Menimbang Pendidikan Indonesia
Oleh: Komaruddin Hidayat
Pekan lalu Anindiya, alumnus SMU Madania Parung, Bogor, yang sudah
dua tahun berkuliah di Ritsumeikan APU, Jepang, sengaja datang ke kantor saya
di sela-sela liburannya ke Jakarta.
Dia datang untuk berbagi kegelisahan mengenai pendidikan Indonesia
yang menurutnya tertinggal dibanding negara-negara tetangga. Sebagai aktivis,
Anin banyak bergaul dan diskusi dengan sesama mahasiswa Asia. Yang membuatnya
gelisah, mahasiswa lain lebih siap menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN).
Di Thailand misalnya sejak SMU anak-anak sudah mulai belajar bahasa dan peta
bumi Indonesia.
Mereka mulai dipersiapkan mengenal potensi ekonomi dan lapangan
kerja di Indonesia ketika nanti dibuka pasar bebas ASEAN yang memungkinkan
tenaga kerja asing bekerja dan bersaing dengan putra-putra di negara kita. Anin
sangat khawatir sarjana-sarjana Indonesia sulit bersaing dengan sarjana Jepang,
Korea, Filipina, Thailand, Malaysia, dan Singapura dan kualitas pendidikan
Indonesia tidak mengalami perbaikan serius dan segera.
Di Indonesia terdapat sekitar 3.500 perguruan tinggi negeri dan
swasta, lulusannya akan bersaing ketat memperebutkan lapangan kerja dengan
lulusan perguruan tinggi di ASEAN. Ini sebuah tantangan dan sekaligus mimpi
buruk mengingat sebagian perguruan tinggi kita sekadar memberikan ijazah, namun
miskin kompetensi. Sekarang ini diperkirakan setiap tahun terdapat satu juta
sarjana baru.
Dibanding Malaysia dan Singapura, angkatan kerja mereka terbanyak
diisi sarjana dan tamatan sekolah menengah kejuruan. Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (BPS) Februari 2014, jumlah angkatan kerja Indonesia sebanyak
118,17 juta orang. Sungguh fantastis, suatu bonus demografi yang tidak dimiliki
bangsa Jepang, Korea, dan negara-negara tetangga. Namun, itu semua akan
berbalik menjadi beban jika ternyata miskin kompetensi dan kalah bersaing dalam
panggung MEA nanti.
Diberitakan, sedikitnya 600.000 lulusan perguruan tinggi
menganggur yang sekarang tengah berjuang mendapatkan lapangan kerja. Terdapat
lima fungsi utama yang mesti diperhatikan oleh lembaga pendidikan pada setiap
jenjang. Pertama , sebagai tempat pembentukan karakter. Lewat pendidikan
seseorang diharapkan mendapatkan lingkungan dan keteladanan yang baik agar
tumbuh menjadi pribadi yang terpuji.
Makanya sekolah disebut almamater, bagaikan sosok ibu kandung yang
membesarkan dan mendidik kita semua agar jadi anak yang mandiri dan
berkepribadian baik. Kedua, lembaga pendidikan adalah tempat transfer ilmu pengetahuan
dari para guru pada anak didiknya. Jika guru atau dosen tidak menguasai dan
menambah ilmu, lalu apa yang hendak ditransfer?
Tidak sebatas transfer, tetapi para guru dan dosen itu juga
mengajari bagaimana berburu ilmu pengetahuan atau riset (re-search), sebuah
usaha tanpahenti, mencari dan kembali mencari, untuk selalu memperluas
cakrawala pengetahuan sehingga dunianya semakin luas dan kaya. Menguasai metode
menggali ilmu tidak kalah pentingnya dari sekadar menerima ilmu. Seseorang yang
kaya ilmu pasti akan banyak referensi dan komparasi ketika membuat sebuah
keputusan dalam hidupnya.
Ketiga, lembaga pendidikan adalah juga tempat untuk melatih
peserta didik mengembangkan keterampilan sosialnya. Keterampilan dan keluwesan
berkomunikasi dan bersosialisasi sangat penting bagi kehidupan seseorang.
Profesi apa pun, terlebih di zaman yang serbaterbuka dan kompetitif ini,
keterampilan berkomunikasi (communication skill) sangat diperlukan. Tidak lagi
zamannya berpikir ”diam itu emas”.
Keempat, lembaga pendidikan juga berperan memberikan skill pada
seseorang sehingga dengan keahlian yang dimiliki diharapkan akan bisa hidup
produktif dan mandiri agar hidupnya tidak menjadi beban orang lain.
Syukur-syukur bisa menciptakan lapangan kerja bagi orang lain. Kelima, lembaga
pendidikan hendaknya secara sadar membantu mengantarkan agar seseorang tumbuh
menjadi seorang pemimpin.
Sikap kepemimpinan (leadership) akan diperlukan oleh siapa pun,
minimal sekali kepemimpinan dalam rumah tangga. Lebih dari itu, setiap posisi
atau karier seseorang sesungguhnya memerlukan kualitas kepemimpinan. Karena
itu, menjadi sangat penting pelajaran dan latihan kepemimpinan di sekolah dan
perguruan tinggi.
Salah satu ciri seorang pemimpin adalah memiliki inisiatif,
memiliki kepekaan sosial, peduli pada nasib orang lain, memiliki rasa tanggung
jawab, dan berani ambil risiko atas keputusan yang diambilnya. Pelatihan
kepemimpinan ini semakin kurang memperoleh perhatian di sekolah. Keenam, tidak
kalah pentingnya dari semua itu, peran lembaga pendidikan adalah juga mendidik
anak agar tumbuh menjadi pejuang kehidupan.
Agar memiliki climber mentality. Pendaki dan penakluk gunung
kehidupan yang tak mudah menyerah ketika menghadapi berbagai rintangan. Banyak
anak-anak yang bermental quitter, mudah takluk ketika dihadapkan problem.
Demikianlah, sebagai orang tua kita pasti memiliki harapan pada anak-anak kita
agar tumbuh menjadi pribadi seperti yang saya kemukakan di atas. Kewajiban
pendidik itu sebagian diserahkan pada lembaga pendidikan. Orang tua dan guru
merupakan mitra coeducator bagi anak didik.
Dulu ada ungkapan: al-ummu madrasatul ula. Sosok ibu adalah
sekolah pertama bagi anak-anaknya. Sekarang tidak bisa lagi diandalkan karena
banyak ibu yang juga aktif bekerja di luar, lalu peran pendidik diambil guru di
sekolah, oleh pembantu rumah tangga, dan TV. []
KORAN SINDO, 03 Oktober 2014
Komaruddin Hidayat ; Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar