Syekh Mutamakkin; Antara Serat Cebolek dan
Teks Kajen
Judul Buku
: Syekh Mutamakkin, Perlawanan Kultural
Agama Rakyat
Penulis
: Zainul Milal Bizawie
Penerbit
: Pustaka Compass,
Tangerang
Tebal
: xxxvi + 324 halaman.
Ukuran buku :
16x24 cm
Harga
: Rp. 80.000,-
Peresensi
: Hayy Bin Yaqsan
Sejarah memukau ketika ia merupakan sebuah
cerita konfrontasi. Buku yang ditulis Zainul Milal Bizawie ini, dalam arti
tertentu sebuah catatan sejarah, mengundang kita untuk mengikutinya karena ia
meneruskan sebuah tema yang sering muncul dalam telaah tentang Islam, sebuah
tema yang, seperti dikatakannya sendiri dalam bab pertama, berkisar pada
‘perdebatan antara penganut mistik dan syari’ah’. Sebuah kajian tentang peta
pergumulan Islam Jawa dimana kelompok sufi berhadapan dengan kelompok syari’ah.
(hal. xxxi).
Zainul Milal meletakkan tokoh dalam telaahnya ini, Syekh Ahmad Mutamakkin, yang disebut sebagai seorang ‘neo-sufis’ yang hidup di tahun 1645-1740. Seorang ulama kontroversial yang hidup di jaman Mataram Kartosuro era Sunan Amangkurat IV dan Pakubuwono II di abad 18.
Di desa Kajen masyarakat mengenalnya dengan sebutan Mbah Mutamakkin. Seorang waliyullah ini keturunan bangsawan Jawa, dari garis bapak adalah keturunan dari Raden Patah (Sultan Demak) yang berasal dari Sultan Trenggono. Sultan Trenggono telah mengawinkan salah satu putrinya dengan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) dari perkawinan itu lahirlah Pangeran Benowo (Raden Hadiningrat) yang mempunyai putra bernama Pangeran Sambo (Raden Sumohadinegoro) yang menurunkan putra Ahmad Mutamakkin. Sedangkan dari garis ibu, Syekh Mutamakkin adalah keturunan dari Sayyid Ali Akbar dari Bejagung, Semanding, Tuban. Sayyid ini mempunyai putra bernama Raden Tanu. Dan, Raden Tanu ini mempunyai seorang putri yang menjadi ibunda Mbah Mutamakkin. Dipercayai bahwa nama ningrat Mbah Mutamakkin adalah Sumohadiwijaya, yang merupakan putra Pangeran Benawa II (Raden Sumohadinegoro) bin Pangeran Benawa I (Raden Hadiningrat) bin Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Ki Ageng Pengging bin Ratu Pembayun binti Prabu Brawijaya V. (hlm. 118-119).
Dalam masa hidupnya Syekh Mutamakkin sepenuhnya mengabdikan diri untuk penyebaran agama Islam di daerahnya. Beliau pernah belajar di Yaman kepada Syekh Muhammad Zayn al-Yamani yang merupakan seorang tokoh Sufi dalam tarekat Naqsyabandiyah dan sangat berpengaruh di Yaman saat itu. Tidak diketahui secara pasti kapan Syekh Mutamakkin berguru kepada Syekh Muhammad Zayn al-Yamani, namun melalui tahun wafatnya ayah Syekh Zayn (Syekh Muhammad al-Baqi ) tahun 1663 dan kematian putranya (Abdul Khaliq Ibn Zayn) tahun 1740 jadi diperkirakan Syekh Zayn hidup antara abad XVI-XVII. Dengan demikian dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa Syekh Mutamakkin berguru pada beliau pada sekitar masa itu.
Dari awal Zainul Milal mempertegas tujuan penulisan tentang Syekh Mutamakkin ini. Yaitu sebagai counter produktif atas pendapat sementara kalangan sejarawan dan intelektual yang memetakan sosok Syekh Mutamakkin dalam kategori seorang pembangkang syari’ah dan pembangkang negara (keraton). (hlm. Xxxii). Untuk mendukung usahanya tersebut, dalam penulisan buku ini, Milal tidak hanya mengandalkan referensi manuskrip. Dalam hal ini, serat Cebolek adalah sumber satu-satunya tentang Syekh Mutamakkin. Tapi juga menggunakan local histories sebagai cross reference atas sumber yang ada.
Jika melihat Serat Cebolek, Syekh Mutamakkin bisa diletakkan dalam satu garis dengan cerita lain yang terkenal dari Jawa di awal perkembangan Islam: Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging, Sunan Panggung dan Amongraga. Mereka dikenal sebagai penganut tasawuf yang mengalami prosekusi dari yang berkuasa, bahkan ada yang dikisahkan sebagai dibakar hidup-hidup – barangkali gema dari cerita yang lebih masyhur dan memikat dalam sejarah Islam di Timur Tengah, yakni cerita tentang Husain ibn al-Hallaj yang wafat di sekitar tahun 922.
Yang membuat tema Milal penting ialah karena ia mau tak mau terkait dengan konfrontasi yang sekarang terjadi – yang di kalangan pemikir dan aktivis Islam kini sangat dikenal --antara kecenderungan skriptualis di satu pihak dan kecenderungan yang non-skriptualis (baik yang disebut ‘liberal’ ataupun ‘post-tradisional’) di lain pihak.
Sebab itu kiranya lebih menarik untuk menelaah apa sebenarnya yang hendak diutarakan Mutamakkin. Serat Cabolek memang merupakan teks yang ditulis untuk menggambarkan ulama dari desa Cabolek itu dalam wajah yang buruk secara fisik (‘Pun Mutamakin punika dapure kadya cumiris’) maupun intelektuil. Dalam kata-kata Milal, naskah itu merupakan contoh ‘hegemoni Agama Keraton’. Tetapi yang menarik ialah bahwa sebenarnya dalam teks itu ada ambivalensi. Mutamakiiin dianggap salah oleh para ulama lain karena ia, sebagaimana dikutip Milal, “mengajarkan ilmu hakikat kepada khalayak umum’. Para ulama, dengan inisiatif Ketib Anom Kudus, mengadukannya kepada raja agar ajaran Mutamakkin dilarang dan ia dihukum mati. Tapi seperti dikutip Milal pula, semula raja Pakubuawana tak mengabulkan keputusan yang dibuat Patih dan para ulama untuk menghukum mati ulama Cabolek itu. ‘Kegunaan ajaran kisah pengetahuan mistis al-Mutamakkin adalah untuk diri sendiri, dan dia tidak berusaha untuk mengubah pandangan Jawa secara menyeluruh’.
Bagian dari Serat Cabolek yang mengulas Dewa Ruci bahkan mengesankan bagaimana penulis teks ini bukan saja sangat mahir, tapi juga sangat menyukai simbolisme Jawa dengan tradisi wayangnya – tapi pada bagian yang sama ada peringatan akan perlunya ketaatan akan hukum Islam berdasarkan yang bersumber Qur’an dan Hadith. Jika dibaca, terutama karena dalam bahasa Jawa, kita bisa mendapatkan kesan bahwa Serat Cabolek kurang meyakinkan untuk disebut sebagai lawan diametral dari apa yang oleh Milal dikemukakan sebagai ajaran Mutamakkin.
Tapi jelas, bahwa Serat Cabolek bersikap merendahkan ulama dari wilayah Tuban dan Pati itu, dan hanya terpana akan tokoh Ketib Anom Kudus yang wibawanya terasa bahkan dalam teks. Salah satu jasa dari penelaahan Milal ialah menunjukkan bahwa ada ‘textual politics’ dalam naskah itu –dan dengan cara yang sangat tepat: ia menunjukkan versi yang berbeda, dari pihak yang berlawanan, tentang cerita yang sama. Versi itu disebut dengan “teks Kajen”, teks yang awalnya dari cerita lisan secara turun temurun yang diperoleh dari wilayah Kajen. Teks yang dikedepankan Milal ini adalah sebuah usaha yang dihargai oleh sejarawan M.C. Ricklefs. Dari sini tampak bagaimana Mutakakkin sebenarnya lebih ulung ketimbang Ketib Anom Kudus, terutama dalam membaca dan menafsirkan Dewa Ruci. Bahkan. Menurut teks Kajen sebagaimana dikisahkan oleh Milal, sang raja pun akhirnya menyatakan diri sebagai pengikut Mutakamkkin.
Yang menarik di sini ialah bahwa pada akhirnya yang jadi ukuran keunggulan adalah kemampuan interpretasi ulama Islam atas khasanah kebudayaan lokal yang sumbernya bukan Islam – sebuah interpretasi bukan untuk mematikan, malah untuk menghidupkannya lagi. Dan tak kalah penting ialah bahwa pada akhirnya yang jadi lambang utama bukanlah lambang kelompok, melainkan sebuah pengalaman rohani yang sangat mungkin untuk memberi peluang bagi warna yang ramah dalam beriman.
Misalnya, Bima melihat Dewa Ruci sebagai sosok lembut dari dirinya sendiri, dan memasuki telinga Dewa Ruci sendirian, untuk bersatu dengan yang Ilahiyah. Inilah inti dari ajaran Syekh Mutamakkin, sebuah ajaran akhlak, ajaran yang memperlihatkan bagaimana pentingnya mengendalikan hawa nafsu sebagaimana dalam catatan Syeh Mutamakkin sendiri, kitab Arsyul Muwahhidin. Menuju hakikat tanpa harus meninggalkan syari’at. Dan disampaikan dengan pendekatan yang baru, pendekatan kultural, sebuah pendekatan yang sangat ramah dengan masyarakat. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar