Bernegara Tanpa Haluan
Oleh: Yudi Latif
Kekisruhan di sekitar Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila atau RUU HIP harus dilihat sebagai puncak gunung es dari kedalaman krisis kebangsaan. Krisis ini terjadi karena kehidupan negara berjalan sebatas mengikuti rutinitas prosedur dan administrasi, tanpa kejelasan arah tujuan.
Kendati RUU HIP menyandang kata haluan, haluan sesungguhnya dalam kehidupan publik tidaklah terletak pada huruf-huruf yang tertulis pada pasal peraturan, tetapi pada tuntunan fajar nalar (right reason) dan bening moral (moral purpose).
Menulis dengan meratapi krisis kehidupan politik Amerika Serikat (AS), Ben Shapiro dalam The Right Side of History (2019) mengajukan dua pertanyaan kunci, yakni apa yang membuat peradaban Barat, khususnya AS, berkembang begitu baik-maju dan mengapa pula kebaikan itu saat ini seperti dicampakkan? Jawabannya, kebaikan-kemajuan Barat (AS) itu bisa dicapai karena memuliakan tuntunan nalar dan tujuan moral sebagai api dan air bagi kelangsungan kehidupan. Sementara kebaikan-kemajuan itu kini seperti pudar karena pengabaian terhadap nalar dan moral.
Kesenangan bisa diperoleh dari kemenangan pemilihan, kenaikan kedudukan dan pendapatan, peningkatan popularitas dan pengikut, serta pelipatgandaan profit dan aset. Namun, kesenangan tak pernah mengenal kata cukup. Kebahagiaan abadi hanya bisa diraih dengan mengembangkan jiwa (soul) dan pikiran (mind) dengan tujuan moral yang membuat kita bisa hidup dengan kehidupan yang baik.
Apa itu kehidupan yang baik? Aristoteles dalam uraiannya tentang kebahagiaan (eudaimonia) menjelaskan bahwa sesuatu dikatakan baik jika memenuhi tujuannya. Jam yang baik menunjukkan ketepatan waktu, anjing yang baik dapat menjaga tuannya. Manusia baik adalah yang mampu bertindak seusai dengan nalar yang benar.
Keunikan manusia sebagai makhluk karena kapasitasnya untuk bernalar dan menggunakan nalar itu untuk menginvestigasi alam serta tujuan keberadaannya di alam. Dengan demikian, kita bisa menghidupi kehidupan yang baik tatkala mampu menemukan tujuan moral dalam mengembangkan nalar yang benar, serta menggunakan nalar itu untuk bertindak secara bajik (virtues). Secara singkat, Aristoteles menegaskan, bertindaklah secara baik dan benar, sejalan dengan nilai sebagai makhluk rasional, maka kehidupan akan bahagia.
Hikmat kebijaksanaan
Prasyarat nalar dan moral sebagai basis kebajikan dan kebahagiaan hidup seperti itu pula yang melandasi rumusan sila keempat Pancasila: ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
Cita kerakyatan hendak menghormati suara rakyat dalam politik; dengan memberikan jalan bagi peranan dan pengaruh besar yang dimainkan rakyat dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan. Cita permusyawaratan memancarkan kehendak untuk menghadirkan negara persatuan yang dapat mengatasi paham perseorangan dan golongan, dengan mengakui adanya ”kesederajatan/persamaan dalam perbedaan”.
Cita hikmat-kebijaksanaan merefleksikan orientasi nalar-etis bahwa ”kerakyatan yang dianut bangsa Indonesia bukanlah kerakyatan yang mencari suara terbanyak saja, melainkan juga kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Orientasi nalar-etis (hikmat-kebijaksanaan) ini dihidupkan lewat daya rasionalitas (argumentatif-deliberatif), kearifan konsensual, dan komitmen keadilan yang bisa menghadirkan suatu sintesis terbaik.
Dalam rangka mengembangkan nalar-etis itulah konstitusi mengamanatkan misi ketiga Pemerintah Negara Indonesia: ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dengan imperatif konstitusi itu, mestinya pembangunan nasional harus merupakan gerak berkesinambungan dalam peningkatan kecerdasan (nalar-etis) bangsa di berbagai bidang dan lapis kehidupan.
Yang terjadi malah cenderung sebaliknya. Pembangunan gencar di sektor infrastruktur fisik, cenderung menelantarkan pembangunan infrastruktur lunak (nalar dan moral). Amartya Sen, penerima penghargaan Nobel dalam bidang ekonomi pada 1998, mengkritik pendekatan pembangunan yang terlampau menekankan aspek-aspek pertumbuhan ekonomi (GDP), komoditas, standar hidup, dan pemahaman keadilan sebatas fairness. Baginya, ukuran yang harus dikedepankan ialah pembangunan manusia, dalam arti bagaimana meningkatkan kualitas hidup. Kalau bicara kualitas hidup, isu utamanya adalah mengembangkan kapabilitas.
Sen mendefinisikan kapabilitas sebagai ”kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan bernilai (valuable acts) atau meraih kondisi keadaan yang bernilai (valuable states of being); yang mengombinasikan kesempatan (opportunities) dan kebebasan (freedom) untuk meraih apa yang dilihat seseorang secara reflektif sebagai sesuatu yang bernilai.
Pendekatan kapabilitas melihat manusia sebagai tujuan dalam kerangka ”individu etis” (ethical individualism); suatu pendekatan normatif yang menekankan bahwa tindakan dinilai atas efeknya terhadap setiap individu manusia dan bahwa individu itu merupakan obyek primer dari kepedulian moral. Dalam kaitan itu, pendidikan memainkan peranan penting dalam mengembangkan kapabilitas bernalar (literasi, numerasi, pemikiran kritis, dan pemecahan masalah) dan bermoral (memiliki tujuan moral dan kapasitas moral sebagai pribadi dan warga negara).
Kehidupan publik merefleksikan kapasitas nalar-etis warganya. Apabila kehidupan publik kita dirayakan dengan kedangkalan, kebohongan, pertengkaran; banyak RUU dibuat dengan penalaran yang kusut; makin banyak peraturan, makin meluas penyalahgunaan; elite negeri berlomba mengkhianati negara dan sesamanya, yang membuat rasa saling percaya pudar, hal itu mencerminkan terjadinya degenerasi dalam kapasitas nalar-etis bangsa kita.
Padahal, tak ada kemajuan dan kebahagiaan paripurna tanpa kapasitas moral dan nalar. Al Quran menjanjikan ketinggian derajat manusia hanya bagi mereka yang mampu mengombinasikan kekuatan iman (yang mengalirkan moral) dan ilmu (yang mencerahkan nalar). Itulah sejatinya haluan. []
KOMPAS, 18 Juni 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar