Sayang
Ibu demi Gerakan Satu Juta Sambungan
Senin, 31 Maret 2014
Inilah kampanye yang bukan untuk
pemilu. Inilah kampanye untuk menyiapkan Indonesia masa depan: gerakan sayang
ibu. Targetnya memenangkan hati ibu-ibu untuk mau menerima aliran gas alam ke
dapur-dapur di rumah mereka. Melalui pipa. Bukan melalui tabung.
Juru
kampanye yang satu ini bukan tokoh-tokoh nasional, melainkan ibu-ibu dari
sebuah RT di Jakarta Timur. Yakni RT 09 RW 12 Kelurahan Malaka Jaya, Kecamatan
Duren Sawit.
Hari itu,
Rabu lalu, di RT tersebut dideklarasikan dua gerakan. Yang pertama “gerakan
sayang ibu” tadi. Yang kedua “gerakan satu juta sambungan”. Yang
mendeklarasikan adalah Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara/PGN (Persero)
Tbk Hendi Prio Santoso.
Dalam
waktu dua tahun ini, kata Hendi, PGN akan menyambungkan satu juta sambungan
baru langsung ke dapur-dapur rumah penduduk. Ini tentu sebuah ambisi yang besar
dari PGN. Tapi bukan tidak realistis. Apalagi, program ini memang sangat
strategis. Yang terabaikan oleh PGN sepanjang sejarah hidupnya sejak zaman
Belanda.
Selama
ini PGN memang menjadi perusahaan besar dengan laba yang besar, namun perannya
di masyarakat belum dirasakan langsung secara luas. PGN masih dikenal sebagai
BUMN yang terlalu asyik sebagai pedagang gas. Belum sebagai pelayan masyarakat
secara masif. Bayangkan, dalam umurnya yang sudah begitu tua, PGN baru memiliki
sekitar 100.000 sambungan. Bandingkan dengan PLN yang sudah memiliki lebih dari
50 juta sambungan.
Kini PGN
punya tekad yang bukan main-main. Tekad pengabdian yang sangat besar. Tiba-tiba
dalam dua tahun ke depan PGN akan langsung melakukan satu juta sambungan. Saya
yakin Hendi mampu mewujudkannya.
Saya
memang memiliki permintaan khusus kepada direksi PGN. Yakni agar pemakaian gas
alam produksi Indonesia bisa dialirkan ke sebanyak mungkin masyarakat. Seperti
di banyak negara maju. Sebenarnya memang agak aneh kalau rumah-rumah mewah pun
masih menggunakan gas elpiji. Dengan segala keruwetan distribusinya.
Program
memasyarakatkan elpiji sendiri saya akui sangat sukses. Berhasil membuat penduduk
yang dulunya menggunakan minyak tanah, yang sangat mahal itu, beralih ke
elpiji. Masyarakat bisa berhemat, negara juga diuntungkan. Subsidi minyak tanah
berkurang. Tapi, keberhasilan program elpiji itu tidak boleh meninabobokan
kita. Harus ada gerakan berikutnya: beralih ke gas alam.
Gas alam
adalah produk dalam negeri. Seharusnya lebih banyak digunakan untuk bangsa
sendiri. Aneh kalau kita ekspor gas alam, tapi impor elpiji dan BBM. Ke depan
gas alam haruslah sebanyak mungkin diprogramkan untuk menggantikan BBM dan
elpiji.
Kita
mestinya menangis meraung-raung memikirkan besarnya impor BBM. Kini dan
lebih-lebih masa depan. Produksi minyak mentah kita turun terus. Cadangan
minyak mentah kita memang tidak besar lagi. Berarti impor BBM kita akan terus
membengkak.
Sementara
itu, produksi gas kita terus meningkat. Cadangan gas kita juga masih besar.
Jelaslah akal sehat harus mengatakan: mari kita beralih ke bahan bakar yang
berbasis gas alam. Ibu-ibu Duren Sawit sudah merasakan sendiri “alangkah
serbalebihnya” gas alam dibanding elpiji.
“Harganya
lebih murah. Kami bisa lebih hemat 30 persen,” ujar Bu Santina, bu RT di Malaka
Jaya, hari itu. “Kami juga tidak pernah khawatir kehabisan gas,” tambahnya.
Berdasar
pengalaman itulah, PGN akan melancarkan kampanye khusus. Temanya pun akan lebih
fokus ke ibu-ibu. PGN sudah menemukan kata kuncinya: “kampanye sayang ibu”.
Dengan tema itu, ibu-ibu akan bergegas merayu suami mereka untuk minta beralih
ke gas alam. Rasanya, dengan rayuan ibu-ibu itu, kalau suami mereka benar-benar
menyayangi sang istri, peralihan tersebut akan lancar.
Memang
tidak mudah menyukseskan gerakan satu juta sambungan ini. Membangun jaringan
gas alam lebih sulit daripada membangun jaringan listrik. Pipa gas itu harus
ditanam di dalam tanah. Izin menanam pipa gas tidak sederhana. Tapi, sekali
infrastruktur gas alam ini terbangun, banyaklah masalah yang bisa diatasi.
Termasuk masalah padatnya lalu lintas distribusi gas elpiji.
Gema
kampanye ini segera meluas. Ibu-ibu wilayah Halim sudah menghendaki
penyambungan gas alam. Ada 6.000 rumah yang merasa siap disambungkan. Silakan
PGN melayani mereka. Kalau perlu mencarikan pinjaman bank untuk biaya
penyambungan pertama.
Setiap
rumah memang perlu mengeluarkan uang untuk membangun pipa sekitar Rp 5 juta.
Tapi, nilai itu akan lunas dalam tiga tahun dari selisih harga elpiji dan biaya
langganan bulanan gas alam. Pasti banyak bank yang mau menyalurkan dananya ke
sektor ini.
Saya akan
memberikan dukungan maksimal kepada program strategis PGN ini. Termasuk
menerobos berbagai hambatannya. Misalnya di Semarang dan beberapa kota
sekitarnya. PGN akan membangun jaringan pipa distribusi gas alam ke rumah-rumah
penduduk. Tapi, izinnya ada di tangan PT Rekayasa Industri (Rekind). Waktu
tender dulu PGN kalah. Rekind nomor 1, PGN nomor 2.
Tapi,
Rekind tidak kunjung membangun jaringan itu. Padahal, sudah lima tahun izin ada
di kantongnya. Maka, Rekind akan saya minta mundur. Kebetulan perusahaan itu
adalah anak perusahaan BUMN. Saya sudah hubungi direksi holding-nya. Sudah
disanggupi. Rekind saya minta fokus pada bisnis utamanya: engineering.
Rekind
harus menjadi perusahaan engineering kebanggaan bangsa. Sejak krisis ekonomi
tahun 1998, tinggal Rekind-lah perusahaan engineering kelas dunia yang masih
dimiliki bangsa ini. Dua perusahaan lainnya sudah jatuh ke tangan asing. Untuk
tender-tender internasional EPC dan engineering, praktis Indonesia hanya
diwakili Rekind. Karena itu tidak boleh lengah. Proyek-proyeknya harus selesai
tepat waktu.
BUMN
sendiri sering melakukan tender internasional. Seperti Pertamina untuk
proyek-proyek besarnya. Juga PLN, Pelindo, Angkasa Pura, dan yang lainnya.
Kalau reputasi Rekind di kelas internasional merosot, proyek-proyek itu akan
jatuh ke perusahaan luar negeri.
Maka,
saya minta Rekind mundur dari bisnis distribusi gas alam. Dengan demikian,
jaringan distribusi gas alam di Semarang itu otomatis akan digantikan PGN, yang
sudah lebih siap membangunnya. Rekind kalau perlu mengakuisisi perusahaan
sejenis di Eropa. Sebagai “kuda sembrani” untuk memenangi tender-tender
internasional di Indonesia.
Gas alam
adalah masa depan energi kendaraan dan rumah tangga kita. Langkah mewujudkannya
memerlukan kerja cepat. Das des… Set set wuet! (*)
Dahlan
Iskan, Menteri BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar