Tradisi Jamuan di Majelis
Tahlil
Penulis:
M. Masyhuri Mochtar
Di tengah masyarakat kita, selain ada tradisi
pembacaan tahlil setelah kematian ada penjamuan dari pihak keluarga duka yang
diberikan kepada para jamaah. Pada biasanya, penjamuan ini dengan menu ala
kadarnya, seperti teh, kopi atau makanan ringan lainnya. Meskipun ada pula yang
terlihat mewah manakala tahlilan yang diadakan oleh keluarga yang mampu secara
ekonomi. Dalam sebuah Hadis disebutkan bahwa Rasulullah memerintahkan para
sahabat untuk membuatkan makanan untuk keluarga Jakfar bin Abi Thalib karena
mereka sibuk mengurusi jenazah Jakfar yang terbunuh di perang Muktah.
Artinya, yang disunnahkan untuk memberi
makanan dalah orang-orang yang tidak berduka, bukan orang yang berduka. Nah, di
sinilah akar masalahnya ketika terbalik, justru yang berduka memberi makanan.
Tujuan menyediakan makanan oleh keluarga duka ini ada dua kemungkinan; untuk
mengundang orang agar bertakziah atau dengan suka rela memberi makanan terhadap
mereka yang memang berniatan takziah. Dua tujuan ini tentu berbeda hukumnya;
jika saat menyediakan makanan bertujuan agar orang orang bertakziah maka
hukumnya makruh; jika menyuguhi orangorang yang bertakziah dengan niatan
sedekah, apa lagi ada niatan untuk menghadiahkan pahala sedekah untuk yang
meninggal, tentu hukumnya lain.
Syekh Abu Bakr Syaththa dalam kitab
I’anah-nya mengatakan demikian, “Apa yang dibiasakan berupa penyediaan makanan
oleh keluarga duka untuk mengundang orang-orang untuk mendatanginya, adalah
bid’ah yang makruh sebagaimana mendatanginya mereka untuk hal itu. Sebab, ada
Hadis sahih dari Jarir: “Kami menganggap pekumpulan di rumah duka dan membuat
makanan setelah pemakaman adalah bagian dari ratapan.”
Menjelaskan perkataan ibn Jarir di atas,
ash-Shan’ani dalam Subulus-Salam-nya mengatakan demikian, “Yang dimaksud dari
Hadis sahabat Jarir ini adalah pembuatan makanan oleh keluarga duka untuk orang
yang memakamkan di Antara mereka (pentakziah) dan dia hadir di tengah-tengah
mereka sebagaimana kebiasaan di suatu daerah. Adapun bermurah hati pada mereka
dengan membawa makanan maka tidaklah mengapa.”
Juga menurut ash-Shan’ani, malasan mengapa
pembuatan makanan bagi mereka tidak diinginkan karena di antara hal yang
dilarang oleh Rasulullah adalah ‘al-Uqr; menyembelih hewan di atas kuburan
setelah pemakaman. Rasulullah bersabda, “Tidak ada penyembelihan hewan di atas
kuburan (‘Uqra) dalam Islam” (H.R. Imam Ahmad dan Abu Dawud). Al-Khaththabi
menceritakan, di antara kebiasaan orang-orang Jahiliyah dulu adalah menyembelih
unta di atas kuburan orang yang dermawan di antara mereka dan berkata, “Kami
membalas atas apa yang ia telah lakukan, karena ia telah menyembelih unta di
masa hidupnya dan memberi makan tamu-tamunya, dan kami menyembelih unta di atas
kuburnya sampai hewan-hewan dan burung memakannya. Dengan begitu, ia tetap
memberi makan setelah ia meninggal, sama seperti di masa hidupnya.” Sebab
itulah, Rasulullah melarang praktik semacam itu.
Dari ulasan ini dapat disimpulkan bahwa
pembuatan makanan oleh keluarga mayyit tidaklah dilarang, paling banter
berhukum makruh jika dengan alasan seperti di atas, apa lagi ada niatan untuk
menghadiahkan pahala sedekahnya untuk si mayyit tentu akan lebih bermanfaat dan
boleh. Hanya saja yang perlu diperhatikan saat akan mengadakan selamatan
seperti tahlilan, pembiayaan tidak boleh diambilkan dari harta warisan yang
belum dibagi sesuai dengan hukum Islam. Apalagi, di Antara salah satu ahli
waris terdapat anak yang masih belum baligh, atau yang tidak normal akalnya.
Sebab, di dalam harta tersebut masih terdapat hak orang yang tidak dianggap
tasharruf-nya (pembelanjaannya).
Hal tersebut apabila yang meninggal tidak
berwasiat agar ia diselamati menggunakan hartanya. Jika demikian, biaya
tahlilan dapat diambil dari harta peninggalannya, walaupun terdapat anak yang
masih belum baligh atau tidak normal akalnya, dengan syarat, biaya yang
dikeluarkan tidak melebihi sepertiga dari keseluruhan harta warisan.
Juga dalam lingkup membuat makanan bagi
pen-takziah ini, dalam sebuah Hadis diceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah
bersama sahabat Anshar keluar ke pemakamanan seseorang. Beliau mengatakan
kepada para penggali kuburan: “Perlebar di bagian dua kaki, perlebar di bagian
kepala.” Ketika Nabi pulang dari pemakaman, datang utusan seorang perempuan
(isteri dari orang yang meninggal) dan mempersilahkan beliau untuk datang ke
rumahnya. Rasulullah datang, dan beliau disuguhi makanan. Nabi mengambilnya,
kemudian sahabat-sahabat mengambil juga.
Saat itu, beliau juga disuguhi daging kambing
yang lantas berkata, “Aku temukan daging kambing yang diambil tanpa ada izin
dari pemiliknya.” Akhirnya, perempuan tersebut menjelaskan duduk masalahnya
bahwa ia telah mengutus seseorang untuk pergi Baqi’, tempat penjualan kambing,
dan memberikan uang untuk membeli kambing. Namun, utusan tersebut tidak
menemukannya di sana. Kemudian diketahui, ada tetangganya yang telah membeli
kambing, dan ia menyuruh utusannya tersebut untuk mendatangi rumahnya, tapi
tidak ia temukan pemiliknya. Yang ada hanyalah isteri pemilik kambing yang
kemudian sang utusan mengganti uang pembelian kambing kepada si isteri tanpa
sepengetahuan suaminya. Mendengar itu, Rasulullah bersabda, “Kamu berikan
kambing itu kepada para tawanan”. (H.R.Abu Dawud).
Meskipun Nabi tidak makan daging kambing
suguhan perempuan tersebut, bukan berarti beliau mengingkari suguhan dari
keluarga duka. Kenyataannya, beliau sudi datang dan makan. Konteks persoalan
dalam keengganan Nabi tersebut terkait dengan penghindaran Nabi dari makanan
yang bernilai syubhat, tidak jelas kehalalannya. Seperti inilah yang dijelaskan
oleh ‘Abdul Muhsin al-’Ubbad, dalam Syarh Sunan Abu Dawud. Wallahua’lam. []
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar