Kaliandra
setelah Tumpengan di Komisi VI
Senin, 29
September 2014
Pucuk
tumpeng nasi kuning dipotong oleh Pak Airlangga Hartarto, ketua Komisi VI DPR.
Saya, yang menerima potongan tumpeng, tidak mengira hari itu ada tumpengan. Itulah
acara yang menandai berakhirnya sidang-sidang antara Komisi VI DPR periode
2009″2014 dan menteri BUMN.
“Di lantai 19 ada jumatan yang khotbahnya pendek, Pak,” ujar
Airlangga saat melihat saya ingin kesusu pamit. Saya pun kembali meraih piring
untuk ambil sup buntut. Ternyata benar. Khotbah itu amat pendek.
Saking senangnya, hari itu saya turun dari lantai 19 lewat tangga.
Lalu pulang dari DPR naik taksi karena sopir masih akan lama menyelesaikan
jumatan di masjid bawah.
Sidang terakhir di komisi VI Jumat pagi lalu juga amat singkat.
Acaranya pun hanya dua: pengesahan rencana anggaran 2015 dan pembacaan hasil
Panitia Kerja Aset BUMN oleh ketuanya yang bersuara menggelegar, Azam Azman
Natawijaya.
Tidak ada tanya jawab. Diganti pesan dan kesan. Baik oleh saya
maupun anggota komisi VI.
Harus diakui, selama lebih dari 2,5 tahun menjadi menteri BUMN,
saya memperoleh banyak pelajaran dari interaksi dengan Komisi VI DPR. Terutama
bagaimana harus memahami dunia politisi dan realitas politik. Misalnya
bagaimana saya harus mundur satu langkah ketika DPR mengancam akan
menginterpelasi kebijakan saya.
Bukan karena saya takut diinterpelasi, tapi karena saya tidak
ingin menyusahkan atasan saya. Yang diinterpelasi adalah presiden. Toh, bagi
saya, kebijakan yang harus dicabut itu bukan sesuatu yang amat prinsip.
Realitas politik adalah take and give. Sesekali.
Di sidang terakhir itu saya juga minta maaf karena pernah membuat
suasana hubungan kami kurang enak. Tapi, itu demi menjaga keselamatan bersama:
saya, teman-teman DPR, dan teman-teman BUMN. Kini insya Allah kami (saya dan
teman-teman komisi VI) bisa mengakhiri tugas dan hubungan tersebut dengan
husnul khatimah tanpa merasa, misalnya, dikejar-kejar KPK.
“Sayangnya, pelajaran-pelajaran itu baru saya peroleh ketika saya
sudah tua. Ketika umur saya sudah 63 tahun,” kata saya. “Beruntunglah bagi yang
muda-muda, seperti para deputi saya dan ketua komisi VI ini,” kata saya lagi.
“Karir masih sangat panjang.”
Suasana husnul khatimah juga terasa di kesan dan pesan dari
beberapa anggota komisi VI. Mulai Bu Ida Ria, Kang Arif Minardi, Mas Aria Bima,
Pak Marzuki Daud, dan lain-lain. Saya merasa cukup tersanjung.
Kepada yang terpilih lagi seperti Pak Airlangga, Pak Azam, dan Pak
Afrizal, saya ucapkan selamat. Semoga hubungan dengan menteri BUMN yang akan
datang bisa lebih produktif. Kepada yang tidak terpilih lagi, saya ucapkan
semoga tetap bisa bertemu, misalnya di Surabaya, kampung saya.
Saya sendiri meskipun nanti pulang ke Surabaya tidak akan kembali
memimpin Jawa Pos Group. Saya sudah tertinggal jauh. Sudah delapan tahun
pensiun dari Jawa Pos. Jadi komisaris pun tidak. Hanya jadi pemegang saham.
Selama saya tinggalkan, grup itu toh berkembang lebih pesat. Di tangan generasi
baru, Jawa Pos lebih dinamis.
Dan lagi, bukankah sejak sembuh dari kanker hati delapan tahun
lalu saya sudah bertekad untuk tidak mau lagi cari uang? Maka, saya pun tidak
mungkin lagi kembali mengurus perusahaan. Pun setiap ada teman yang mengajak berbisnis,
saya selalu menolak.
Kalau bulan depan saya tidak jadi menteri lagi, saya akan
memfokuskan diri pada satu jenis kerja sosial yang belum ditangani siapa pun:
melistriki daerah-daerah terpencil, pulau-pulau terpencil, dan
pedalaman-pedalaman terpencil. Tentu dengan kriteria khusus: daerah itu
kira-kira sepuluh tahun lagi pun belum akan mendapat listrik. Untuk
daerah-daerah yang belum berlistrik tapi diperkirakan segera dapat listrik,
tidak kami masuki.
Kegiatan sosial itu saya sebut sosiopreneur. Sosiopreneur Demi
Indonesia (SDI): sebuah kegiatan sosial yang dikelola secara entrepreneur.
Meski kegiatan sosial, harus berlaba. Hanya, labanya tidak boleh diambil. Harus
untuk program serupa berikutnya. SDI tidak menangani, misalnya, membagi sembako
atau menyelenggarakan khitanan masal. Sudah banyak lembaga sosial lain yang
melakukan itu.
Persiapannya pun sudah matang. Sudah satu bulan ini SDI mendidik
30 anak muda untuk menjadi pimpinan di 30 pelosok yang belum berlistrik. Itulah
30 daerah yang kami pilih untuk tahap pertama. Mereka kami didik sampai
bagaimana menanam bahan baku. Sistem listrik itu nanti memang biomass:
menggunakan bahan bakar pohon kaliandra merah (Calliandra calothyrsus).
Mengapa kaliandra merah?
Ada tujuh alasan sekaligus. Pertama, kaliandra adalah tanaman
energi. Kalau dibakar, terkandung energi 4.000 kalori. Sudah mirip batu bara.
Kedua, mudah tumbuh, termasuk di daerah marginal sekalipun. Tidak
bisa tumbuh hanya di rawa-rawa.
Ketiga, umur satu tahun sudah bisa ditebang. Rakyat bisa cepat
dapat uang.
Keempat, setelah ditebang, tidak perlu tanam baru. Trubus sendiri.
Tiap tahun bisa ditebang lagi. Tumbuh lagi. Terus-menerus.
Kelima, akar kaliandra yang berbintil-bintil mengandung nitrogen
sehingga menyuburkan tanah.
Keenam, hutan kaliandra tidak mudah terbakar karena daun yang
gugur cepat sekali menyatu dengan tanah.
Ketujuh, bunga kaliandra merah, yang indah itu, sangat disenangi
lebah. Rakyat bisa beternak lebah. Khasiat madu kaliandra amat baik. Bunga
kaliandra juga sering disebut rambut malaikat karena halusnya.
Untuk permulaan, SDI-lah yang akan menanam. Tapi, kelak rakyat
setempat yang menanam untuk menambah penghasilan. Rakyat yang mengeluarkan uang
untuk membayar listrik akan mendapat uang dari penjualan bahan baku listrik.
Singkatnya: SDI menjual listrik kepada rakyat. Rakyat menjual
kaliandra ke SDI. Beda dengan yang berlaku sekarang: Rakyat membayar listrik,
uangnya dipakai untuk membeli bahan baku dari negara lain atau perusahaan batu
bara. Perusahaan batu bara mendapat batu bara dari negara. Negara dapat
kekuasaan dari rakyat.
Pertanyaannya: Mengapa saya tidak membuat program kaliandra saat
jadi Dirut PLN atau menjabat menteri BUMN?
Jawabannya agak memalukan: Saya baru tahu tentang pohon kaliandra
ini enam bulan lalu. Kian saya pelajari, kian menarik. Tapi, waktu juga kian
mepet. Tinggal setengah bulan lagi menjabat menteri BUMN, tentu tidak cukup
untuk mengawal sendiri program itu sampai sukses. Kalau tidak dikawal dan kalau
ternyata gagal, bisa dikira konsepnya yang salah.
Bahkan, baru bulan lalu saya berhasil bertemu ahli kaliandra dari
Institut Pertanian Bogor (IPB) seperti Dr Andi Sukendro. Beliau yang mengajak
saya melihat tanaman kaliandra milik Perhutani di Bandung Selatan minggu lalu.
Dr Andi membenarkan semua keterangan tentang kaliandra.
Di Bandung Selatan kaliandra hanya difungsikan untuk penghijauan
lahan kritis yang terjal. Telat mengetahui pohon asal Meksiko itu tidak membuat
saya menyerah.
Belajar memang harus dilakukan terus meski sudah tua sekalipun.
Kian saya dalami, kian menarik saja si kaliandra. Saya tidak mungkin tidak
tergoda olehnya. Karena itu, action langsung saya siapkan. Jadi menteri atau
tidak jadi menteri. Tidak ada pengaruhnya.
Izinkan saya melangkah dengan kaliandra. Semoga, kelak, semua
perizinan dari pemerintah bisa lancar. Kalau tidak, saya akan mengadu ke komisi
VI. (*)
Dahlan Iskan, Menteri BUMN
Sumber:
--
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar