Defisit
Kepercayaan
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Kita
semua mudah membayangkan, bahkan mungkin pernah mengalami, betapa tidak
nyamannya ketika sebuah relasi sosial diterpa defisit kepercayaan. Energi batin
akan terkuras jika antara suami-istri sudah saling curiga.
Orang tua
dan anak tak lagi saling percaya. Begitu pun jika hal demikian terjadi
antarsesama teman atau antara atasan dan bawahan dalam sebuah perusahaan atau
perkantoran. Kehidupan akan terasa aman, nyaman, dan menjadi produktif jika
tercipta kultur saling percaya dan saling menghargai. Karena pada dasarnya kita
semua makhluk sosial. Tidak akan bisa memenuhi kebutuhan dasar tanpa bantuan
dan kerja sama dengan orang lain.
Meminjam
ungkapan Fukuyama, masyarakat yang mengalami defisit kepercayaan (low trust
society) akan menelan biaya ekonomi dan sosial amat tinggi sehingga pasti tidak
akan sanggup berkompetisi dalam panggung dunia. Ini semua kita alami dan
rasakan. Kita sulit percaya pada birokrasi dan pelayanan negara karena sering
kali dikecewakan. Sejak mengurus KTP sudah diminta uang.
Dalam
berbagai perizinan usaha banyak sekali pungutan ilegal sehingga menambah ongkos
produksi. Padahal tugas negara itu melayani, sedangkan mereka sudah digaji.
Tugas negara adalah memberikan kenyamanan kepada warganya. Sekarang ini banyak
orang tua waswas ketika melepas anaknya ke sekolah. Padahal sudah ada penjaga
keamanan di jalan maupun di sekolah. Bahkan sekolah mahal yang bertaraf
internasional, Jakarta International School (JIS), tidak juga bisa dipercaya
untuk menjaga keamanan anak-anak didiknya.
Guru pun
tidak dipercaya menyelenggarakan ujian nasional sehingga dikerahkan polisi
untuk mengawasi. Yang ironis adalah jika rakyat tidak lagi percaya kepada
wakilnya yang duduk di lembaga DPR. Ini semua indikator nyata betapa kita
dilanda krisis kepercayaan baik vertikal maupun horizontal. Sekarang ini yang
juga menyedihkan adalah instrumen negara yang bertanggung jawab bagi
keberhasilan pileg dan pilpres ternyata di berbagai daerah sulit dipercaya
kinerjanya.
Rakyat
kecewa pada kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak amanah menjaga dan
meneruskan data dan fakta otentik suara pemilih.Beberapa caleg marah karena
hasil suaranya hilang berpindah ke caleg lain. Caleg yang tidak memiliki saksi
suaranya tidak dijamin keselamatannya. Sementara saksi akan mempertimbangkan
besar-kecilnya bayaran. Orang lebih percaya pada uang ketimbang kepada orang.
Zona yang
paling dan harus mendatangkan rasa nyaman, aman dan saling percaya tentu saja
keluarga. Tapi apa jadinya kalau lingkungan keluarga pun mengalami defisit
kepercayaan? Pemerintah ke depan mesti bekerja keras membangun kepercayaan
publik kepada negaranya. Oleh karenanya kabinet mendatang mesti diisi
orang-orang yang pantas dipercaya baik karena integritasnya maupun kompetensi
bidang keahliannya.
Tidak
hanya kabinet, sesungguhnya semua pimpinan daerah juga mesti memiliki komitmen
yang sama, bagaimana membangun pemerintahan yang bisa dipercaya dan jadi solusi
bagi rakyat, bukannya malah menciptakan masalah dan menambah beban rakyat.
Sebagai orang awam dalam bidang ekonomi, saya sulit menjelaskan mengapa negara
kita terbelit utang. Padahal sumber alam melimpah.
Banyak
orang pintar dan perguruan tinggi berdiri di mana-mana. Tapi mengapa kita sulit
melakukan pembangunan sejak dari infrastruktur, pusat-pusat industri dan ruang
publik yang indah dan nyaman dihuni? Para politikus sibuk memenangi pileg dan
bersiap memenangi pilpres, tapi seberapa peduli dan serius memenangi hati
rakyat untuk menciptakan trust society, masyarakat yang bisa hidup bersama
dengan sikap saling menghargai dan memercayai?
Di antara
solusi yang mesti ditegakkan adalah adanya kepastian hukum, birokrasi yang
melayani dan tidak korup, keteladanan dari para pemimpin untuk hidup sederhana,
dan keberpihakan yang jelas kepada rakyat menengah ke bawah. []
KORAN
SINDO, 02 Mei 2014
Komaruddin Hidayat ; Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar