Mulia Kok Korup
Oleh: Mohamad Sobary
Memberi makan anak yatim, yaitu golongan lemah di dalam
masyarakat, merupakan kewajiban agama. Memberi makan di sini bukan hanya makan,
tetapi juga menyediakan segenap penghidupan lain.
Menyayangi mereka, memberi mereka rumah atau tempat tinggal yang
layak, dan pendidikan agar mereka menjadi manusia secara utuh, yaitu manusia
biologis, manusia sosial, manusia berbudaya, dan religius. Tidak keliru bila
orang yang bersembahyang disebut celaka sembahyangnya bila dia beragama dan
tertib menjalankan salat, tapi mengabaikan kaum miskin dan tak memberi mereka
yang lapar itu makanan.
Ketika kita dicekam ketegangan menjelang tahun 1965, yang dalam
kajian ilmu-ilmu sosial disebut zaman cultural schism, yaitu kehidupan yang
penuh perpecahan budaya, ayat ini pernah dikorup untuk menjelekkan kaum
beragama dengan memotong sepenggal ayatnya sehingga tak komplet: maka celakalah
orang-orang yang bersembahyang.
Yang melakukan korupsi ayat ini pun menegaskan: ini bunyi kitab
suci, Surat Al-Maun. Padahal, utuhnya, celakalah orang yang bersembahyang, yang
tak menaruh peduli, seperti disebut sedikit di atas, kepada kaum miskin.
Organisasi sosial keagamaan yang besar, Muhammadiyah, didirikan
oleh KH Ahmad Dahlan demi panggilan ayat tersebut. Tidaklah memahami agama bila
kita hanya menghafal ayat tersebut, tetapi tidak mampu mengamalkannya. Begitu
argumen beliau. Memberi tempat, pendidikan, dan kehidupan bagi anak yatim dan
kaum miskin itu perintah agama. Jadi, jelas merupakan sebuah kemuliaan.
Kalau mereka diberi pendidikan secukupnya, lalu dilatih bekerja,
dan menjadi kaya, itu amal saleh demi perintah agama. Di sini memperkaya orang
lain dianggap sebuah kemuliaan. Derajatnya mulia di bumi, mulia di langit.
Mulia di dunia ini, mulia pula di hari akhir. Membikin longgar bagi orang lain
yang dalam kesempitan, sempit sosial, sempit politik, sempit ekonomi, itu
perbuatan mulia. Menolong orang lain untuk memperoleh lapangan kerja, itu amal
mulia.
Meminjami orang lain modal untuk membuka warung, restoran, atau
kafe, pendeknya untuk berbisnis, itu termasuk kategori amal saleh dan amal
saleh seperti itu mulia sekali. Jika orang bersangkutan menjadi kaya dan kita,
yang memberi pinjaman modal tadi disebut memperkaya orang lain, itu mulia di
atas mulia. Jaranglah ada bandingan yang setara dengan kemuliaan itu. Kredit
untuk rakyat kecil jarang yang berhasil memperkaya mereka.
Kredit usaha menengah pun jarang yang bisa membuat penerima kredit
tadi memperoleh sukses besar yang layak menjadi contoh. Kalau ada yang sukses,
itu pun harus didaftar sebagai bagian dari kemuliaan duniawi yang dampaknya
jauh sekali ke dunia yang akan datang dan balasan bagi kemuliaan itu luar biasa
besarnya. Kita perlu memperbanyak kemuliaan di sekitar kita. Banyak orang yang
sudah melakukannya.
Rumah singgah, yang memberi pendidikan kepada anak-anak jalanan,
itu kemuliaan. Kalau beberapa di antara mereka kelak bisa maju, pendidikan
mereka tinggi, lalu mereka sukses dalam kehidupan, mulialah usaha itu. Mulia
tanpa bandingan pula karena hanya sedikit jumlah amalan seperti itu dan yang
sedikit itu hanya kecil, lebih sedikit, yang sukses.
Zaman Reformasi ini dipenuhi semangat membikin baru begitu banyak
segi kehidupan. Apa yang dulu boleh dan berjalan aman sekarang digugat demi
cara pandang yang lebih adil, lebih demokratis, lebih manusiawi. Kaum tua yang
sudah mapan lebih dari 30 tahun dalam kekuasaan Orde Baru yang di-anggap
setengah suci terkaget-kaget menghadapi semangat reformasi.
Memperkaya diri sendiri, dipandang dari sudut Undang-Undang
Antikorupsi, tidak boleh. Itu termasuk korupsi. Memperkaya orang lain itu mulia
dan terpuji, mungkin setinggi langit, tapi sekarang dianggap bagian dari tindak
pidana korupsi. Memperkaya orang lain dianggap korupsi? Tindakan mulia itu
dianggap korup? Ya, ya. Jelas korup kalau yang menyebabkan orang lain menjadi
kaya itu seorang pejabat yang menggunakan fasilitas negara, kebijakan negara,
aturannegara, dan uang negara untuk seseorang.
Di sini, seseorang itu boleh siapa saja, tak peduli itu istrinya,
anaknya, saudara kandungnya, pamannya, atau mertuanya, bahkan musuh politiknya.
Memperkaya musuh politik itu kelihatannya merupakan suatu perbuatan hebat. Tapi
kehebatan itu dianggap termasuk dalam tindakan pidana korupsi. Memperbanyak
jumlah dana khusus untuk menteri, agar sang menteri bisa berbelanja secara
leluasa dengan dana tersebut, tidak salah kalau ada aturan yang menyatakan hal
itu benar.
Kalau dana dihimpun dari berbagai pihak, termasuk pihak swasta,
jadi tak merugikan uang negara? Uang swasta pun harus diwaspadai. Swasta yang
bagaimana? Dia menyumbang secara sukarela? Dia memiliki kepentingan bisnis
dengan sang menteri? Sumbangan itu mulia. Tapi jika di belakangnya ada unsur
kepentingan bisnis, kemuliaan itu diragukan. Bahkan langsung tak bisa diterima.
Itu kemuliaan yang mengandung unsur kongkalikong, yang pada
akhirnya bisa merugikan kepentingan negara. Apalagi bila pihak swasta tadi ternyata
kemudian mengaku dia diperas sang menteri secara habis-habisan, termasuk dengan
berbagai ancaman. Dia tak berdaya. Menyumbang seorang menteri agar yang mulia
menteri bisa leluasa berbelanja, itu mulia sekali dilihat dari satu sudut. Tapi
dilihat dari sudut KPK itu durjana karena “mulia kok korup”. Mulia ya mulia,
korup ya korup.
Dua-duanya menghuni wilayah moral-politik yang berbeda. Jangan
dicampuradukkan begitu saja. Menyumbang panitia pembangunan rumah ibadah dengan
jumlah besar dan diumumkan lewat siaran televisi bahwa seorang hamba Allah
dengan tulus ikhlas menyumbang sejumlah besar uang, itu mulia di mata panitia
pembangunan yang sudah lelah mencari dana. Tapi tunggu dulu.
Siapa yang mengaku “hamba Allah” itu? Apa pekerjaannya, apa jabatannya,
di mana kantornya. Semua harus jelas. Bahkan semua catatan dan bentuk transaksi
keuangannya harus diteliti. Kalau dia ternyata menyubang dengan uang negara
yang untuk beberapa lama sudah dianggap miliknya dan sebagian sudah
dinikmatinya, tetapi sebenarnya itu uang negara juga, para ahli di bidang
antikorupsi niscaya paham bahwa amal saleh itu batil. Kedudukannya bukan lagi
merupakan suatu corak kesalehan, tapi termasuk korupsi. Kesalehan ya kesalehan.
Itu amal mulia dan umat beragama didorong untuk terus
melakukannya. Tapi korupsi ya korupsi. Tindakan itu harus dibatasi. Pelakunya
diadili dan dihukum. KPK yang harus melakukannya tanpa henti, tanpa kenal
lelah. Mulia ya mulia. Tapi tak boleh ada unsur korupsi di dalamnya. Mulia kok
korup. []
KORAN SINDO, 29 September 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat
Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar