentu sama, dan kelihatannya tidak sama. Saya tidak tahu
persis bagaimana kawan politik Bung Karno di zaman revolusi. Apakah mereka
tidak memiliki ambisi politik, dan tidak minta imbalan pada Bung Karno agar
mereka diangkat menjadi menteri atau pejabat lain yang setara menteri, atau
yang punya wibawa besar di masyarakat.
Kawan Pak Jokowi mungkin lain. Seikhlas-ikhlasnya mereka
mendukung, ”ngeploki ” dan ”nyuraki ” agar Pak Jokowi menang, keikhlasan mereka
kelihatannya, rasa-rasanya, disertai suatu pamrih. Apalagi bagi mereka yang
memang oportunis. Orang oportunis mengerikan. Tak mungkin ada ketulusan pada
jenis manusia seperti itu.
Orang yang selamanya tak pernah ada hubungan dengan Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tiba-tiba muncul dan menggunakan istilah
”merapat”. Sesudah ”merapat” mereka mapan di situ. Tak malu-malu mereka
mendesakdesak dan merepotkan sekali. Orang dari partai lain ikut kiprah
mati-matian di partai lain, tiba-tiba tak tahu malu, ”merapat” seperti
disebutkan tadi, sekadar menjual kepintaran bicara.
Anehnya, orang terpesona pada kepintaran bicara. Anehnya lagi, Pak
Jokowi pun terpesona pada orang yang pintar bicara, yang jelas belum tentu
pintar kerja. Apa dengan sikap seperti ini, janji menyusun kabinet
”profesional” untuk membangun Indonesia ”hebat”, bisa dicapai, dan tidak bakal
kedodoran d tengah jalan?
Bukan hanya begitu. Kawan politik Pak Jokowi kelihatannya kawan
yang transaksional, bukan kawan politik Bung Karno, yang berpikir tulen demi
Indonesia. Kalau kabinet yang disebut bakal banyak profesionalnya, tetapi
kemudian ternyata hanya banyak pengamatnya, kita sudah tahu, dalam tiga minggu,
atau tiga bulan, kabinet pengamat itu hanya bakal banyak diskusi dan
menghasilkan analisis situasi mutakhir. Kita tak jadi punya kabinet yang bisa
bekerja. Sebetulnya makin diam kabinet itu makin baik.
Di mana-mana, orang kerja haruslah diam, tidak berisik, jangan
kebanyakan analisis, tidak perlu kebanyakan debat. Mestinya kita memilih
pendukung yang sedikit bicara banyak kerja. Kalau kebalikannya, yaitu
kebanyakan pengamat dan politisi, tampaknya kita berani bertaruh: tanggung
tidak jadi apa-apa selain diskusi, berdebat, diskusi dan berdebat.
Situasi seperti ini sedang berlangsung sekarang. Pak Jokowi sedang
dipengaruhi oleh cara berpikir dan cara memandang kehidupan politik, yang tak
semuanya berorientasi pada hasil, hasil, dan hasil. Banyak tekanan, yang tampil
dalam bentuk saran-saran halus, seolah sekedar saran, tapi sebetulnya, kalau
saran itu tak dipenuhi, kita tahu, kawan politik ini akan segera berubah
menjadi lawan politik paling penuh kedengkian. Mereka bisa ngerecoki.
Mereka bisa menjadi sejenis duri di dalam daging. Dan jangan
salah, orang seperti ini mudah sekali menjual rahasia politik kepada pihak
luar, yang tak begitu menyukai Pak jokowi. Apa lagi si oportunis yang hidupnya
memang hanya untuk mencari kesempatan politik dan jabatan.
Kalau orang seperti itu sudah diakomodasi dengan baik dan akan
duduk manis selama masih bisa memperoleh keuntungan politik yang dicari, mereka
akan diam. Tapi Pak Jokowi, apa pantas orang yang bercita- cita luhur membela
Indonesia, tetapi mengakomodasi orang oportunis? Apa ini enak secara etis? Apa
keadaan seperti ini tak dianggap berbahaya secara politis?
Pak Jokowi kelihatannya tak memiliki kemewahan politik untuk bisa
”to turn political enemies into friend ”, dan kemungkinan yang paling dekat
malah sebaliknya: ”to turn political friends into enemies ” Ini gara-gara kaum
oportunis yang dipuja- puja, dan dijunjung-junjung seperti pahlawan. Kita bakal
melihat bahaya potensial ini menjadi bahaya nyata dan merepotkan segalanya.
Jangan salah. Kecuali kawan politik, Pak Jokowi memiliki lawan-
lawan politik yang membawa ”bara” yang siap menyala untuk membakar apa saja
yang tak mereka sukai. Saya kira, ini semua sudah diperhitungkan. Mungkin
bahkan sudah ada akomodasi politiknya yang manis? Berapa lama kita tahan
berpura-pura dalam drama politik yang bukan cerminan jiwa kira sendiri? []
KORAN SINDO, 27 Oktober 2014
Mohamad Sobary ; Esais,
Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar