Telah Lahir: Sang Penari Langit Nasional
Senin, 13
Oktober 2014
“Suami
saya sudah hilang,” celetuk sang istri.
“Hilang di Sumba,” jawab sang suami.
Ricky Elson, sang suami, kini memang tiga setrip lebih hitam
dibanding saat tinggal di Jepang dulu. Begitu lama Ricky tinggal di pedalaman
Sumba sehingga istrinya merasa tidak kenal lagi saat sang suami pulang ke
Padang.
Di pedalaman Sumba memang panas. Dan jarang mandi. Air begitu
sulit.
Sudah hampir tiga tahun putra Padang itu meninggalkan Jepang,
tempatnya menimba ilmu, mencipta, dan berkarir selama 14 tahun. Dia rela pulang
ke tanah air, memenuhi permintaan saya untuk mengembangkan mobil listrik. Juga
mengembangkan keahliannya di bidang motor listrik untuk segala macam keperluan.
Selama di Jepang, Ricky memang tekun melakukan penelitian. Dia
berhasil meraih 14 hak paten internasional. Salah satunya kini dia terapkan di
pedalaman Sumba dengan suksesnya. Dengan demikian, selama tinggal di Indonesia,
Ricky sudah berhasil membidani mobil listrik dan kini terbukti lagi berhasil
membangun Taman Listrik Tenaga Angin (TLTA). Murni ciptaan dia.
Kata “ciptaan” perlu saya beri penekanan karena unsur terpenting
dari unit itu benar-benar karya dia. Generatornya istimewa. Termasuk untuk
ukuran dunia. Itulah generator pertama yang hanya menggunakan magnet 200 gram.
Bandingkan dengan generator pada umumnya yang magnetnya sampai 1,6 kg.
Bukan saja generator itu nanti lebih murah, melainkan juga bisa
memberikan keunggulan teknologi: Dengan kecepatan angin yang hanya 3 meter per
detik, generator itu sudah bisa menghasilkan listrik. Itu sangat penting untuk
kondisi angin di Indonesia.
Ricky sebagai putra bangsa memang bisa lebih membumi: Dia tahu
daya beli di Indonesia masih rendah sehingga memerlukan generator murah. Dia
tahu, kalau generatornya mahal, listrik tenaga angin jadi lebih mahal dari
sumber tenaga lainnya, terutama batugana, eh, batu bara. Ricky juga tahu bahwa
angin di Indonesia itu angin-anginan.
Tiga persoalan itulah yang membuat saya tidak pernah yakin dengan
listrik tenaga angin. Tiga hal tersebut memang tidak terselesaikan oleh
perangkat listrik tenaga angin yang selama ini diimpor.
Saya melihat kincir yang dipasang oleh berbagai instansi, di
berbagai tempat di Indonesia belum ada yang berhasil. Kalau tidak berputar,
rusak, tiangnya sudah hampir roboh.
Ricky sudah lama melakukan penelitian tentang angin. Dia pernah
tinggal di pantai selatan Tasikmalaya, Jawa Barat. Harus naik motor selama enam
jam. Dia indekos di rumah penduduk. Dia bina anak-anak muda untuk melakukan
penelitian yang benar.
Kesimpulannya: Untuk Indonesia, harus generator dan baling-baling
bagus tapi murah. Teknologinya harus cocok untuk angin yang lemah gemulai pun.
Mengapa angin kencang tidak sebanyak di Eropa? Sejak dulu memang
begitu karena kita berada di khatulistiwa. Bukan hanya sejak ada iklan Tolak
Angin.
Untuk baling-baling Ricky menemukan bahan pribumi: kayu pinus.
Ringan dan kuat. Dia pun membina seorang perajin dari Lumajang, Jawa Timur,
untuk membuatnya. Memuaskan.
Setelah dicoba selama setahun di pedalaman Sumba, ternyata sukses.
Tidak ada persoalan teknologi sama sekali. Sudah teruji.
Taman Listrik Tenaga Angin yang saya kunjungi di pedalaman Sumba,
Minggu, 5 Oktober lalu, itulah yang umurnya sudah lebih dari satu tahun. Ada 28
kincir angin bergenerator yang ditanam di Desa Kemanggih, Maubaukul, Kabupaten
Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, itu.
Semuanya masih berputar normal. Kadang tiangnya bergoyang-goyang
saat angin sangat kencang. Memang dibuat begitu agar lentur. Maka,
kincir-kincir itu seperti menari-nari mengikuti irama dan arah angin. Ricky
sendiri menamakannya “para penari langit”.
“Tidak pernah rusak. Satu hari pun,” ujar Umbu Janji, tokoh
penggerak desa itu.
Hari itu, setelah kebaktian di gereja, Umbu Janji menjemput saya.
Meski kini sudah menjadi anggota DPRD Sumba Timur dari PAN, Umbu Janji “turun
pangkat” menjadi sopir. Terutama setelah saya gagal jadi sopir yang baik: Ban
kiri depan hancur dan peleknya pun penyok-penyok. Saya nabrak batu-batu tajam
di jalan padang sabana yang kering dan luas itu.
Malam itu saya tidur di Kemanggih, di rumah Pak Umbu Yanus. Di
rumah kayu berkolong tinggi yang tidak berpintu. Tangga untuk naik ke rumah
tersebut hanya satu papan dengan posisi menyerong. Agar tidak terpeleset,
kayu-kayu kecil dipakukan melintang, menjadi anak tangga.
Malam itu beberapa penduduk menemani saya tidur di tikar. Yang
laki-laki di ujung sana, yang ibu-ibu menemani Bu Tri Mumpuni di ujung sini.
Beberapa orang sengaja tidak mau tidur semalam suntuk. Main catur. Semuanya,
laki-perempuan, menginang sirih. Bukan daunnya, tapi buahnya.
Bu Puni, panggilan Tri Mumpuni, aktivis pemberdayaan penduduk desa
terpencil itu, sudah biasa dikerumuni ibu-ibu Kemanggih. Dia sudah berkali-kali
tidur di desa tersebut sejak 20 tahun lalu. Bu Puni-lah yang mengarahkan agar
CSR Pertamina diberikan ke desa itu.
Sebelum tidur, saya mengunjungi TLTA karya Ricky. Di sebuah bukit
yang tertinggi di desa itu. Indah dan temaram. Di bawah terang bulan yang masih
muda, di atas bukit yang langitnya jernih, kami mendongak ke sana kemari dengan
takjub. Taman listrik itu terbayang seperti taman bunga matahari yang jangkung.
Semua baling-balingnya berputar indah seperti lagi menghiasi
langit Sumba. Sejauh mata memandang, terlihat pegunungan sunyi. Alam Sumba
waktu malam terlihat lebih misterius, di bawah sinar bulan yang masih muda.
Pagi-pagi kami sekali lagi ke bukit itu. Kincir taman listrik
terus berputar. Meliuk. Menari. Menyambut terbitnya matahari pagi. Saya memuji
karya itu. “Baru kali ini saya melihat tenaga angin yang benar-benar
berfungsi,” kata saya kepada Ricky.
“Sebenarnya ini pun juga pernah Bapak ragukan,” ujar Ricky sambil,
seperti biasa, bercanda.
Setahun setelah membangun TLTA di Maubaukul itu, Ricky membuat
yang lain. Di dua desa sekaligus. Bahkan lebih besar. Seperti di Kemanggih,
juga menggunakan baterai Nipress made in Bogor.
Bulan lalu semua sudah berfungsi. Saya pun ke sana, ke Desa Tana
Rara, masih di Sumba Timur. “Penari langit”-nya 48 “bunga”. Seperti tarian
kolosal.
Meski badan seperti remuk, saya bahagia menyaksikan karya Ricky.
Terutama setelah tiga bulan lalu saya temui dia di Bandung. Saya harus
memberitahukan bahwa masa jabatan saya sebagai menteri akan segera berakhir.
Artinya, gaji menteri yang sepenuhnya saya berikan ke dia juga akan berakhir.
“Saya tidak bisa lagi menahan kalau Anda ingin kembali ke Jepang,”
kata saya kepadanya. “Toh, bos Anda yang di Jepang masih terus menunggu.”
Ricky terdiam sejenak. Kepalanya menunduk. Wajahnya menatap ke
bumi. Sesaat kemudian baru dia berucap. “Saya akan tetap di Indonesia.
Seadanya,” jawab Ricky. “Saya akan meneruskan semua ini semampu saya,” tambah
dia. (*)
Dahlan Iskan, Menteri BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar