Rabu, 29 Oktober 2014

Kepemimpinan Kiai Anwar Musaddad



Kepemimpinan Kiai Anwar Musaddad

Tanah suci Mekah tempat belajar kaum Muslimin sedunia, termasuk Indonesia. Di sana mereka belajar agama dan sekaligus menjalankan ibadah di bawah nungan Ka’bah. Perpaduan ilmu dan amal ibadah itulah yang mengantarkan mereka umumnya menjadi ulama besar saat balik ke negara masing-masing.

Tetapi suasana belajar dan ibadah yang tenag itu tiba tiba terguncang ketika Perang Dunia Kedua meletus. Persis tanggal 10 Mei 1940 Belanda dan seluruh daratan Eropa diserbu Jerman yang mengakibatkan seluruh dunia mengalami kekacauan. Termasuk di tanah suci Mekah.

Ketersediaan bahan makan langka. Perang terjadi dimana-mana. Komunikasi dengan dunia luar terputus. Kesengsaraan terjadi di seluruh dunia, terutama bagi mukimin dari Indonesia, yang jumlahnya sekitar 3000 orang. Karena itu di Indonesia, MIAI menghmpun dana untuk membantu para mukimin di mekah dengan mengirimkan uang dan beras, termasuk mengusahakan agar pemerintah belanda membantu mereka kembali ke Tanah Air. Rencana mereka ayang akan pulang 1500 orang.

Atas desakan umat Islam Akhirnya pemerintah mengirimkan Kapal milik Rotterdamsche Lioyd yang bernama SS Garoet. Di bawah kepemimpinan  Musaddad pemuda Asal Garut Jawa Barat, para Mukimin segera diberangkatkan dari Mekah ke Jedah pada 23 Sya’ban 1360 H, dengan kendaraan darat.

Untuk sementara Mukimin ditampung di rumah seorang Syeh dengan Cuma Cuma selama 25 Hari menunggu kapal datang, yang baru akan merapat di Jeddah 18 Romadlon 1360. Dalam kondisi perang itu kapal berlayar dengan penuh ketegangan, dalam keadaan puasa pula. Mengingat ganasnya gelombang tidak sedikit yang membatalkan puasanya.

Tetapi ada kalanya laut tenang sehingga mereka bisa beribadah dengan tenang dan melakukan sholat taraweh selam dalam perjalanan hingga hari Raya tiba. Ketika datang lebaran ada masalah tiba yaitu kewajiban membayar zakat Fitrah, sementara persediaan beras minim hanya untuk makan selama perjalanan.

Sebagai pemimpin rombongan Kiai NU dari Garut ini tidak kehilangan akal. Enam orang musyafir dalam rombonagn itu disuruh membayar zakat kepada segenap pimpinan dan rombongan, kemudian ketua rombongan menyerahkan zakat yang telah diterimanya itu kepada orang lain untuk dizakatkan, sehingga semua mendapatkan zakat sebagai ibnu sabil dan sebagai ghorim, akhirnya semuanya juga bisa melaksanakan kewajiban zakat fitrah.

Tentu saja lebaran tidak cukup dirayakan dengan mebayar zakat, tetapi diperlukan perayaan ala kadarnya. Seusai sholat Idul Fitri K Musaddad menghubungi Kapten kapal untuk meminta diberi seekor sapi untuk mereyakan Idul Fitri. Permohonan itu dikabulkan. Akhirnya seluruh jemaah bisa lebaran dikapal dengan penuh kemeriahan dengan menyantap daging sapi. Saat itu diperkirakan kapal melayar di Samudera Hindia dekat Colombo. Srilanka.

Pada hari ke 16 Kapal Garoet telah samapai di Sabang Aceh dan kemudian singgah juga di Padang. Sampai di Tanjung Priok Jakarta tepat pada tanggal 13 April 1941. Di sana rombongan Mukimin dari Mekah ini disambut meriah oleh umat Islam  dengan membawakan berbagai bekal makanan dan pakaian. Sesampai di Priok, mereka dihadapkan pada masalah utang ongkos perjalanan, karena sejak awal kontraknya memang hutang karena permintaan vrij tidak diterima oleh pemerintah Belanda. Tetapi atas perjuangan keras penguirus MIAI, akhirnya para Mukimin dibebaskan dari membayar hutang.

Pengalaman perjalanan yang mengenaskan penuh penderitaan itu yang mengantar Kiai Musaddad menjadi seorang pemipin yang matang dan berjiwa besar. Setelah mendapatkan gelar Guru besar di Bidang Ushuluddin ia juga mendapatkan keprcayaan sebagai Wakil Syuriyah PBNU. Kiai ini menjadi pemimpin yang berpengaruh  dan disegani karena mamapu menyelesaikan berbagai maslah yang dihadapi. (Mun’im DZ)

Pengalaman ini dituliskan K Musaddad dalam Koran Pemandangan 10 November 1941.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar