Politik
dengan Segala Cara
Oleh:
Mohamad Sobary
Politik
tak pernah punya perasaan. Ketika dia harus berjalan, dia berjalan. Ketika dia
harus mendekati tujuan, dia mendekatinya. Mungkin merunduk-runduk dalam
kegelapan. Mungkin dengan memasang jebakan-jebakan untuk mempersulit lawan yang
menghalanginya.
Kalau
perlu, dia menciptakan kegelapan demi kegelapan agar segenap langkahnya tak
dibaca musuh agar keculasannya tak tampak sebagai keculasan. Tak jarang, orang
lain yang dipojokkan ke dalam suatu situasi tanpa pilihan agar dia yang
dianggap culas. Bisa juga musuh ditunggu di suatu tikungan tak terduga, untuk
dikecoh, dicelakai, atau dibikin kalang kabut, agar dia sendiri bisa melenggang
dengan mudah mendekati tujuan pokoknya. Demi kelancaran langkahnya mendekati
tujuan, semua ranjau dan penghalang yang dipasang musuh, disapu bersih lebih
dahulu.
Perhitungan
politik harus jeli. Taktik harus jitu. Strategi harus matang
sematang-matangnya. Semua harus tertutup ”kabut” tipu daya dan segenap samaran.
Orang boleh menganggapnya bodoh. Lawan boleh mengira dia ceroboh, tidak cermat,
tidak hati-hati. Dugaan seperti itu menjadi tanda bahwa akal dan kemampuannya
menjebak lawan sungguh jitu. Jika politisi dikenal pula sebagai ahli strategi,
mungkin seperti Pak Harto, niscaya semua langkahnya berjalan mulus, tanpa hambatan,
tanpa penghalang. Langkah-langkah politiknya berjalan efisien.
Dalam
politik yang efisien itu politik tak pernah terjadi hiruk-pikuk yang memang tak
perlu, tapi tujuan bisa ”dipetik”, semudah kita memetik tomat, atau mangga
dalam jangkauan tangan kita sendiri. Ahli strategi memang dengan jeli
menerapkan strategi dan banyak taktik tak terlihat untuk membuat tujuan
politiknya begitu mudah dicapai. Kalau perlu, dengan ”tenaga” dan ”biaya”
lawanlawan politiknya. Dalam politik, tujuan akhir dianggap segalanya. Proses,
sesekali, juga dianggap penting.
Tapi, apa
gunanya proses kalau tujuan tak tercapai? Politisi di negeri-negeri demokratis
pun kalau perlu harus mencederai proses demokratis demi mencapai tujuan.
Dianggap tidak konsisten dengan prinsip demokrasi tak penting. Dituduh munafik,
karena memang munafik, tak menjadi soal. Negara-negara besar, yang ”menjual”
demokrasinya kepada kita, banyak memberi contoh kemunafikan politik dengan
segenap politik luar negerinya yang mengatakan apa yang disebut tujuan akhir
tadi. Mereka menganggap suci tujuan akhir dan tak jarang menampilkan
kemunafikan yang memalukan.
Malu itu
urusan perasaan. Perasaan tidak penting. Malu tak malu tak pernah
diperhitungkan. Akal, taktik, strategi, dan semua cara— termasuk yang licik dan
culas— diutamakan. Politik tak pernah punya perasaan. Politisi tak usah diimbau
untuk bertindak dengan kebaikan hati dan menurut prinsip-prinsip etis di dalam
hidup. Nilai-nilai, yang bicara perkara baikburuk, mulia-hina, tak penting sama
sekali. Serahkan urusan itu kepada para filsuf, bukan pada para politisi.
Politik itu robot atau makhluk setengah robot. Robot hanya mesin. Politik pun
bergerak seperti mesin, yang berarti benda mati, meskipun bisa bersuara. Benda
tak mengandung perasaan.
Di
dalamnya tak terdapat rasa susah, atau senang, sedih, atau gembira. Dengan
sendirinya, di dalam politik kita tak boleh bicara perasaan, karena yang
disebut perasaan itu tidak ada. Politisi sejati tak boleh dan tak pernah marah
karena langkahnya mentok di jalan yang langsung berhadapan dengan strategi
musuh. Sebaliknya, dia mengakui kehebatan musuhnya dan menyadari
kekurangan-kekurangannya sendiri. Politisi juga tak boleh menaruh dendam kepada
lawanlawannya, termasuk apabila mereka memasang jerat untuk mencelakai, atau
bahkan membunuhnya.
Politisi
jagoan tulen bisa dengan mudah dan dingin mengatakan—tanpa mengutuk tanpa
menyesali—bahwa usaha membunuhnya merupakan strategi politik paling logis yang
mereka punyai. Politik itu akal dan bukan perasaan. Unsur-unsur perasaan,
panggilan hati, kasih sayang, dan segenap kemurahan, biasanya omong kosong.
Dalam politik yang tak punya perasaan, politisi dengan sendirinya juga hanya
robot, hanya mesin, hanya benda bergerak yang hendak memenuhi keserakahannya
sendiri.
”Kalau
politisi, yang dulunya galak melampaui serigala, demi membela kekuasaan, dan
kita punya catatan betapa ganasnya dia dulu kepada rakyat, tiba-tiba bicara
‘jangan lukai hati rakyat’, haruskah kita percaya pada pemihakannya, yang
dimaksudkan untuk mengesankan bahwa dirinya penuh kasih sayang dan menjadi
pelindung rakyat?” ”Tidak. Lebih-lebih bila dia juga tergolong politisi yang
tak punya hati. Keganasan tak mungkin berubah secara mendasar dalam waktu
pendek.
Peta
kehidupan jiwanya menggambarkan kepada kita, mustahillah perubahan sikap dan
cara hidup itu terjadi secara dadakan karena dia ingin berkuasa lagi. Hasratnya
untuk berkuasa kembali berbohong kepadanya, dan berbohong juga kepada kita.
Pernyataan itu bukan wujud komitmen kerakyatannya, tapi gambaran kehendaknya
untuk berkuasa. Pernyataannya hanya alat yang diharapkan mendukung cita-cita
politiknya. Dengan kata lain, ini hanya omong kosong tanpa makna.
Politik
yang tak punya perasaan itu dalam dua minggu terakhir ini kita lihat dengan
jelas telah dipamerkan oleh para politisi kita selama masa kampanye, disusul
lagi sesudah suara perolehan dalam pemilihan legislatif dihitung. Ada yang
kaget. Ada yang kecewa. Ada yang bersungut-sungut. Ada pula yang marah besar
karena harapannya tak terpenuhi. Serangan pada pihak lain, yang lebih baik
citranya di mata publik, dilancarkan dengan gencar, segencar-gencarnya melalui
berbagai jenis media. Makin hari serangan itu bukan makin surut, melainkan
makin gencar.
Di media,
yang menjadi ”tontotan” mengasyikkan, hanya pertarungan politik tanpa ujung
pangkal itu. Musuh politik dipojokkan untuk memperoleh efek komunikasi politik
bahwa kita lebih baik dari semua musuh kita. Apakah langkah ini memetik hasil
sebagaimana diharapkan? Mungkin tidak. Ingin tampil baik, dengan menjelekkan
pihak lain bisa menjadi strategi yang fatal. Musuh yang dipojokkan tidak
terpojok, kita yang menelan kepahitan. Politisi kita, yang tak punya hati tadi,
tak menyadari bahwa taktiknya itu bisa berubah menjadi senjata makan tuan.
Politik
memang bisa ditempuh dengan banyak cara: membukaaib, mengungkit kelemahan, dan
membeberkan segenap kesalahannya. Lawan ditelanjangi di depan publik, seperti
ketika Drupadi ditelanjangi di depan orang banyak di balairung negeri
Astinapura. Politisi biasa, mungkin politisi kelas ”ecek-ecek”, merasa puas
dengan langkahnya. Melihat lawannya tak berdaya dia merasa hebat karena
kepuasan yang dikejar. Dia tak menyadari bahwa tindakannya bisa mengundang
dendam kesumat pada masa depan. Jika lawannya juga tergolong masih kelas
”ecek-ecek”, suatu hari dia bakal digasak habis oleh api dendam.
Boleh
jadi yang melakukan balas dendam itu pihak lain yang tak diduga sama sekali.
Politik bisa ditempuh dengan banyak cara: mengungkit-ungkit kelemahan lawan,
membeberkan kesalahannya, dan bahkan dengan fitnah-fitnah keji. Tak jarang,
politik ditempuh dengan segala cara. Kita lupa publik menilai kita. Kita lupa,
mayoritas yang diam sebenarnya tidak diam. Kita lupa, politik dengan segala
cara itu vandalis dan kejam: fitnah balas fitnah, bunuh balas bunuh, ada di
dalamnya. Kita juga lupa, politik dengan segala cara membunuh diri sendiri. []
KORAN
SINDO, 21 April 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk
Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar