Jualan Surga
Oleh: Komaruddin Hidayat
Setiap bermain golf bersama Pak JK (Jusuf Kalla), selalu saja saya
mendapatkan cerita dan lontaran pemikiran yang spontan, cerdas, dan
jenaka. Misalnya saja Jumat lalu saya bermain golf di Senayan, sambil
berjalan menapaki hamparan lapangan hijau kami berbincang ringan tentang
fenomena gerakan ISIS di Irak-Suriah yang imbasnya sampai Indonesia. Spontan,
Pak JK berkomentar, gerakan radikalisme agama itu di mana-mana selalu
menawarkan jualan surga. Dianggapnya surga itu bisa diraih dengan pintas hanya
dengan melakukan bom bunuh diri dengan niat jihad di jalan Allah.
Padahal dalam setiap ceramah selalu ditutup dengan doa sapu jagat:
Robbana atina fid-dunya hasana wa fil akhiroti hasanah waqina Robbana atina
fid-dunya hasana wa fil akhiroti hasanah waqina adzabannar (Ya Tuhan kami,
berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Selamatkanlah kami
dari api neraka). Jadi, kita diperintah oleh Allah, yang pertama untuk
membangun kehidupan yang baik, damai, dan sejahtera. Sedangkan akhirat itu buah
atau imbalan amal kita di dunia.
Anehnya, kita sangat hafal dengan doa itu, tetapi doa itu tidak
menimbulkan gerakan membangun kebajikan di dunia. Orang sanggup berjam-jam
mengikuti pengajian dan doa bersama. Itu satu hal yang sangat bagus. Tetapi,
akan jauh lebih bagus lagi kalau umat dan masyarakat itu digerakkan untuk juga
kerja produktif membangun kehidupan yang baik. Ukuran kebaikan itu secara umum
ditandai dengan tingkat pendidikan yang bagus, sejahtera, aman, dan produktif.
Coba saja perhatikan, kata Pak JK. Dalam berbagai gerakan
radikalisme agama itu yang diberitakan mati duluan adalah mereka yang
pendidikannya rendah, ekonominya kurang baik. Tetapi, para pimpinannya yang
menganjurkan jihad dengan kekerasan itu tinggal atau sembunyi di tempat yang
aman. Mereka menganjurkan orang lain jihad dengan nyawa, tetapi dirinya
sesungguhnya memiliki agenda dan cita-cita untuk menikmati kehidupan dunia.
Mengapa begitu? Karena pada dasarnya naluri manusia memang menginginkan
kehidupan yang baik di dunia sebelum ajal tiba. Maka itu, agama pun
menganjurkan agar manusia membangun kehidupan yang baik, hidup dalam suasana
damai dan sejahtera. Pak JK memang sangat fasih dan tak pernah habis bahan
cerita kalau bicara soal kekerasan dan perdamaian karena kita semua tahu
reputasinya ketika mendamaikan konflik di Aceh, Ambon, dan Poso.
Baik provokator yang datang dari kubu Islam maupun Kristen,
katanya, selalu menawarkan jalan ke surga secara pintas dengan modal nekat
setelah didoktrin untuk menyerang lawan semata karena beda keyakinan agama.
Bayangkan, jika hanya karena beda keyakinan agama lalu seseorang membunuh yang
lain dengan harapan akan langsung masuk surga, agama justru akan menjadi sumber
kekacauan dan permusuhan, bukan sumber pencerahan, perdamaian, dan kebaikan
hidup bersama.
Padahal bukankah semua agama memiliki motto sebagai sumber dan
kekuatan perdamaian dan keadaban? Timur Tengah yang dalam sejarahnya merupakan
wilayah kelahiran para nabi pembawa agama besar dunia sekarang ini citranya
justru menjadi sumber api peperangan dan saling bunuh dengan melibatkan slogan
dan motto keagamaan. Sebuah ironi sejarah.
Anehnya lagi, masyarakat Indonesia yang memiliki sejarah toleransi
dan saling menghargai perbedaan - Bhinneka Tunggal Ika - sekarang malah ada
yang ikut-ikutan. Di rumah besar Indonesia ini melebur sekian banyak kesultanan
untuk bersama menjaga dan memajukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kesultanan Hamengku Buwono Yogyakarta yang bergelar Khalifatullah
Sayyidin Panata Gama bahkan rela melebur masuk dalam NKRI, juga beberapa sultan
lain di Nusantara ini. Jadi, jauh sebelum ISIS mendeklarasikan khalifah yang
diberitakan mengajarkan kekerasan dan pembunuhan, di Yogyakarta sudah ada
khalifah dan sultan yang justru ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Mereka keras melawan penjajah, tetapi penyebar kedamaian sesama
warga Indonesia meski berbeda etnis dan agama. Tulisan ini jangan diartikan
saya antigerakan jihad atau berjuang di jalan Tuhan. Tetapi, hanya ingin
mengingatkan bahwa jihad yang lebih utama adalah berjihad membangun kehidupan
yang baik, sejahtera, dan damai sebagai rasa syukur dan tanggung jawab atas
anugerah kehidupan yang diberikan Tuhan kepada kita semua.
Sesekali dalam sejarah peperangan dan pertempuran memang tidak
bisa dielakkan. Tetapi, itu mesti memiliki alasan yang sangat kuat yang
dibenarkan nalar sehat, etika sosial, dan pemahaman agama yang senantiasa
menekankan prinsip keadilan, kebenaran, dan prokehidupan.
Mengikuti berita seputar kekerasan oleh gerakan ISIS yang
mendeklarasikan muncul khalifah baru bagi umat Islam sedunia, juga gerakan
radikalisme keagamaan yang ingin mendirikan negara Islam sebagai pengganti
NKRI, jika itu sebatas wacana keilmuan atau gerakan ideologis yang ditawarkan
secara damai dan legal, itu sah-sah saja.
Kita hidup di zaman terbuka yang memungkinkan siapa pun
mengemukakan gagasan asalkan tidak melalui jalan kekerasan dan pemaksaan. Ide
apa pun dipersilakan masuk ke bursa pasar secara terbuka.
Nanti masyarakat yang akan menguji dan menilai itu. Hanya, di sana
ada rambu-rambu hukum, undang-undang, etika kepantasan sosial, dan mesti
menjaga hak-hak warga negara untuk hidup tenang, bebas dari ancaman dan
paksaan. Semua itu mesti ditaati. []
KORAN SINDO, 26 September 2014
Komaruddin Hidayat ; Rektor UIN Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar