Mempersoalkan Konsistensi Jokowi
Oleh: Bambang Soesatyo
PRESIDEN terpilih Joko Widodo (Jokowi) sudah mempertontonkan
inkonsistensi. Dari rencana membangun koalisi ramping, kini berpotensi menjadi
gemuk. Dari koalisi partai politik (parpol) tanpa syarat, dialokasikan belasan
jabatan menteri untuk para profesional dari parpol. Dan, dari janji membentuk
kabinet ramping yang efektif, Jokowi justru copy paste postur Kabinet Indonesia
Bersatu II yang gendut.
Catatan publik tentang perjalanan Jokowi menuju panggung
kontestasi pemilihan presiden 2014 hingga proses keterpilihannya sangat
lengkap. Perjalanan itu sarat janji sehingga ekspektasi publik pun terbilang
tinggi.
Saat ini, ketika Jokowi dan Tim Transisi yang diketuai Rini
Soemarno merancang kabinet, publik pun ingin melihat realisasi janji-janji itu.
Nyaris, tak satu pun yang bisa diwujudkan Jokowi, sebab di permukaan yang
tampak justru inkonsistensi.
Pertanyaannya, apakah inkonsistensi Jokowi itu akan terhenti saat
dia mulai dilantik sebagai presiden, atau akan berlanjut sepanjang era
kepresidenannya? Pertanyaan ini bukan mengada-ada, sebab mengacu pada fakta
berupa janji atau pernyataan yang dikedepankan Jokowi sendiri.
Pertanyaan tadi memang belum perlu dijawab sekarang, karena semua
pihak harus menunggu, serta memberi kesempatan kepada Jokowi dan kabinetnya
bekerja merealisasikan janji-janji mewujudkan kesejahteraan bersama. Akan
tetapi, Jokowi perlu diingatkan bahwa inkonsistensinya telah dicatat.
Pertama, tentang koalisi parpol pendukung. Beberapa saat setelah
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mencalonkannya sebagai presiden, Jokowi
melakukan sejumlah pertemuan dengan pimpinan parpol untuk menjajaki koalisi
dalam pilpres.
Di sela-sela penjajakan yang tidak mudah itu, Jokowi menegaskan
bahwa dia tidak butuh banyak parpol untuk berkoalisi. Dia bahkan sudah sangat
percaya diri ketika berhasil menjalin kerja sama dengan Partai Nasional
Demokrat.
Dalam prosesnya kemudian, Jokowi harus melupakan koalisi ramping
yang diinginkannya. Penggemukan koalisi terus berproses dengan bergabungnya
Partai Kebangkitan Bangsa(PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan PKPI.
Ternyata, ini pun belum cukup. Jokowi masih membutuhkan setidaknya
dua parpol lagi. “Kita terbuka karena masalahnya membangun negara. Bangsa
sebesar ini tak bisa sendirian; tak bisa dibangun oleh satu atau empat partai
saja,” kata Jokowi, Sabtu (20/9).
Kedua, tentang janji koalisi tanpa syarat alias tidak ada
bagi-bagi jabatan menteri. Jokowi dengan lantang menegaskan bahwa parpol yang
bergabung dalam koalisi pemerintahannya harus ikhlas, dan karenanya tidak boleh
mengajukan syarat atau meminta jatah jabatan menteri. Syarat yang diajukan
Jokowi ini mustahil diterima parpol lain.
Belakangan, diketahui bahwa syarat itu justru mempersulit Jokowi
sendiri dalam upayanya memperbesar koalisi parpol pendukungnya di parlemen.
Tidak mampu memenuhi janji itu, Jokowi akhirnya seperti menjilat ludahnya
sendiri. Tidak kurang dari 16 jabatan menteri dialokasikan untuk para
profesional dari parpol.
Dengan alokasi untuk parpol sebanyak itu, Jokowi berharap dapat
memecah soliditas Koalisi Merah Putih (KMP) yang berseberangan dengannya.
Menyusul pengalokasian itu, berkembang spekulasi bahwa dua parpol anggota KMP
akan merapat ke Jokowi. Presiden terpilih itu bahkan sangat yakin akan mendapatkan
tambahan parpol anggota koalisinya.
Ketiga, tentang menggagas kabinet ramping. Jokowi mungkin lupa
bahwa mengurangi jumlah kementerian dalam pemerintahannya nanti justru
menghadirkan pekerjaan baru yang sesungguhnya tidak perlu. Mengurangi jumlah kementerian
dengan cara menggabungkan beberapa portofolio punya implikasi yang luas.
Dalam praktiknya nanti, pemerintah justru lebih sibuk mengurus
dirinya sendiri, karena penggabungan itu tentu butuh tahapan untuk beradaptasi.
Gagasan merampingkan kabinet itu nyata-nyata tidak ideal sehingga harus
digugurkan.
Akhirnya, postur kabinet yang diumumkan Jokowi praktis sama dan
sebangun dengan Kabinet Indonesia Bersatu II yang dirancang Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono.
Faktor APBN
Untuk menjaga konsistensi, Jokowi harus realistis. Apalagi,
warisan masalah yang menghadangnya cukup banyak dan sangat beragam. Dia bahkan
akan mengawali pemerintahannya dalam suasana yang serba tidak nyaman, terutama
karena minimnya ruang fiskal akibat gelembung alokasi anggaran untuk subsidi.
Pil pahit pertama adalah upaya meluruskan atau koreksi kebijakan
subsidi negara. Karena mengurangi kenikmatan banyak orang, mengoreksi subsidi
pasti tidak mudah karena akan menimbul-kan pro-kontra di tengah masyarakat.
Sebaliknya, jika bersikukuh merealisasikan program-program
pembangunan yang dijanjikan selama periode kampanye kepresidenannya, Jokowi
memang harus menyehatkan dan menguatkan peran anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN).
Kecenderungan APBN yang konsumtif harus diubah menjadi produktif.
APBN yang sehat dan produktif akan memberi ruang bagi Jokowi merealisasikan
program Indonesia Sehat, Indonesia Pintar, hingga mewujudkan Indonesia sebagai
Poros Maritim. Menjadikan APBN kuat dan produktif adalah pekerjaan yang amat
sulit, bahkan ada risiko politiknya. Karena itu dibutuhkan peran serta maupun
pengertian rakyat.
Pasalnya, APBN yang kuat dan produktif bisa diwujudkan jika negara
cq pemerintah tidak lagi sembrono memberikan subsidi. Kalau sekarang subsidi
boleh dinikmati semua orang, termasuk kelas menengah dan warga kaya raya,
nantinya penerima subsidi harus dibatasi dengan kriteria yang relevan dan masuk
akal.
Risiko politik atas keberanian mengoreksi kebijakan subsidi akan
mengecil jika Jokowi dan kabinetnya mampu memberi pemahaman kepada seluruh
lapisan masyarakat tentang perlunya mengurangi alokasi anggaran untuk subsidi.
Paling utama tentu saja menekan gelembung anggaran untuk subsidi
energi, khususnya bahan bakar minyak (BBM). Keberanian Jokowi memperbarui
politik subsidi hampir pasti akan ditentang banyak orang. Namun, pelurusan
politik subsidi itu akan merefleksikan konsistensi Jokowi. Sebab dari
pembenahan subsidi itu, APBN tahun-tahun mendatang akan lebih sehat dan kuat
untuk membiayai program-program unggulan Jokowi.
Sebaliknya, citra inkonsistensi Jokowi akan semakin nyata kalau
dia tidak berani meluruskan politik subsidi. Pasalnya, APBN akan tetap terlihat
konsumtif serta tidak mampu membiayai kebutuhan pembangunan.
Konsekuensinya, Jokowi akan sulit merealisasikan semua yang pernah
dijanjikannya. Konsistensi Jokowi harus terus-menerus dipersoalkan sebagai cara
untuk mengingatkan presiden terpilih bahwa dia telah mengikat janji dengan
semua elemen rakyat.
Sekarang semuanya dalam posisi menunggu. Agar Jokowi tampak
sebagai sosok presiden yang konsisten, dia harus berupaya merealisasikan semua
program unggulannya itu. Beberapa program unggulan memang akan melibatkan modal
swasta.
Namun, Jokowi tetap saja harus menjadikan APBN tahun-tahun
mendatang semakin produktif agar dia bisa merealisasikan program-program
populis seperti Indonesia Sehat atau Indonesia Pintar itu. []
KORAN SINDO, 26 September 2014
Bambang Soesatyo ; Anggota
Komisi III DPR RI/Presidium Nasional KAHMI; Wakil Ketua Umum Kadin
Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar