Jumat, 03 Oktober 2014

Kang Komar: Jualan Surga



Jualan Surga
Oleh: Komaruddin Hidayat

Setiap bermain golf bersama Pak JK (Jusuf Kalla), selalu saja saya mendapatkan cerita dan lontaran pemikiran yang spontan, cerdas, dan jenaka. Misalnya saja Jumat lalu saya bermain golf di Senayan, sambil berjalan menapaki hamparan lapangan hijau kami berbincang ringan tentang fenomena gerakan ISIS di Irak-Suriah yang imbasnya sampai Indonesia. Spontan, Pak JK berkomentar, gerakan radikalisme agama itu di mana-mana selalu menawarkan jualan surga. Dianggapnya surga itu bisa diraih dengan pintas hanya dengan melakukan bom bunuh diri dengan niat jihad di jalan Allah.

Padahal dalam setiap ceramah selalu ditutup dengan doa sapu jagat: Robbana atina fid-dunya hasana wa fil akhiroti hasanah waqina Robbana atina fid-dunya hasana wa fil akhiroti hasanah waqina adzabannar (Ya Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Selamatkanlah kami dari api neraka). Jadi, kita diperintah oleh Allah, yang pertama untuk membangun kehidupan yang baik, damai, dan sejahtera. Sedangkan akhirat itu buah atau imbalan amal kita di dunia.

Anehnya, kita sangat hafal dengan doa itu, tetapi doa itu tidak menimbulkan gerakan membangun kebajikan di dunia. Orang sanggup berjam-jam mengikuti pengajian dan doa bersama. Itu satu hal yang sangat bagus. Tetapi, akan jauh lebih bagus lagi kalau umat dan masyarakat itu digerakkan untuk juga kerja produktif membangun kehidupan yang baik. Ukuran kebaikan itu secara umum ditandai dengan tingkat pendidikan yang bagus, sejahtera, aman, dan produktif.

Coba saja perhatikan, kata Pak JK. Dalam berbagai gerakan radikalisme agama itu yang diberitakan mati duluan adalah mereka yang pendidikannya rendah, ekonominya kurang baik. Tetapi, para pimpinannya yang menganjurkan jihad dengan kekerasan itu tinggal atau sembunyi di tempat yang aman. Mereka menganjurkan orang lain jihad dengan nyawa, tetapi dirinya sesungguhnya memiliki agenda dan cita-cita untuk menikmati kehidupan dunia.

Mengapa begitu? Karena pada dasarnya naluri manusia memang menginginkan kehidupan yang baik di dunia sebelum ajal tiba. Maka itu, agama pun menganjurkan agar manusia membangun kehidupan yang baik, hidup dalam suasana damai dan sejahtera. Pak JK memang sangat fasih dan tak pernah habis bahan cerita kalau bicara soal kekerasan dan perdamaian karena kita semua tahu reputasinya ketika mendamaikan konflik di Aceh, Ambon, dan Poso.

Baik provokator yang datang dari kubu Islam maupun Kristen, katanya, selalu menawarkan jalan ke surga secara pintas dengan modal nekat setelah didoktrin untuk menyerang lawan semata karena beda keyakinan agama. Bayangkan, jika hanya karena beda keyakinan agama lalu seseorang membunuh yang lain dengan harapan akan langsung masuk surga, agama justru akan menjadi sumber kekacauan dan permusuhan, bukan sumber pencerahan, perdamaian, dan kebaikan hidup bersama.

Padahal bukankah semua agama memiliki motto sebagai sumber dan kekuatan perdamaian dan keadaban? Timur Tengah yang dalam sejarahnya merupakan wilayah kelahiran para nabi pembawa agama besar dunia sekarang ini citranya justru menjadi sumber api peperangan dan saling bunuh dengan melibatkan slogan dan motto keagamaan. Sebuah ironi sejarah.

Anehnya lagi, masyarakat Indonesia yang memiliki sejarah toleransi dan saling menghargai perbedaan - Bhinneka Tunggal Ika - sekarang malah ada yang ikut-ikutan. Di rumah besar Indonesia ini melebur sekian banyak kesultanan untuk bersama menjaga dan memajukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kesultanan Hamengku Buwono Yogyakarta yang bergelar Khalifatullah Sayyidin Panata Gama bahkan rela melebur masuk dalam NKRI, juga beberapa sultan lain di Nusantara ini. Jadi, jauh sebelum ISIS mendeklarasikan khalifah yang diberitakan mengajarkan kekerasan dan pembunuhan, di Yogyakarta sudah ada khalifah dan sultan yang justru ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Mereka keras melawan penjajah, tetapi penyebar kedamaian sesama warga Indonesia meski berbeda etnis dan agama. Tulisan ini jangan diartikan saya antigerakan jihad atau berjuang di jalan Tuhan. Tetapi, hanya ingin mengingatkan bahwa jihad yang lebih utama adalah berjihad membangun kehidupan yang baik, sejahtera, dan damai sebagai rasa syukur dan tanggung jawab atas anugerah kehidupan yang diberikan Tuhan kepada kita semua.

Sesekali dalam sejarah peperangan dan pertempuran memang tidak bisa dielakkan. Tetapi, itu mesti memiliki alasan yang sangat kuat yang dibenarkan nalar sehat, etika sosial, dan pemahaman agama yang senantiasa menekankan prinsip keadilan, kebenaran, dan prokehidupan.

Mengikuti berita seputar kekerasan oleh gerakan ISIS yang mendeklarasikan muncul khalifah baru bagi umat Islam sedunia, juga gerakan radikalisme keagamaan yang ingin mendirikan negara Islam sebagai pengganti NKRI, jika itu sebatas wacana keilmuan atau gerakan ideologis yang ditawarkan secara damai dan legal, itu sah-sah saja.

Kita hidup di zaman terbuka yang memungkinkan siapa pun mengemukakan gagasan asalkan tidak melalui jalan kekerasan dan pemaksaan. Ide apa pun dipersilakan masuk ke bursa pasar secara terbuka.

Nanti masyarakat yang akan menguji dan menilai itu. Hanya, di sana ada rambu-rambu hukum, undang-undang, etika kepantasan sosial, dan mesti menjaga hak-hak warga negara untuk hidup tenang, bebas dari ancaman dan paksaan. Semua itu mesti ditaati. []

KORAN SINDO, 26 September 2014
Komaruddin Hidayat  ;   Rektor UIN Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar