Memilih
Presiden
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Kalau kita makan, kita punya
kekuasaan terhadap yang kita makan. Kalau kita memilih makan nasi uduk, itu
kita perhitungkan kita membelinya di suatu warung yang kita mampu
mengontrolnya. Kalau nasinya ada krikilnya kita protes, dan kita punya
pengetahuan apakah nasi ini beracun atau tidak, basi atau tidak.
Setiap
pilihan resikonya adalah harus disertai kesanggupan untuk mengontrol sesuatu
yang kita pilih. Di situlah kelemahan kita sebagai bangsa Indonesia. Kita harus
memilih pemimpin tanpa sedikit pun ada kesanggupan untuk mengontrol pemimpin
yang kita pilih itu.
Bahkan
lebih dari itu, bukan hanya tidak sanggup mengontrol, kita bahkan tidak punya
pengetahuan yang mencukupi sama sekali mengenai sesuatu yang kita pilih. Kita
tidak tahu sebenarnya caleg ini kualitasnya bagaimana, hidupnya bagaimana,
istrinya berapa, akhlaknya bagaimana, kita tidak tahu sama sekali. Bahkan
tokoh-tokoh terkenal pun rakyat tidak tahu. Bapak ini, Gus itu, orang nggak
tahu sebenarnya. Dan kalau pun mereka tahu, mereka tak punya daya kontrol
terhadap yang dipilihnya ini, tapi mau tak mau harus memilih. Ini saya kira
dilema kita bersama se-Indonesia.
Jadi,
sederhana saja sebenarnya. Kalau anakmu naik kapal merantau ke luar pulau, maka
selama naik kapal akan ada kemungkinan ada badai, ada kemungkinan dibunuh
orang, ada kemungkinan dia bertengkar dengan orang, ada kemungkinan dia di
ancam bahaya. Kepada siapakah engkau menyerahkan anakmu yang engkau tak bisa
mengontrolnya di perjalanan, kepada siapa? Kamu titipkan pak Camat? Kamu
titipkan nahkoda? Tidak ada jalan lain kecuali engkau titipkan pada Allah SWT.
Kalau yang kau pilih di pemilu nanti kau tidak tahu siapa dia, kamu tidak bisa
mengontrol dia, kenapa tidak kau serahkan pada Tuhan? Jadi serahkan pada Tuhan.
Kalau
dalam Islam sederhana. Kalau misal anda tidak memilih, kalau nanti anda berdoa
supaya bangsa kita sejahtera, nanti Tuhan mengejek juga “Lha kamu nggak milih
aja kok minta bangsamu sejahtera”. Tapi kalau memilih bingung juga mau memilih
yang mana, sedangkan kalau memilih tidak bisa mengontrol juga. Ya kalau begitu
serahkan pada Tuhan.
Kalau
dalam Islam caranya jelas. Jadi malamnya shalat dulu kek, kalau nggak sempat ya
dalam hati saja berdoa, “Ya Tuhan, gimana mosok saya nggak nyoblos, saya kan
warga negara. Saya pilih lah yang kira-kira paling bagus. Cuma kan saya ndak
bisa mengontrol dia, Tuhan. Jadi, tolong dong, ini saya pilih satu.
Setelah
saya pilih dan coblos, saya serahkan kepada-Mu. Kalau dia pemimpin yang baik,
panjangkan umurnya. Beri dia kekuatan, dan bantulah urusan-urusannya. Tapi
kalau yang aku pilih ini ternyata pengkhianat, penjilat, penindas rakyat dan
sama sekali tidak punya cinta kepada kami-kami yang di bawah ini, mbok dilaknat
dengan cepat, mbok cepat-cepat diberi tindakan, Tuhan. Terlalu lama lho kami
rakyat Indonesia kayak gini terus bingung nggak habis-habis. Terus kepada siapa
dong aku mengeluh? Kepada siapa dong rakyat Indonesia mengeluh? Kepada DPR?
Wong mereka itu yang justru kami keluhkan kepada-Mu ya Allah. Jadi tolong,
Tuhan….”
Bisa juga
ditambahi ayat-ayat. Sebelum masuk kotak atau bilik bilang di dalam hati,
begitu mau mencoblos baca “Wa makaruu wa makarallah wa-llahu khoirul maakirin”.
Kalau mereka makar pada nilai-nilai Allah dan nilai rakyat, maka Allah akan
makar pada mereka. Dan yang paling jagoan untuk makar adalah Allah. Kalau
mereka khianat pada rakyat, berarti mereka khianat pada Tuhan. Maka Tuhan juga
akan makar pada mereka. Wa-llahu khoirul maakirin. Jejak bumi tiga kali, baru
dicoblos. Nanti kalau dia khianat, dia sakit kudis. []
Dokumentasi Progress
Tidak ada komentar:
Posting Komentar