Pemilu
Curang, DPR Korup
Oleh: Moh
Mahfud MD
Bersama
mantan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, saya pernah mengusulkan penarikan
sumbangan wajib kepada partai dari para anggota DPR dan DPRD agar partai
mempunyai dana operasional.
Waktu itu
bulan Februari tahun 2002, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) baru saja
melaksanakan Muktamar Luar Biasa (MLB) pasca pelengseran Gus Dur dari
jabatannya sebagai presiden. Di PKB Gus Dur adalah ketua Dewan Syura, Alwi
Shihab adalah ketua umum Dewan Tanfidz DPP, sedangkan saya adalah wakil ketua
umum. Waktu itu PKB mengalami krisis dana. Jangankan untuk kegiatan
konsolidasi, untuk pegawai administrasi saja kesulitan membayarnya. Saat itu
PKB mengalami pukulan politik besar karena Gus Dur sudah bukan presiden.
Donatur
mulai menjauh karena menghindari risiko politik kalau membantu PKB. Aktivitas
pengurus partai yang harus mengonsolidasi kembali organ-organnya ke
daerah-daerah dibiayai dari kocek masing-masing pengurus. Dalam keadaan seperti
itulah saya dan Alwi Shihab mengusulkan kepada Gus Dur agar gaji semua anggota DPR
dan DPRD yang dari PKB di seluruh Indonesia dipotong sebesar 25% untuk
keperluan partai. Kami berpendapat, tidak ada salahnya membuat kebijakan
seperti itu sebab mereka menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat karena PKB.
Tetapi,
pada waktu itu Gus Dur menolak usul itu. Kata Gus Dur, partai tak boleh
membebani anggota-anggota DPR dan DPRD dengan memotong gaji yang mereka peroleh
dari negara. Sebaliknya, partai harus mencarikan uang agar penghasilan mereka
bisa cukup dan tak perlu mencari-cari penghasilan lagi di luar penghasilan yang
sah. ”Kita harus carikan tambahan uang penghasilan yang sah bagi para anggota
DPR dan DPRD kita agar mereka bisa bekerja dengan baik, tidak menyalahgunakan
kedudukannya untuk mencari uang secara tidak sah,” ungkap Gus Dur.
Dari
sudut praksis politik apa yang disampaikan oleh Gus Dur saat itu terasa naif.
Masak, partai mencarikan uang untuk anggota-anggota DPR dan DPRD dengan alasan
agar mereka bisa bekerja dengan baik. Mestinya wajarlah kalau mereka justru
menyerahkan sebagian penghasilannya kepada parpol untuk menghidupi parpol yang
mengantarkan mereka menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat. Tetapi, jika
direnungi makna terdalamnya, apa yang dikatakan Gus Dur itu sangatlah tepat.
Anggota-anggota DPR dan DPRD harus bisa bekerja dengan baik, dengan penghasilan
yang cukup, agar dapat melaksanakan tugasnya memperjuangkan aspirasi rakyat.
Kalau
anggota DPR dan DPRD masih dibebani berbagai pungutan dari penghasilannya yang
sebenarnya pas-pasan, dapat dipastikan mereka tidak akan dapat bekerja dengan
baik. Itulah sebabnya Gus Dur bukan saja tak setuju ada pemotongan gaji anggota
DPR dan DPRD untuk operasional partai, melainkan juga menggagas pencarian dana
halal untuk diberikan sebagai tambahan bagi anggota-anggota DPR dan DPRD agar
bisa bekerja dengan baik. Gus Dur khawatir, kalau anggota DPR dan DPRD masih
dibebani menyumbang dana untuk partai, akan terjadi berbagai korupsi dan upaya
penggalian dana secara tidak sah untuk dan atas nama partai.
Melihat
kinerja DPR, DPRD, dan para anggotanya dalam beberapa tahun terakhir ini, saya
menjadi teringat akan pendapat Gus Dur itu. Apa yang dikhawatirkan Gus Dur
bahwa anggota-anggota lembaga perwakilan rakyat akan terjerumus ke dalam
korupsi kalau dibebani menyumbang apalagi mengumpulkan dana kini terjadi. DPR
dan DPRD kita dilanda penyakit korupsi dan kolusi. Bacalah kasus-kasus korupsi
yang melibatkan anggota DPR dan DPRD, hampir semua diduga kuat terkait
keperluan operasional partai yang berhimpit dengan pribadi pengurus partai.
Permisivitas
partai kepada para anggotanya di DPR dan DPRD untuk mencari dana yang bisa
dimanfaatkan untuk partai telah mengesankan bahwa menjadi anggota DPR itu boleh
(bahkan harus) korupsi guna menghidupi parpol. Ketika saya menjadi anggota DPR
pada 2004-2008, para kolega saya di DPR mengaku ditugasi mencari dana oleh
partainya melalui mitranya di lembaga eksekutif. Mencari dana untuk keperluan
partai itu kemudian bertemu dengan upaya menumpuk kekayaan pribadi melalui
berbagai korupsi dan kolusi dengan berbagai bungkusnya.
Menjadi
anggota DPR dan DPRD kemudian dianggap sebagai peluang untuk menumpuk kekayaan
sehingga menjadi anggota DPR dan DPRD harus diperjuangkan apa pun biayanya.
Pemilu seperti yang kita lihat dengan benderang pada 2014 berjalan dengan penuh
kecurangan. Jual beli suara antara caleg, saksi, dan petugas dari KPU terjadi.
Seorang caleg membantai caleg lain dengan menutup kemenangannya melalui uang.
Caranya antara lain menjual perolehan suara caleg yang nyata-nyata akan kalah
kepada yang bisa menang asal membeli sedikit suara, membeli kartu suara yang
tak terpakai karena pemilik aslinya tidak hadir atau karena memang sengaja
menjualnya.
Dari
pemilu yang seperti itulah kemudian lahir DPR dan DPRD korup yang mengumpulkan
uang secara menggila baik untuk mengembalikan modal yang dibelanjakan saat-saat
pemilu maupun untuk melaksanakan tugas untuk mencari dana operasional partai.
Inilah salah satu hal penting yang harus kita tata ke depan. []
KORAN
SINDO, 19 April 2014
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar