Bersikap
Adil terhadap Jokowi
Oleh: Mohamad Sobary
Kalau direnungkan
secara jernih, dengan sikap egaliter dalam memandang orang lain, bagaimana bisa
seorang warga negara biasa, yang sama dengan kita, tiba-tiba disalahkan secara
ramai-ramai dan diminta bertanggung jawab atas suatu perkara yang bukan kesalahannya?
Jokowi itu warga
negara merdeka dan boleh tidak berpikir mengenai apa yang berada di luar domain
politik yang ruwet ini. Dilihat dari sikap, pemikiran, gaya hidup, dan
ungkapan-ungkapan kebahasaannya, kita tahu ia hidup tanpa pretense yang
bukan-bukan.
Pernahkah ia
(seharusnya “beliau”) menginginkan kita menjadikannya political hero di tengah
suasana politik yang sumpek, macet-cet, bau busuk korupsi besar-besaran, tanpa
kesegaran, dan tanpa jalan keluar ini?
Tidak. Ia tak pernah
berambisi menjadi apa yang bukan dirinya. Ia belum cukup pengalaman untuk
berlagak sok pemimpin. Keluguannya otentik dan tulus. Keluguan macam itu
mahalnya minta ampun. Ini sikap, gaya hidup, dan karakter yang tak terbeli dan
memang tak dijual.
Pernahkah Jokowi
membujuk-bujuk orang banyak agar mereka begitu antusias menyayanginya, sampai
pada tingkat histeris seperti yang terjadi belakangan ini?
Tidak. Ia tak pernah
berbuat senista itu. Hal-hal seperti itu hanya bisa dilakukan para tokoh
politik yang tua-tua, yang kenyang kemegahan masa lalu dan masih ingin
menikmatinya terus menerus.
Apakah semua fenomena
yang terjadi di media, yang begitu hiruk pikuk itu, “buatan” Jokowi?
Bukan. Histeria massa
yang terjadi di lapis bawah dalam masyarakat kita itu, niscaya tak akan sampai
seluas itu kalau orang-orang media tidak ikut “histeris” dan haus akan pahlawan
pujaan. Kekuatan besar yang membuat ini semua adalah media.
Apakah Jokowi pernah
berharap agar dia diperlakukan seperti orang suci dalam politik? Atau sejenis
“pahlawan” yang baru tampil?
Tidak. Jokowi itu
sebuah kitab terbuka. Kita bisa membaca apa yang tertulis di luar,
kata-katanya, tindakannya, bahasa tubuhnya, senyumnya, niscaya sama dengan apa
yang tertulis di dalam, yang berhubungan dengan isi hatinya, cita-citanya, dan
aspirasinya. Ia tak menyembunyikan suatu keculasan, atau kelicikan.
Bagaimana ia bisa
melejit seperti roket dalam waktu pendek dan begitu berwibawa di mata para
pengagumnya, sehingga semua kritik kepadanya dilawan habis oleh
pengagum-pengagum fanatik itu?
Patut dicatat, ini
bukan salah Jokowi. Bukan pula manipulasi politik untuk membius para pengagum.
Fanatisme yang begitu
meluas, hampir secara dadakan ini, bisa ditelusuri latar belakang psikologi
politiknya. Kita tahu, semua politikus di Jakarta, yang mapan-mapan tadi,
tampil dengan gaya kelas atas yang tak nyambung dengan gaya rakyat pada
umumnya. Jokowi kebalikannya; ia mewakili tampang rakyat jelata dan dengan
sendirinya dipuja-puja. Itu matematika politik biasa.
Puja-memuja ini salah
atau benar, itu soal lain. Itu isu politik lain. Namun, mengenai gaya konvensional,
sok kelas atas, ke mana-mana berseragam tapi kadang berlagak populis, ini
parah. Kecuali gaya itu memuakkan rakyat pada umumnya, sikap populis tadi tidak
matching sama sekali dengan penampilan mereka. Ini kemunafikan politik.
Tidak Adil
Kita tahu,
kemunafikan umum sudah tak bisa disembunyikan lagi. Rakyat tahu itu semua.
Tokoh-tokoh bicara pemberantasan korupsi, antikorupsi. Namun, pada saat yang
sama mereka korup luar biasa. Orang merasa menemukan obat yang baik. Obat itu
Jokowi.
Pilihan baru dan
alternatif yang dianggap baik itu ternyata tidak mampu mengangkat perolehan
suara PDIP dalam pileg lalu. Semua orang, ahli-ahli politik dan para politikus,
ramai-ramai menyalahkan Jokowi. Begitu juga media. Mereka semua sama
emosionalnya dengan rakyat yang menjagokan Jokowi.
Jokowi yang “turba”
ke mana-mana, dadakan, mengejutkan, dan berkomunikasi dengan rakyat dalam
bahasa rakyat, beberapa waktu lalu “dipuja-puja”, dianggap hebat, dan otentik.
Ketika terbukti tak berpengaruh terhadap perolehan suara PDIP, ada pengamat
yang menyalahkannya. Katanya tak sama dengan Bung karno.
Ini sikap tidak
konsisten. Dulu, ia diam saja dan mungkin ikut “memuja” Jokowi. Sekarang
menyalahkan pengaruhnya yang tak terasa bagi PDIP, lalu membandingkannya dengan
Bung Karno. Ini tidak adil. Bung Karno tak usah dibawa-bawa. Semua orang tak
akan pernah sebanding dengan beliau.
Mbak Mega
menjagokannya, tidak salah. Pertama, ada gelombang besar dalam PDIP, yang
bergabung secara nasional, membangun suatu aliansi pendukung Jokowi. Kalau
aspirasi anak-anaknya sudah begitu, apa salah kalau Mbak Mega mengabulkannya?
Munculnya Jokowi
diduga sebagai jalan keluar politik yang baik. Semua, dalam lingkungan PDIP,
kurang lebih berharap sama. Orang luar yang tak tahu-menahu urusan internal
partai itu menyuruh pencalonan Jokowi ditinjau kembali. Ada penyesalan atas
pencalonan itu.
Ini kewenangan
internal PDIP. Keputusan sudah diambil dan pasti dengan segenap pertimbangan.
Mau ditinjau ulang atau tidak, pencalonan itu terserah Mbak Mega dan mekanisme
internal partai.
Saya tak mengenal
Jokowi secara pribadi. Bertemu pun belum pernah. Tapi saya tak bisa diam
melihat sikap orang banyak yang menyalahkan Jokowi. Ini tidak adil dan tidak
bijaksana. “Ring tinju” politik untuk Jokowi belum dibuat. Evaluasi
fatal-fatalan seperti itu belum saatnya dikemukakan. Kita perlu bersikap adil
terhadap Jokowi. []
SINAR HARAPAN, 23
April 2014
Mohamad Sobary ; Budayawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar