Mengelola “Kehebatan” Anak
Oleh: Badrul Munir
--Kita sering dibuat kagum dengan penampilan
anak yang masih di bawah umur tetapi mahir dalam memainkan sesuatu, seperti
memainkan alat musik biola atau piano dengan sangat memukau dengan nada-nada
yang sulit. Atau menyanyikan lagu dengan oktaf tinggi dan bersuara merdu
seperti dalam kontes pencarian bakat di beberapa stasiun televisi.
Atau kita terheran-heran saat menyaksikan
anak usia 6-8 tahun tetapi sangat ahli memainkan sirkus dengan kesulitan yang
cukup tinggi dan membahayakan, tetapi si anak dengan santai dan cekatan
memainkannya tanpa melakukan kesalahan sedikit pun.
Bahkan banyak diantara kita yang dibuat
menetes airmata saat menyaksikan anak-anak yang baru berumur 7-9 tahun
tetapi sudah mampu menghafal beberapa Juz dalam Al- Qur’an dengan bacaan yang
sempurna baik makhroj atau tajwidnya. Padahal kita yang sudah berumur jauh di
atasnya jangankan menghafal, membaca saja kadang masih salah dan kurang
sempurna.
“Kehebatan”anak-anak tersebut bila ditinjau
dari ilmu neurosains cukup beralasan, para ahli neurosains dalam beberapa tahun
terakhir mengungkap penemuan medis yang menerangkan hai tersebut. Perlu kita
ketahui bahwa di dalam otak anak yang baru lahir terdapat sekita 100 milyar sel
otak (neuron) , dan antar sel otak satu dengan sel otak lain dihubungankan
dengan hubungan yang sangat istimewa yang bernama sinaps.. disini akan
terjadi komunikasi baik secara listrik, kimia, maupun yang lainnya.
Saat bayi baru lahir sinaps belum
terbentuk atau otak masih polos, neuron yang masih polos terletak di bagian
otak di permukaan Bagian otak tersebut dalam bahasa kedokterannya diberi nama
korteks, (lapisan luar otak). Korteks ini pada awalnya berwarna putih karena
masih belum terpapar oleh stimulus dari luar, dan apabila sudah dewasa maka
korteks ini akan berupa menjadi warna keabuan (grey matter) akibat paparan yang
didapat selama hidupnya.
Pada saat lahir, bayi dan anak anak
maka apapun paparan yang masuk ke dalam otak baik yang melalui panca indra
(penglihatan, indra penciuman, pendengaran, perabaan dan indra perasa lidah)
maupun non panca indra akan mengubah struktur neuron dan sinaps di dalam
korteks menjadi sesuatu yang sesuai dengan stimulus didapat.
Hal ini sudah dinyatakan oleh hadis Nabi
Muhammad SAW yang berbunyi:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ
يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ
تُنْتَجُ الْبَهِيمَة هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ
Dari Abu Hurairah berkata: Nabi SAW bersabda:
setiap anak dilahiran dalam keadaan fitrah. Kemudian kedua orang tuanyalah yang
menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi sebagaimana binatang
ternak yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna. Apakah kalian melihat
ada cacat padanya?
Analisis hadist di atas menurut ilmu
neurosains menunjukan hal yang sangat menakjubkan. Kita diingatkan untuk
menjaga kefitrahan anak kita yang baru lahir, menjaga mereka dari pengaruh
Yahudi dan Nasrani. Menjaga disini berarti berilah stimulus yang islami kepada
anak anak kita sedini mungkin, bilamana tidak maka akan terstimulus negatif
yakti stimulus dari agama (pemikiran) Yahudi dan Nasrani.
Stimulus yang terpapar sejak lahir sampai
dewasa dapat berupa apa yang dilihat, didengar dan dirasa bahkan apa yang
dimakan sehari hari dan ini sangat berperan dalam perilaku hidup sehari-hari.
Maka langkah terbaik adalah memberi stimulus positif terhadap anak kita sejak
dini. Dengan kata lain membiasakan diri dengan memberi pendidikan anak sedini
mungkin sangat diperlukan untuk membentuk korteks otak agar dibentuk pola
struktur otak yang islami.
Bilamana sejak dari bayi kita membiasakan
diri mendengarkan ayat suci Al-Qur’an dan bayi melihat sendiri orang tuanya
membaca Al Qur,an setiap hari maka akan terbentuk memori permanen di otak bayi
tentang Al-Qur’an secara otomatis, sehingga dia akan lebih cepat akrab dengan
ayat al-Qur’an dan bila anak diberi pelajaran yang baik tentang membaca dan
menghafal Al-Qur,an maka dia akan dengan mudah menjadi penghafal (Hafid)
seperti yang kita saksikan anak umur 7 tahun sudah hafal 30 Juz Al-Qur’an.
Begitu juga bilamana setiap hari bayi dan
anak dibiasakan shalat berjamaah baik di rumah dan di majid maka di dalam
sistem memori akan terbentuk sinap (hubungan antar neuron satu dengan neuron
lain) yang bersifat “shalat”. Bila paparan tersebut berlangsung terus menerus
maka kelak saat tumbuh remaja dan dewasa dia akan secara rutin mengerjakan
shalat dan sangat takut meninggalkan shalat walaupun tanpa pengawasan orang
tua. Hal ini bisa diterangkan dengan ilmu perilaku (neurobehavior) dimana
paparan tersebut akan mengubah struktur anatomi dan neurotransmiter (zat kimia
otak) di daerah otak yang mengatur gerakan dan bacaan shalat.
Begitu juga sebaliknya bila anak kita
terpapar dengan lagu lagu “jelek” atau lagu cintayang tidak sesuai dengan
umurnya baik didapat dari media eletronik maupun dalam pergaulan sehari-hari
maka dia akan dengan mudah menghafal lagu tersebut dan menjadi memori permanen
juga.
Pendek kata apapun “kehebatan” anak sangat
tergantung dari paparan yang diterima mulai dia lahir sampai dewasa. Sehingga
sering kita lihat bilamana anak seorang pedagang maka saat dewasa dia cenderung
menjadi pedagang, anak musisi menjadi musisi, akan anak seorang dokter menjadi
dokter, guru menjadi guru dan lain sebagainya.
Maka dari itu berilah paparan yang baik pada
anak dengan membiasakan diri menjalankan kebaikan dan mengajak anak aktif dalam
kebaikan tersebut.
Contoh lain bilamana kita sering
bersedekah maka ajarilah anak kita bersedekah, biarkan mata mereka melihat kita
bersedekah, kemudian saat mereka sudah bisa diajak komunikasi (umur 7 9 tahun)
beri tahu manfaat sedekah dan fadhilah orang bersedah. Maka bilamana kegiatan
tersebut berjalan rutin maka otomatis kelak anak tersebut menjadi ahli sedekah.
Dan ternyata ilmu neurosains membuktikan
bahwa memberi contoh secara langsung (rule models) jauh lebih membekas dalam
memori anak dari pada menyuruh. Artinya sebelum mengharap anak kita melakukan
sesuatu sesuai harapan kita maka kita sebagai orang tua harus terbiasa
melakukan kebaikan secara terus menerus dan menampakan ke anak kita.
Pelatihan Kognisi
“Suruhlah anak-anak kalian untuk bershalat
bila mereka telah berumur 7 tahun. Pukulah mereka karena tidak shalat bila
telah berumur 10 tahun. Pisahkanlah mereka dari tempat tidur kalian”
(Hadist)
Umur 7-10 tahun atau pada saat anak mulai
sekolah dasar, maka sel otak sudah mulai matang, terutama lobus frontalis (otak
bagian depan, pelipis), hal ini kemudian fungsi berfikir (kognisi) sudah mulai
berkembang. Ajaran nabi untuk menganjurkan umat muslim agar “menyuruh” anaknya
mengerjakan shalat dapat dimaknai memberi pembelajaran kognisi dalam syariat
islam.
Anak diberikan pemahaman tentang perintah dan
larangan agama, bukan hanya diberi contoh tetapi diberi tahu dasar dan alasan
mengapa syariat ini harus dilakukan.
Dan pada saat usia 10 tahun atau kelas 5-6
SD, adalah masa akil baliq telah datang, maka mereka sudah diberi kewajiban dan
tanggung jawab terhadap diri sendiri. Kalimat “pukullah” kita artikan betapa
kewajiban orang tua semakin keras pendidikan demi terbentuk perilaku yang
mulia dalam hal ini syariat shalat.
Perintah memukul bukan diartikan kekerasan
terhadap anak, tetapi lebih dimaksudkan pertanggungjawaban orang tua terhadap
anaknya.tentunya memukul disini bukan dalam rangka melepaskan amarah tetapi
lebih ke arah membuat anak jera bila tidak melaukan shalat Dan perintah memukul
didahului oleh perintah memberi contoh dan mengajak berdiskusi (kognisi) sejak
lahir sampai 10 tahun kehidupannya. Artinya proses belajar kebaikan sudah
berjalan 10 tahun baru proses reward and punishment.
Pelatihan Kebaikan Masa Remaja Dewasa
Di dalam Ilmu neurosains yang menarik dikaji
adalah neuroplastisiti, (suatu kemampuan otak memperbaiki diri setelah
mendapatkan paparan postif), saat remaja dan dewasa kita masih bisa memberi
stimulus positif artinya membiasakan diri dengan mengerjakan kebaikan akan
tetap terekam kuat dalam otak manusia, bilamana kita terbiasa shalat berjamaah
ke masjid dalam setiap shalat fardhu maka otak akan selalu memerintahkan tubuh
untuk segera datang ke masjid manakala terdengar suara adzan, dan tanpa
diperintah kaki terus melangkah memenuhi panggilan tersebut karena sudah ada
memori shalat berjamaah di otak kita.
Begitu juga sebaliknya bilamana saat dewasa
kita sering berbuat maksiat maka setiap ada kesempatan maka secara otomatis
akan berbuat maksyiat, hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut. Ada
sekresi neurotransmiter di bagian otak tertentu bilamana kita melakukan
pekerjaan yang berulang. Sehingga stimulus tersebut secara otomatis dan
berkala.Maka salah satu cara adalah memaksakan diri untuk membiasakan kebaikan
dalam kehidupan kita sehari-hari secara istiqomah untuk membentuk sirkuit
positif di otak kita yang mengatur perilaku (akhlaq).
Bulan puasa yang sudah kita lakukan beberapa
bulan yang lalu pada hakekatnya melatih kita untuk senantiasa berbuat baik
dalam kehidupan sehari-hari.
Akhirnya biasakanlah diri kita dalam berbuat
kebaikan baik saat bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan masa tua dan berilah
lingkungan yang baik agar otak menjadi terbiasa dan memberi stimulus kepada
anggota tubuh kita untuk senantiasa berbuat kebaikan secara istiqomah sampai
maut menjemput kita dan kita berharap dalam keadaan khusnul khotimah...
اليوم
نختم على أفواههم وتكلمنا أيديهم وتشهد أرجلهم بماكانوأ يكسبون
Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan
berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka
terhadap apa yang dahulu mereka usahakan. (QS. Yasin : 65). []
Badrul Munir, dokter spesialis saraf RSSA
Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar