Khidzmah KAHMI, Bersatu Demi Indonesia (Bag 2 dari 2)
Oleh: Moh Mahfud MD
Persatuan, meminjam istilah Bung Hatta, bukanlah persatean yang
mengharuskan orang selalu membebek dan tidak bisa kreatif untuk keluar dari
satu pengendalian yang hegemonis.
Persatuan harus kita bangun dalam visi dan platform yang tetap
memungkinkan perbedaan posisi politik dan langkah-langkah yang ditempuh, tidak
harus disusun seperti setusuk sate. Dalam konteks inilah, KAHMI mengajak untuk
memandang dan mengarahkan keberlanjutan perkubuan politik pasca-pilpres antara
kubu Koalisi Merah Putih dan Kubu Indonesia Hebat agar keduanya bersatu demi
Indonesia meski berbeda dalam pilihan dan langkah-langkah politik.
Bagi KAHMI, demokrasi dan adanya lembaga-lembaga negara, hukum,
Pemilu dan sebagainya hanyalah alat untuk menyejahterakan rakyat. Ibaratnya,
kedua koalisi ini harus menuju tujuan yang sama tapi menempuh jalan yang
berbeda. Sungguh akan baik seandainya kebersatuan semua parpol bisa disepakati
melalui kerja sama atau gotong royong di legislatif dan eksekutif sekaligus,
secara paralel dan tanpa perkubuan. Tetapi manakala kebersatuan dan kerja sama
atau gotong royong seperti itu tidak bisa dilakukan, memilih posisi yang
berbeda tetap bisa baik asal semuanya berkomitmen untuk tujuan yang sama yakni
membangun kesejahteraan rakyat dengan berkompetisi.
Memang polarisasi perkubuan koalisi, dari satu sisi bisa dilihat
sebagai negatif karena berpotensi melahirkan pemerintahan yang tidak stabil
atau penuh hambatan. Tetapi dari sisi lain bisa juga dipandang dan dijadikan
hal yang positif dalam menguatkan pembagian tugas penyelenggaraan negara. Kita
bisa menjadikan situasi perkubuan koalisi yang ada sekarang ini sebagai hal
yang positif dengan menjadikannya sebagai momentum untuk memulai membangun
mekanisme saling kontrol dan mengimbangi (checks and balances) secara sehat
dalam sistem ketatanegaraan.
Yang satu bisa mengelola eksekutif, sedangkan yang lain-nya bisa
berkonsentrasi untuk mengawasi dan mengimbangi secara sehat dari lembaga
legislatif. Warga KAHMI yang secara nyata banyak bergabung di kedua kubu itu
dapat berperan aktif untuk menyatukan tujuan dalam pilihan dan jalan politik
yang berbeda itu melalui pemberian dukungan secara kuat terhadap pihak yang
didukungnya.
Kalau ini bisa dilakukan dengan baik maka sistem ketatanegaraan
kita ke depan bisa semakin sehat dengan hadirnya checks and balances yang bukan
untuk saling menghambat, melainkan saling bersinergi untuk kesejahteraan
rakyat. Kita tak perlu mengikuti pendapat bahwa di dalam sistem presidensial
tak dikenal koalisi, karena koalisi hanya ada dalam sistem parlementer. Saya
selalu mengatakan bahwa hukum tata negara di suatu negara itu tidak tunduk pada
teori dan tidak harus mengikuti yang berlaku di negara lain.
Tidak ada teori hukum tata negara yang universal asli, karena
setiap negara membuat hukum tata negara di dalam konstitusinya sesuai dengan
kebutuhan domestiknya masing-masing. Yang harus kita lakukan adalah apa yang
tertulis secara resmi di dalam konstitusi; sedangkan yang tak dilarang secara
resmi di dalam konstitusi dan hukum, seperti koalisi dan pembentukan
komisi-komisi di DPR, boleh saja dilakukan sepanjang dibutuhkan dalam realitas
politik dan masih dalam rangka untuk mencapai tujuan negara yakni kesejahteraan
rakyat. Berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, mempraktikkan konvensi-
konvensi ketatanegaraan yang seperti itu.
Dalam HUT ke-48 ini, Presidium Majelis Nasional KAHMI juga telah
menyelenggarakan simposium tentang “Cetak Biru Indonesia Masa Depan” dan
seminar tentang “Kedaulatan Pangan dan Ketahanan Energi”. Kita bersyukur
ternyata warga KAHMI mempunyai ahli-ahli hampir dalam semua bidang iptek dan
profesi. Kemerdekaan yang diperoleh atas berkat rahmat Allah telah memungkinkan
bangsa ini melahirkan banyak pemimpin dan banyak ahli, termasuk pemimpin dan
ahli yang pernah ditempa di kawah candradimuka HMI dan KAHMI.
Melalui simposium dan seminar tersebut, kita menjadi tahu bahwa
para ahli yang kita miliki dapat mengidentifikasi dengan baik persoalan yang
kita hadapi dalam setiap bidang dan tahu pula bagaimana cara mengatasinya.
Ibarat dokter, para ahli yang kita miliki sudah bisa mendiagnosis penyakit dan
menentukan panasea atau terapinya. Hanya, masalah berikutnya, cara melaksanakan
terapi itu berjalan semrawut, tidak terpimpin dan tidak terkoordinasi dengan
baik serta cenderung berjalan sendirisendiri karena ego sektoral.
Keruwetan dan ego sektoral itulah yang menjadi salah satu sebab
(dan cara melakukan) korupsi, baik korupsi uang maupun korupsi kebijakan.
Itulah sebabnya, ketika kita mengupayakan mencari cetak biru maka yang
ditemukan, meminjam istilah tokoh KAHMI Prof Anwar Arifin, adalah cetak buram.
Salah satu kesimpulan penting dari simposium dan seminar itu, kita memerlukan
kepemimpinan yang kuat, yakni kepemimpinan yang visioner serta dapat secara
tegas melakukan pilihan-pilihan kebijakan untuk melaksanakan pemerintahan dan
pembangunan secara terkoordinasi dan terarah sesuai dengan target kebijakan
yang telah dipilih.
Saat ini kita berada pada momentum yang tepat untuk menyerasikan
langkah di bawah satu visi yang kuat dengan pilihan kebijakan tentang arah dan
terapi yang terpadu karena kita akan segera mempunyai pemerintahan yang baru.
Seluruh warga KAHMI harus berperan melalui posisinya masing-masing untuk
membangun masa depan Indonesia yang lebih baik dengan membantu pemerintahan
yang baru, baik di eksekutif maupun di legislatif serta di cabangcabang dan
ranting pemerintahan lainnya. Dirgahayulah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa
Islam (KAHMI). []
KORAN SINDO, 23 September 2014
Moh Mahfud MD ; Koordinator Presidium Majelis
Nasional KAHMI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar