Kita Bukan Bangsa Terbelah
Oleh: Budiarto Shambazy
PENGESAHAN Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah merupakan ”pintu
masuk” kedua bagi Koalisi Merah Putih untuk menciptakan instabilitas politik
(jika mungkin krisis konstitusional) dalam rangka mengancam pemerintahan baru.
Tanggal 8 Juli atau satu hari sebelum Pemilu Presiden 2004, KMP telah membuka
pintu masuk pertama dengan memaksakan perubahan Undang-Undang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD.
UU Pilkada di tingkat daerah diharapkan menjadi model untuk
perubahan serupa di tingkat nasional, yakni pemilihan presiden yang dilakukan
secara tidak langsung melalui MPR (presiden sebagai mandataris MPR). Dalih KMP,
pemilihan langsung terlalu liberal, kebablasan, mahal, dan menciptakan konflik
horizontal sehingga negara ini perlu ”kembali ke UUD 1945 dan sila keempat
Pancasila”.
Tujuan akhir KMP adalah melancarkan pemakzulan terhadap presiden
terpilih Joko Widodo dalam waktu secepat-cepatnya satu tahun atau
selambat-lambatnya dua tahun. Setelah pemakzulan, MPR akan memilih presiden
baru dengan dukungan suara KMP yang menguasai mayoritas DPR.
Strategi KMP ini langkah memundurkan demokrasi (democratic
reversal) yang mendapat tentangan besar-besaran dari berbagai kalangan
masyarakat. Demokrasi sedang berkembang positif dan the feel good factor sedang
dirasakan berbagai kalangan masyarakat yang optimistis memandang masa depan
setelah Pemilu Legislatif 2014 dan Pilpres 2014 sukses.
Strategi ”bumi hangus” KMP ini diperkirakan kontraproduktif dan
bahkan akan memecah belah KMP sendiri. Pembangkangan internal KMP akan sangat
frontal di tingkat daerah daripada di tingkat nasional karena berbagai faktor:
kondisi khas kedaerahan, kesukaran konsolidasi karena faktor jarak dan waktu,
dan lain-lain.
Pada akhirnya KMP akan dianggap sebagai public enemy number one
yang melancarkan dendam politik semata-mata tanpa ada niat membangun bangsa dan
negara agar lebih maju. Cepat atau lambat pandangan masyarakat ini akan
berpengaruh terhadap partai-partai KMP yang pada gilirannya memicu konflik
internal.
Dalam kenyataannya, konflik internal yang dimaksud telah melanda
PPP. Bukan tidak mungkin konflik serupa yang berujung pada pergantian ketua
umum partai akan dialami pula oleh Partai Golkar, PAN, atau Partai Demokrat.
Sejauh ini yang tampak solid PKS dan Gerindra.
Kondisi tersebut sesungguhnya menguntungkan posisi pemerintah baru
sebab KMP berhadapan langsung melawan rakyat (bukan vis-à-vis koalisi Joko
Widodo-Jusuf Kalla). Kini tinggal bagaimana pemerintah baru mengapitalisasi
kondisi yang menguntungkan itu.
Seperti telah diucapkan sendiri oleh presiden terpilih Joko
Widodo, dirinya bersama wakil presiden terpilih Jusuf Kalla sama sekali tidak
gentar menghadapi ancaman-ancaman politis yang dilancarkan KMP. Mengapa?
Pertama, ”fenomena Jokowi” atau ”Jokowimania” yang meneguhkan Joko
Widodo sebagai pemimpin baru yang didukung mayoritas rakyat yang ingin breaking
with the past (memutus mata rantai masa lalu). Kita menyaksikan meroketnya Joko
Widodo yang terpilih sebagai gubernur DKI dan langsung terpilih sebagai
presiden hanya dalam waktu relatif singkat—dengan melampaui popularitas Prabowo
Subianto pada sejumlah jajak pendapat September 2012.
Kedua, Joko Widodo memperoleh mandat mayoritas pemilih dari
berbagai kalangan partai ataupun nonpartai hampir di seluruh provinsi untuk
memenangi Pilpres 2014. Untuk pertama kalinya pula pilpres di negeri ini
berlangsung luber, jurdil, dan kredibel berkat partisipasi rakyat, media massa
mainstream, dan media sosial.
Ketiga, Joko Widodo-Jusuf Kalla dipandang sebagai duet yang siap
bekerja ketimbang berwacana. Duet ini antitesis dari pemerintah SBY yang
dianggap lebih suka berwacana (sebenarnya Prabowo juga dipandang sebagai
antitesis SBY karena dianggap tegas/tidak peragu).
Keempat, selama kampanye, Jokowi berhasil meyakinkan pemilih
dengan program-program pro rakyat yang mengedepankan perubahan dan
kesinambungan (change and continuity). Detail program pemerintahan Joko Widodo,
yang telah disiapkan oleh Tim Transisi, cukup riil dan diprediksi akan cukup
berhasil mencapai kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian
budaya sesuai cita-cita Trisakti.
Kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla punya legitimasi kuat,
berwatak solidarity maker, dan get things done. Proses pengambilan keputusan
didasarkan kesepakatan politis dan birokratis, yang menempatkan keluaran
kebijakan sebagai ”kotak hitam” yang utuh—bukan didasarkan kepentingan
pribadi/kelompok/partai.
Kita kebetulan punya eksekutif dan legislatif yang berseberangan.
Namun, pemerintah yang sibuk bekerja demi rakyat akan diimbangi DPR yang
menjalankan fungsi anggaran, pengawasan, dan legislasinya secara tepat dan
beradab.
Akan sangat memalukan jika pelantikan presiden digagalkan saat
mata dunia tersorot ke upacara yang semestinya berlangsung khidmat itu. MPR dan
DPR yang baru wajib membuktikan diri bahwa kita bukan bangsa yang terbelah. []
KOMPAS, 11 Oktober 2014
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar