Pondok Pesantren Dar al-Tauhid, Arjawinangun,
Cirebon – Jawa Barat
Pendidikan tingkat tinggi dalam tradisi
pendidikan pondok pesantren di kenal dengan setelah Ma’had ’Aly. Pendidikan
bagi para santri menjadi jenjang akhir yang yang paling penting setelah mereka
menyelesaikan jenjang pendidikan dasar (Al-Mustawa Al-Ibtida’i) menengah
pertama (Al-Mustawa Al-Tsanawi) dan menengah atas (Al-Mustawa Al-A’ali).
Sebagai sebuah lembaga pendidikan, Ma’had ’Aly memiliki keterkaitan dengan
segala sistem yang berlaku di pondok pesantren, baik manajemen maupun akademik.
Karena itu, latar belakang pondok pesantren Dar Al-Tauhid menjadi perlu
digambarkan sebelum membuat potret Ma’had ‘Aly yang ada di dalamnya
Pesantren Dar Al-Ttauhid
Pesantren ini didirikan oleh K.H. Sanawi bin
Abdullah bin Muhammad Salabi, ayah KH.Syathori. Tahun didirikannya tidak
diketahui secara persis, tapi kemungkinan pada awal dekade abad XX, karena
kepulangan K.H. A. Syathori dari pengembaraan pencarian ilmu pengetahuan
tercatat pada tahun 1932. ketika itu, aktivitas pesantren sudah diawali oleh
sang ayah beberapa tahun sebelumnya.
Eksistensi dan aktivitas pesantren terlihat
lebih jelas ketika di pegang oleh KH. A. Syathori yang kemudian mencapai puncak
kemajuannya pada tahun 1953-1970. beberapa pengembangan dan pembaharuan, baik
fisik maupun akademik pesantren dilakukan oleh beliau. Pertama kali didirikan
madrasah wathoniah, yang bisa berarti sekolah nasional atau sekolah lokal.
Disebut demikian, diantaranya karena pembantu pengajar pada saat itu adalah
sepenuhnya dari daerah lokal (Abna Al-Wathon) sekitar pesantren, atau untuk
mengenang perjuangan kebangsaan (Wathoniyyah) yang dikobarkan oleh KH. Hasyim
Asy’ari bersama ulama-ulama lain, termasuk KH. A. Syathori.
Di tangan KH. A. Syathori, bangunan fisik
pesantren mengalami berbagai renovasi. Yang semula hanya satu dua kompleks,
kemudian menjadi delapan kompleks. Penamaan kompleks juga menarik, dengan
menggunakan abjad latin; A,B,C,D,E,F,G dan H. tidak menggunakan nama atau abjad
arab. Mushalla juga dipindah ke tempat lain dengan bangunan yang lebih luas.
Sedangkan musholla pertama dijadikan kompleks asrama dengan nama kompleks H.
Dalam hal akademi pesantren, latar belakang
KH. A. Syathori cukup beragam. Beliau belajar di pesantren Kuningan pada KH.
Shobari, Pesantren Babakan Ciwaringin pada Kyai Isma’il Bin Adzra’i Bin Nawawi
dan Kyai Dawud, Pesantren Asmoro Majalegka pada KH. Abdul Halim, pesantren
Jasmaran Solo pada Kyai Idris dan terakhir di Pesantren Tebuireng Jombang
dengan KH. Hasyim Asy’ari. Keragaman ini menjadi dasar untuk melakukan
perbaikan dan pengembangan sistem pendidikan pesantren yang menjadi amanah
beliau. Untuk sistem pendidikan pesantren, beliau menggunakan metode yang sudah
populer di kalangan pesantren, yakni di kenal dengan Bandongan dan Sorogan.
Disamping itu, beliau juga mengenalkan sistem madrasah (klasikal), proses
pendidikan pesantren dilakukan dengan penjenjangan pembelajaran dengan menggunakan
sebutan Sifir Awal (Nol Pertama), Sifir Tsani (Nol Kedua), Sifir Tsalits (Nol
Ketiga). Setiap Sifir memiliki tiga jenjanang A, B.dan C. sehingga semuanya
berjumlah sembilan jenjang. Sebutan ini, pada perkembangan selanjutnya dikenal
dengan istilah Ibtidayyah (Enam tahun) dan Tsanawiyyah ( Tiga tahun ).
Ada hal yang menarik untuk di catat, bahwa
pada saat KH. A Syathori mengenalkan sistim madrasah, yang tentu saja harus
menggunakan ruang, kapur dan papan tulis. Beberapa masyarakat sempat protes, karena
ayat-ayat al-Qur’an dan teks-teks Hadits yang kemudian di hapus, debunya
berterbangan ke lantai. Demikian ini, oleh mereka di anggap merupakan bentuk
penghinaan kepada al-Qur’an dan Hadist. Tetapi KH. A. Syathori berhasil
meyakinkan mereka bahwa pendidikan adalah secara terbaik untuk mengagungkan
al-qur’an dan meresapkan ayat-ayatnya pada hati murid-murid, sedangkan yang
brerterbangan adalah debu-debu kapur belaka mungkin karena kekuatan argumentasi
atau mungkin ketokohan beliau, akhirnya mereka menerima.
Selanjutnya renovasi bangunan fisik pesantren
juga di lakukan oleh KH. Ibnu Ubaidilah Syathori (Anak dari KH. A. Syathori),
sepulang beliau pulang dari Makkah Al-Mukarramah. Pesaantren ini yang pada
awalnya di kenal dengan nama Al- Ma’had Al-Islami, kemudian pada awal
kedatangan KH. Ibnu Ubaidilah dari Makkah Al-Mukarramah namanya di sesuaikan
menjadi Ma’had Dar Al-Tauhid Al-‘Alawi Al-Islami. Dan terakhir disederhanakan
menjadi Ma’had Dar Al-Tauhid Al-Islami. Di tangan beliau juga terjadi beberapa
perubahan dan perkembangan dalam sistem pendidikan pesantren. Berbagai
lembaga-lembaga lain non pendidikan juga tumbuh subur melengkapi detak
kehidupan santri-santri di pesantren
Pesantren ini tercatat sebagai bahan hukum
pada awalnya dalam akta notaris Ibnu Anton No.8 tahun 1969 di bawah naungan
Yayasan Wathaniyah, kemudian pada tahun 1995 terjadi restrukturisasi
kepegurusan yayasan, Pesantren Dar Al-Tauhid akhirnya di catat dalam akta
notaris Ny. Zailasti Zamri SH, no.229 tahun 1995 di bawah naungan Yayasan Dar
Al-Tauhid.
Lokasi Pesantren
Pesantren berada di Desa Arjawinangun,
tempatnya di Jl. Kali Baru timur (sekarang dikenal dengan Jl. KH. Syathori )
No.10-12 Arjawinangun, Cirebon, dengan nomor telepon 0231-357163, 367 281 dan
357212. lokasi ini sangat berdekatan dengan beberapa instansi penting, seperti
Rumah Sakit Umum Arjawinangun, Kantor Pos, Telkom dan Pasar Daerah
Arjawinangun. Kedekatan ini, disatu sisi menguntungkan karena para santri
memperoleh pelayanan-pelayanan umum dengan mudah, disisi lain pesantren menjadi
tidak memiliki kesempatan untuk bisa mengelolah segala keperluan santri secara
mandiri.
Pengasuh Pesantren
Pengasuh pertama pesantren ini adalah KH. Sanawi bin Abdulah, kemudian KH. A. Syathori sampai ntahun 1969. ketika KH. A. Syathori wafat pada hari kanis tanggal 19 Februari 1969, umur putra beliau (KH. Ibnu Ubaidillah ) baru 20 tahun dan dalam sedang proses belajar, sehingga untuk sementara kendali pesantren dipegang bersama-sama oleh para menantu KH. A. Syathori, yaitu KH. A. Baidlowi, KH. Muhammad Asyrofuddin dan KH. Mahfudz Thoha, Lc
Sejak KH. Ibnu Ubaidillah pulang ke tanah air
pada tahun 1981 sampai sekarang, kepimpinan pesantren dipegang beliau dengan
dibantu oleh kakak- kakak dan beberapa keponakan beliau : Prof. Dr. KH. Khozin
Nasuha, Drs. KH Husein Muhanmmad, KH. A. Zaeni Dahlan, Dr. KH. Ahsin Sakho,
Kyai Luthfillah Baidlawi dan KH. Mahsun Muhammad, MA.
Saat ini, ketika beberapa pengasuh sudah
pulang ke Rahmatullah dan beberapa yang lain menetap di luar daerah, seperti
KH. Hasan Thuba menjadi Pengasuh PP Tanggir Tuban, KH. A. Zaeni Dahlan menetap
di Bandung dan Kyai Luthfillah Baidlawi menjadi pengasuh Pondok Pesantren Dar
Al-Qur’an Batanghari Jambi, dewan Pengasuh Pesantren di pegang oleh empat
orang; Drs. KH. Husein Muhammad, Dr. KH. Ahsin Sakho, Prof. Dr. KH. Khozin
Nasuha, dan KH. Mahsun Muhammad, MA, dengan pimpinan (Syaikh Al-Ma’had) tetap
di pegang oleh KH. Ar. Ibnu Ubaidilah Syathori.
KH. Ar. Ibnu Ubaidilah lahir di Arjawinangun
Cirebon pada tanggal 10 Mei 1949. beliau sempat keluar masuk berbagai pesantren
sebelum akhirnya menemukan yang sesuai dengan keinginanya, yaitu pesantren KH.
Muslih di Tanggir. beliau belajar di pesantren ini selama 6 tahun, kemudian
pergi belajar ke mekkah bersama Syekh Al-‘Alawi Al-Maliki selama 2 tahun,
kemudian beliau pulang ke tanah air pada tahun 1982 dan langsung memimpin
perjalanan roda Pesantren Dar Al-Tauhid.
Prof. DR. KH. Khozin Nasuha lahir pada tahun
1943 dari pasangan Abdul Mu’idz dan Sa’diyyah. Beliau setamat dari pesantren
Dar Al- Tauhid, meneruskan Pendidikan Sarjana di IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, pendidikan pasca- sarjana (S1dan S2) di IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Sedangkan KH. Drs. husein Muhammad yang lahir di Arjawinangun pada 9
Mei 1953 dari pasangan KH.muhammad Asyrafuddin dan Ummu Salamah (kakak KH. Ibnu
Ubaidillah), adalah tamatan pesantren Lirboyo Kediri dan telah menyelesaikan
pendidikan sarjana dari Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) tahun 1979.
pernah mengembara untuk menimba ilmu ke Kairo Mesir selama dua tahun kemudian
bergabung bersama pamannya memimpin pendidikan pesantren.
DR. KH. Ahsin Sakho lahir pada tanggal 21
Februari 1956 di Arjawinangun. Beliau adalah adik kandung KH. Husein Muhammad.
Beliau adalah tamatan Universitas Islam di Madinah sebagai Doktor dalam bidang
Tafsir al-Qur’an. Sebelumnya beliau belajar di pesantren Lirboyo Kediri.
Santri Pesantren
Karena pesantren Dar Al-Tauhid sangat
berdekatan dengan perkampungan penduduk, maka akan ada santri yang menetap
(dari luar daerah) dan ada santri yang tidak menetap (dari daerah
pesantren).kedekatan ini pada awalnya sangat banyak membantu kegiatan dan
kelangsungan pesantren, karena masyarakat akan dengan cepat dan mudah
mengulurkan segala keperluan pesantren. Tetapi bila dilihat dari prospek masa
depan, kedekatan dengan perkampungan akan menjadi penghalang kemandirian dan
kreativitas dalam pengembamgan fisik saja, pesantren akan terhalang oleh
bangunan-bangunan rumah penduduk. Manajemen kontrol juga menjadi tidak utuh
karena harus banyak memperhatikan kepentingan masyarakat setempat yang tentu
saja berbeda dengan masyarakat pendidikan.
Santri terdiri dari putra dan putri, yang
jumlahnya selalu berubah-ubah naik dan turun. Asal daerah santri beragam, hanya
yang terbanyak adalah dari propinsi jawa barat terutama Indramayu dan Cirebon.
Propinsi lain juga ada, seperti DKI Jakarta , Jawa Tengah, Sumatra Selatan dan
NTT. Santri pesantren terbagi menjadi dua kelompok : santri dalam dan santi
luar. Santri dalam adalah meraka yang hanya mengikuti pembelajaran yang
sepenuhnya di selenggarakan oleh pesantren Dar Al-Tauhid, yaitu Madrasah
Diniyyah dan pengajian non-klasikal pesantren. Santi luar adalah mereka yang
mengikuti pelajaran pesantren dan pada waktu sama juga mengikuti pendidikan di
luar pesantren, seperti MTsN, SMPN, MA Nusantara, SMP Plus, dll.
Kalau di himpun, alumni pesantren ini cukup
banyak apalagi dari awal berdiri. Jenjang lanjutan pendidikan mereka juga
beragam, ada yang melanjutkan ke luar negeri, ada yang ke perguruan tinggi
dalam negeri, ada yang melanjutkan ke pesantren lain, ada yang tetap di dalam
pesantren dan ada yang tidak melanjutkan pendidikannya. Bidang pekerjaan para
alumni juga bermacam-macam, mulai dari pendiri dan pengasuh pesantren, guru,
birokrat, politisi, pedagang, petani, nelayan, tentara, dan tentu saja profesi
yang lainnya. Karena itu, dibentuklah sebuah wadah komunikasi para alumni yang
diberi nama dengan HAMADA (Himpunan Alumni Ma’had Dar al Tauhid). []
Sumber: http://daraltauhid.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar