Negara
Kesejahteraan dengan “Soft Power”
Oleh:
Yudi Latif
DENGAN
perolehan suara sekitar 7 persen, menurut versi hitung cepat, Partai Nasional
Demokrat meraih hasil fenomenal sebagai partai pendatang baru. Yang lebih
menarik, di sela-sela kerumunan partai spanduk yang tidak menawarkan visi
perubahan, partai ini tampil dengan politik gagasan seakan menggemakan kembali
apa yang pernah diingatkan Bung Karno: ”Sebuah partai harus dipimpin oleh ide,
menghikmati ide, memikul ide, dan membumikan ide”.
Politik
gagasan yang dilambaikan di setiap kibaran bendera partai ini secara ikonik
dirumuskan dengan slogan ”gerakan restorasi”. Visi restorasi ini berisi
konsepsi tentang usaha memulihkan kembali kondisi bangsa agar bisa merasa lebih
sehat, lebih kuat, dan lebih bersemangat setelah mengalami kelemahan,
kemurungan, dan keputusasaan dengan cara menjangkarkan kembali pilihan
kebijakan dan pembangunan pada nilai-nilai luhur bangsa.
Di bidang
politik, implikasi dari visi restorasi menuntut usaha menghidupkan kembali
hakikat demokrasi permusyawaratan. Cara termudah dengan melihat posisi sila
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan dalam Pancasila. Letaknya diapit sila Persatuan
Indonesia dan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Ketiga
sila itu saling mensyaratkan dan saling memperkuat. Pada satu sayap, demokrasi
mensyaratkan persatuan (integrasi) nasional yang kuat karena tanpa adanya
integrasi nasional, menjalankan pemerintahan demokratis ibarat membangun istana
pasir yang mudah jatuh oleh konflik kebangsaan. Sebaliknya, demokrasi yang baik
harus mampu memperkuat persatuan nasional. Pada sayap lain, demokrasi yang baik
harus mampu menghadirkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Sebaliknya,
keadilan sosial akan memperkuat perkembangan demokrasi.
Dalam
memperkuat persatuan nasional, demokrasi permusyawaratan dirancang untuk
mewujudkan negara kekeluargaan (semua untuk semua) yang mampu mengatasi paham
perseorangan dan golongan. Dalam mewujudkan keadilan sosial, demokrasi
permusyawaratan dirancang untuk menghadirkan negara sosial (negara
kesejahteraan), bukan negara liberal yang hanya bertindak sebagai ”penjaga
malam”.
Usaha
memperkuat ”negara kekeluargaan” pasca Pemilu 2014 membutuhkan usaha restorasi
dalam sistem perwakilan, haluan kebijakan dasar pembangunan, dan otonomi dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam demokrasi
permusyawaratan yang diperhatikan bukan hanya aspek keterpilihan, melainkan
juga aspek keterwakilan. Lembaga perwakilan kedaulatan rakyat harus mampu
mewakili hak individu, hak golongan fungsional dan marjinal, serta
keragaman-keluasan wilayah Nusantara yang terangkum dalam lembaga Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Kebijakan
dasar pembangunan sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dirumuskan
bersama dalam MPR. Otonomi daerah dijalankan dalam kerangka semangat persatuan
nasional. Sejauh ini, meski konstitusi hasil amandemen menyatakan bentuk NKRI
tidak dapat diubah, secara de facto urat nadi NKRI sudah robek dengan
menyisakan retakan dalam konektivitas antara pemerintahan pusat dan daerah,
bahkan di antara daerah tingkat dua dalam satu provinsi, yang tak terbayangkan
dalam negara federal.
Dalam
merealisasikan keadilan sosial, demokrasi permusyawaratan menghendaki
perwujudan negara kesejahteraan. Dalam pemikiran para pendiri bangsa, negara
kesejahteraan dimaksud adalah suatu bentuk pemerintahan demokratis yang
menegaskan, negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat, bahwa
pemerintah harus mengatur pembagian kekayaan negara agar tidak ada rakyat yang
kelaparan, tidak ada rakyat yang menemui ajalnya karena tidak memperoleh
jaminan sosial. Dalam negara kesejahteraan Indonesia, yang dituntut oleh etika
politik bukan penghapusan hak milik pribadi, melainkan hak milik pribadi
memiliki fungsi sosial dan negara bertanggung jawab atas kesejahteraan umum.
Meski
demikian, cara negara mewujudkan kesejahteraan sosial itu tidak bisa
disandarkan pada kekuatan perangkat keras (hard power) yang bersifat represif
dan top-down. Usaha kesejahteraan yang dipertukarkan dengan pembungkaman
hak-hak politik demokratis melahirkan piramida kurban manusia yang menistakan
nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan.
Pilihan
ke depan adalah usaha mewujudkan negara kesejahteraan dengan kekuatan perangkat
lunak (soft power) melalui pelayan publik penuh welas asih seraya menyertakan
partisipasi publik secara bottom-up.
Pelayan
publik sebagai penentu kebahagiaan rakyat ditunjukkan oleh survei di 50 negara
seperti dilaporkan Geoff Mulgan (2008). ”Pengaruh kualitas pelayanan pemerintah
terhadap kebahagiaan hidup jauh melampaui efek yang ditimbulkan oleh
pendidikan, pendapatan, dan kesehatan”.
Usaha
demokrasi membawa kebahagiaan menuntut penjelmaan ”negara-pelayan”, yang
mengandung empat jenis responsibilitas, yakni perlindungan, kesejahteraan,
pengetahuan, dan keadilan-perdamaian. Semua itu secara visioner telah
dirumuskan para pendiri bangsa dalam tugas negara seperti tertuang dalam alinea
keempat Pembukaan UUD 1945.
Jalan
demokrasi Indonesia menuju kebahagiaan masih teramat panjang. Namun, seperti
kata Lao Tzu, ”Perjalanan ribuan kilometer dimulai langkah pertama.” Langkah
pertama itu adalah memilih pemimpin nasional yang mendekati prasyarat itu pada
pemilihan presiden yang akan datang.
Pada
dasarnya pemerintahan negara-negara anggota ASEAN bersifat elitis. ASEAN juga
melihat ke dalam sebagai organisasi dengan identitas ganda, yaitu ketika berhadapan
dengan dunia di luar ASEAN dan ketika saling berhadapan di antara sesama
anggota ASEAN.
Saat
berhadapan dengan negara-negara di luar ASEAN, organisasi ini ingin dilihat
sebagai koheren. Namun, di antara negara ASEAN paling jauh yang ingin dilakukan
adalah membangun komunitas, tetapi tidak pernah menyatakan akan terintegrasi
seperti Uni Eropa.
Itu
sebabnya prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing masih akan
terus dipegang. Prinsip itu menimbulkan konsekuensi setiap negara bebas
melakukan perjanjian ekonomi serta perdagangan bilateral dan multilateral di
luar ASEAN. Saat ini terdapat 23 perjanjian bilateral antara negara-negara
anggota dan negara di luar ASEAN. Perjanjian bilateral atau multilateral dengan
kekuatan regional atau kawasan akan mengurangi upaya untuk mewujudkan inisiatif
dalam kerangka ASEAN.
Indonesia
dapat mengambil posisi sebagai pemimpin ASEAN jika memiliki rangka desain
kebijakan luar negeri dan tak bersikap reaktif. Selain itu, harus ada dukungan
dari partai politik di parlemen dan pucuk pemerintahan yang memiliki visi. Hal
ini hanya dapat terwujud jika ada kepemimpinan puncak yang mampu menyatukan
semua pemangku kepentingan. []
KOMPAS,
15 April 2014
Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan dan
Kenegaraan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar