Memilih
Tidak Memilih
Oleh:
Mohamad Sobary
Di dekat
kotak pemilihan suara, dua orang lakilaki, warga satu RT, yang tak saling
mengenal berdialog., untuk sekadar mengisi waktu senggang. Yang satu sudah
memilih, tapi tidak segera pulang dan yang satu masih menunggu panggilan untuk
masuk ke bilik rahasia yang mendebarkan itu.
”Sudah
memilih ya?” tanya yang satu. ”Sudah,” jawab yang lain. ”Sampean di RT mana
to?” ”RT lima” ”Lho, sama dengan saya. Kok sama-sama warga satu RT tidak saling
mengenal ya?” ”Kita sibuk, barang kali.” ”Ya. Itu pasti.” Tapi kita ada rapat
RT, dan seharusnya kita pernah bertemu.” ”Mungkin waktu saya datang, Anda
tidak. Dan sebaliknya” ”Ya mungkin sekali. Saya memang tak selalu bisa hadir
dalam setiap rapat.” ”Omong-omong tadi milih apa, dan atau siapa?”
”Saya
milih yang terbaik” ”Apa ada yang terbaik?” ”Ada.” ”Saya menganggap tidak ada
yang terbaik. Semua minus. Semua memiliki kelemahan dan cacat memalukan.” ”Ya,
memang.” ”Tapi bagaimana Anda bisa menemukan yang terbaik?” ”Yang paling
sedikit penyimpangannya, paling sedikit membikin kita kecewa, dan paling
sedikit jumlah politisinya yang korup”. ”O, ya, ya. Saya tak pernah berpikir
begitu sebelumnya. Semula, bagi saya yang terbaik itu ya yang betul-betul
terbaik, yang mutlak tak mengecewakan, yang sepenuhnya menjadi amanah kita,
yang betul-betul tak menyimpang.”
”Itu
ukuran agama. Bukan ukuran politik. Di dalam politik tak mungkin orang tak
menyimpang. Jadi kita harus buat ukuran yang lain.” Teman dialognya, tetangga
satu RT, yang tadi bertanya, masih ingin bertanya lagi, tapi panitia pengumpul
suara di mana mereka memilih, telah memanggil namanya. Dan dia pun segera
berdiri, dan berjalan menuju kotak suara di ruang rahasia yang mendebarkan
tadi, dengan sikap yang belum begitu jelas mau memilih yang mana, partai apa,
dan siapa-siapa yang layak dipilih.
Waktu
tidak begitu leluasa untuk berpikir jernih di ruang rahasia tadi. Orang
seharusnya— atau sebaiknya—sudah memiliki pilihan jelas sejak beberapa saat
sebelumnya. Di ruang rahasia yang mendebarkan itu, orang tinggal mencari partai
dan nama-nama tokoh yang sudah dipilihnya di dalam hati, dan kini tinggal
mencoblos; blos, blos, blos.... Detik-detik pendek pencoblosan bukan momentum
berfilsafat tentang politik, keadilan, dan demokrasi, dan tingkah laku politik
yang didambakannya.
Di sana
hanya urusan teknis, sederhana, untuk ”nyoblos”. Dan dia telah melakukannya.
Benar atau salah, tepat atau tidak pilihannya, yang dijatuhkannya dalam
momentum pendek itu, tak bisa ditinjau lagi. Sekali lagi, coblosan sudah
terjadi. Ibarat kata, anak panah telah lepas dari busurnya, dan melesat jauh ke
depan sana. Anak panah itu tak bisa dikejar, tak bisa dibelokkan. Begitulah
coblosan tadi.
Perbaikan
tak mungkin dilakukan. Dia telah memilih. Dan sekali memilih, kita tak bisa
menclamencle. Pilihan tak bisa diganti, tak bisa diubah. Sesudah dialog pendek
dengan tetangga satu RT yang tak dikenalnya tadi itu, pikirannya memang
berubah. Dia telah memilih sebuah partai yang dianggapnya terbaik menurut
ukuran tetangganya tadi. Terbaik yang bukan merupakan ukuran mutlak, karena tak
ada kemutlakan dalam hidup, dan dalam politik.
Apa yang
dipilihnya? Dia tak mau mengatakannya pada siapa pun. Tidak juga pada atasannya
di kantor, pada istri dan mertuanya. Pilihan ya pilihan. Itu hasil k e b e b a
s an bersuara. Itu rahasia pribadi— lebih tepat rahasia pilihan politik
pribadi— yang tak perlu d i cer itakan pada orang lain. Ketika dia kembali ke
tempat duduknya semula, tetangga, orang yang diajaknya berdialog tadi, masih
ada di sana. Dan kini datang orang ke tiga, tetangga satu RT. juga, yang
mengenal mereka berdua.
Orang
ketiga ini datang ke tempat pemungutan suara untuk memberikan suaranya meskipun
dia tak percaya pada dalil bahwa ”satu suara menentukan nasib bangsa”. Maka
gunakan hak pilih Anda. Suara Anda menentukan. ”Omong kosong” katanya. ”Kalau
omong kosong, mengapa sampean memilih juga?” tanya kedua tetangganya itu hampir
bersamaan. ”Saya setia memilih, untuk membuktikan bahwa kali ini pun para
politisi, yang kelak menjadi pemerintah dan parlemen masih akan tetap
mengkhianati mandat konstitusi kita.
Dengan
kata lain, untuk meyakinkan bahwa suara saya masih akan tetap mereka khianati,
seperti suara-suara saya yang lain, yang saya berikan dalam pemilu demi pemilu
yang sudah lalu. Itu saja.” Kedua tetangganya, yang satu RT itu,
terlongo-longo. Ini argumen kelas atas kelihatannya. Dan mereka tak pernah
sampai ke tingkat kesadaran politik yang aneh, ruwet, dan ada harapan, tapi
masih tetap bersuara.
”Kalau
sampean tak yakin, mengapa masih juga memilih, dan setia terus menerus
memberikan suara sampean?” itu pertanyaan yang bisa diajukan tetangganya. ”Saya
juga ingin yakin. Tapi politisi selalu busuk. Jadi saya tak pernah bisa
menemukan titik keyakinan, seperti ketika saya membaca ayat-ayat kitab suci,
atau ketika mendengarkan kiai tarekat yang sedang berbicara mengenai derajat
rohani yang perlu kita capai. Apa dengan begini saya salah?”
Kedua
tetangganya itu diam. Keduanya sudah sampai pada tataran tertinggi kesadaran
politik yang mungkin mereka capai. Di atas itu sudah tak mungkin. Kini
ketiganya diam. Masing-masing memperhatikan proses pemilu tingkat RT tersebut,
dengan tingkat pemahaman yang berbeda. Tiap orang berhak—bukan wajib—memilih.
Tapi kita juga berhak untuk tidak memilih. Tidak memilih bukan sikap tercela.
Secara
etis, sikap tercela malah selalu ditampilkan para jurkam, para anggota elite
partai, pimpinan partai dan kaderkader partai. Mereka ingin tampil baik, dengan
memburuk-burukkan partai lain dan tokoh-tokoh politik lain.
Keburukan
orang disebarluaskan. Aib orang kita buka. Orang lain kita fitnah. ”Haruskah
orang-orang ini kita pilih?” ”Tidak. Buat apa? Bagi saya, lebih baik memilih
tidak memilih”. []
KORAN
SINDO, 15 April 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk
Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar