Antre
Melamar
Oleh:
Mohamad Sobary
Inilah
realitas politik. Partai-partai menampilkan para tokohnya. Bagi yang tak punya
tokoh internal, mereka tampilkan orang lain. Mungkin terutama asal membayar.
Pantas tak pantas yang membayar dijagokan.
Dielus-elus
untuk diturunkan ke gelanggang. Dan pada masa kampanye, mereka saling melirik,
saling mencari kelemahan lawan. Kira-kira persis jago di dalam suatu
”kalangan”, yang sedang diadu oleh para botohnya. Dalam kalangan adu jago itu,
yang bertarung, menurut Clifford Geertz, ketika mengamati adu jago di Bali,
bukan hanya kedua ayam jantan yang diadu, melainkan para botoh, yaitu para
pemilik jago tersebut.
Dari luar
kalangan, para botoh berdebar-debar, adu kekuatan jantung. Ketika jagonya
dipatuk musuh, sang botoh yang merasakan pedihnya paruh jago lawan. Ketika
kepalanya dicakar dengan kuku-kuku tajam jago musuhnya, sang botoh lebih
merasakan sakitnya. Dalam kecemasan, dan sambil mengurangi kecemasan itu, dia
bersorak-sorak menggalakkan perlawanan jagonya. Sebenarnya dia bersorak-sorak
untuk mengurangi kecemasannya sendiri.
Dalam
kampanye menjelang pemilihan legislatif yang baru lalu itu, barang siapa
berteriakteriak terlalu keras, terlalu bersemangat, boleh jadi dia berteriak
untuk menutup kecemasannya sendiri. Ketika dia menjadi jago lain, boleh jadi
dia sedang menutupi kekerdilannya sendiri. Banyak pihak bersikap seperti itu.
Berarti masing-masing pihak tadi kurang lebih sedang tak mampu berbuat lain
untuk menunjukkan kelebihan dirinya.
Untuk
memperoleh efek komunikasi bahwa dirinya lebih, baginya tak ada jalan lain
kecuali menjelek-jelekkan jago lain. Apakah jago yang dijelek-jelekkan otomatis
jelek, dan tak dipilih rakyat? Tidak. Yang dijelek-jelekkan tidak otomatis
jelek. Kenyataan politik menunjukkan yang dijelek-jelekkan itu malah dipilih
oleh lebih banyak pemilih. Dan ini menjengkelkan orang-orang yang itu.
Sudah
dijelek-jelekkan dia tidak jelek. Seharusnya, sejak awal orangsudah tahu, untuk
mengangkat nama baik dirinya, dan untuk membikin pengaruh positif di mata para
pemilih, mereka melakukan apa yang simpati, apa yang santun, apa yang baik,
yang dimiliki partainya, dan sekaligus jagonya. Mengatakan yang baik tidak
boleh bohong. Katakan saja pengalaman, dan jasa di masa lalu, yang faktual,
yang cocok dengan kebutuhan rakyat, dan jika tak memiliki apa yang baik, kata
apa adanya.
Politik
boleh bertolak dengan apa adanya. Pelan. Sabar. Tabah menanti gejala perubahan
politik yang menguntungkannya. Baru kemudian menentukan taktik dan strategi
yang bersifat apa adanya tadi. Dan tidak bohong. Partai-partai kita rata-rata
tak memiliki strategi politik seperti ini. Tak ada partai yang dengan sabar,
dan taktis, memulai dari bawah, dengan modal apa adanya, tapi punya militansi
dan sikap politik yang menggambarkan sikap dan wawasan orang besar.
Tapi
kenyataannya kita semua orang kecil, kerdil-kerdil, berpikir teknis, jangka
pendek dan jarang yang memperlihatkan diri sebagai politisi besar, yang punya
visi kenegaraan dan misi politik yang cukup menggetarkan. Untuk kelihatan
besar, kita mengecilkan partai atau tokoh partai lain. Untuk mengesankan hebat,
kita menjelekkan orang lain. Dan untuk mengesankan bahwa kita jujur, kita
bongkar aib orang lain.
Semua
lupa, tiap pihak punya aib. Tiap pihak punya titik lebih. Semua juga lupa
bahkan tiap pihak punya titik lemah yang sangat fatal. Bagaimana kalau aib itu
dibuka sampai tandas, setandastandasnya, sehingga dia tampak seperti telanjang
bulat, tanpa tabir, tanpa selembar kain penutup? Orang lupa, tindakan politik
harus berhenti di batas wilayah politik. Ketika batas politik mentok tapi
mereka menabraknya, yang ditabrak itu wilayah kriminal.
Politisi
Orde Baru, pemain Orde Baru dulu melakukan itu untuk memenangkan partainya. Di
zaman itu, batas politik dan kriminal tidak ada. Dan dibuat tidak ada. Partai
penguasa sungguh berkuasa. Gaya berpolitik seperti itu masih ditampilkan oleh
sebagian politisi kita, dan partai politik kita sekarang. Mungkin boleh saja
tetap seperti itu. Tapi tak lama masa hidupnya karena, partai macam itu akan
ketinggalan zaman.
Dan
ditinggalkan para pemilihnya, dalam kesepian di tengah hiruk-pikuk kehidupan
politik kita yang kurang besar manfaatnya itu. Yang hidup hanya yang agak baik,
yang berusaha mencari makna demi makna untuk membikin politik kita menjadi
lebih relevan dengan kehidupan masyarakat.
Kontes
politik, yang terjadi selama masa kampanye, disusul debat demi debat
sesudahnya, memperlihatkan gejala itu. Kita disuguhi, dari tahun ke tahun,
berita-berita membosankan. Pertarungan politik kita bukan pertarungan ide,
gagasan dan visi kenegaraan. Kita hanya saling mencakar, seperti jago-jago yang
diadu di dalam suatu kalangan. Kebosanan politik itu tak pernah berganti.
Dari
tahun ke tahun, dari pemilu ke pemilu, orang partai mendominasi kehidupan,
dengan dominasi kedunguan yang membuat kita ikut dungu. Kapan dominasi
kecerdasan, yang memberi pendidikan politik yang sehat, ganti mendominasi?
Seluruh perhatian tercurah pada urusan teknis, yang bagi orang nonpartai
menyebalkan: membentuk poros-poros aliansi. Seperti anak-anak kecil, para
politisi itu mudah sekali melupakan permusuhan.
Kemarin
musuh, hari ini menjadi kawan. Atau berusaha mati-matian, sekuat tenaga, untuk
menjadi kawan. Jika poros aliansi terbentuk, dan kelak salah satu poros itu
keluar sebagai pemenang, tahukah apa yang bakal segera terjadi sesudahnya?
Untuk waktu pendek, mereka akan berbulan madu. Mereka akan berkata, kekuatan
berbagai partai yang beraliansi itulah kawan sejati. Mereka sejatinya kawan
yang tak ada tolok bandingannya. Kemudian terjadi gesekan kepentingan.
Kalau kepentinganlah
urusannya, tak ada barang yang bisa disebut kecil. Lalu muncul caci maki lagi.
Lalu bertengkar lagi. Dan masing-masing akan melirik, seperti dua ekor jago di
dalam suatu ”kalangan” sabung ayam. Patok mematok. Cakar mencakar. Para botoh
akan pening. Mereka tak bisa lagi berbuat serileks- rileksnya. Tindakan harus
diambil. Pecah kongsi tak menjadi masalah kalau itu memang yang harus terjadi.
Dan rakyat dipertaruhkan.
Permusuhan
antarpartai terjadi lagi, dengan biaya yang ditanggung rakyat. Betapa berat
nasib rakyat. Tapi biarlah untuk sementara itu kita lupakan, karena poros-poros
mengerikan itu belum terbentuk. []
KORAN
SINDO, 30 April 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota
Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan
Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar