Minum Spirulina Mahmud dan
Menunggu Sidiq
Senin, 21 April 2014
Dua anak muda ini gigihnya bukan
main. Mahmud dan Sidiq. Mahmud baru lulus dari Jurusan Teknik Kimia Universitas
Diponegoro (Undip) Semarang dan Sidiq masih kuliah di Teknik Mesin Universitas
Brawijaya Malang.
Dua bulan
lalu, ketika saya bermalam di satu desa di pinggir hutan di pedalaman Wonogiri,
Jawa Tengah, Mahmud nguber saya sampai ke desa itu. Senja amat mendung. Hujan
renyai-renyai tidak kunjung berhenti. Di suasana senja yang dingin itu, Mahmud
menyusul saya ke masjid desa.
Meski
langit sudah gelap, saat magrib ternyata masih lama. Mahmud membuka laptopnya.
Dengan berapi-api dia mendesak saya. “Pemerintah harus turun tangan. Jangan
mengabaikan penemuan saya ini,” katanya.
Saya
dengarkan terus penjelasannya yang bertubi-tubi itu. Ditonton orang-orang desa
yang siap-siap berjamaah Magrib. Di mata yang mendengarkan penjelasan itu,
pemerintah terkesan jelek sekali. Tidak membantu dan mengakomodasi penemuan
seperti ini.
“Ini
sangat menguntungkan, Pak Dahlan,” ujarnya. “Ayo, BUMN bantu dengan CSR-nya,”
tambah dia.
Rupanya,
Mahmud baru menemukan rumus mengembangkan alga (algae) air tawar. Itulah produk
yang disebut spirulina. Selama ini memang sudah banyak beredar di pasar produk
spirulina. Tapi spirulina hasil dari alga air asin (air laut).
Produk
ini terkenal terutama karena agresifnya sistem pemasaran multilevel marketing
(MLM). Mahal tapi laris. Khasiat spirulina yang tinggi membuat impor spirulina
luar biasa besarnya.
“Saya
berhasil mengembangkan algae air tawar,” katanya. “Dengan demikian, spirulina
dari algae yang saya kembangkan ini bebas logam berat, arsen, dan tidak bau
amis,” tambahnya. “Ini pertama di Indonesia,” kata Mahmud bersemangat.
Di dalam
masjid di desa pinggir hutan itu, sambil menunggu datangnya magrib, Mahmud saya
ajak hitung-hitungan. Saya cecar dia dengan pertanyaan-pertanyaan: harga benih,
modal bikin kolam, harga jual, tingkat persaingan, risiko gagal, dan
seterusnya.
Mahmud
bisa menjawab dengan tangkas. Akhirnya saya berkesimpulan: penemuan ini memang
sangat baik. Juga sangat menguntungkan. Satu hektare sawah bisa menghasilkan Rp
300 juta. Bandingkan dengan tanam padi yang menghasilkan sekitar Rp 50 juta.
“Kalau
begitu, berhentilah Anda menyalah-nyalahkan pemerintah,” kata saya.
“Berhentilah berpikir ngemis-ngemis cari bantuan,” kata saya lagi.
“Ini
bisnis yang bagus. Lakukan sendiri. Jangan cengeng. Kalau Anda minta pemerintah
ikut campur, bisa-bisa tambah ruwet,” tegas saya.
Alhamdulillah.
Mahmud bisa menerima penjelasan saya. Dia tidak akan menyalah-nyalahkan orang.
Juga tidak akan mengemis-ngemis. Dia akan terjun ke bisnis dengan basis
penemuannya itu. “Go!” kata saya dengan bangga kepada anak muda ini. Saya pun
berjanji mengunjunginya kalau dia sudah menjalankan bisnisnya itu.
Minggu
lalu saya memenuhi janji itu. Saya ke desanya, Tawangsari, Sukoharjo, di
selatan Solo. Tanpa memberi tahu lebih dulu. Matahari bersinar terik. Saya
lewati pabrik tekstil terkenal itu: Sritex. Masih terus ke selatan.
Desa ini
bukan desa miskin. Rumah-rumahnya bagus. Tidak sulit mencari rumahnya. Bapaknya
ternyata orang terkenal: politikus PAN yang sedang nyaleg. Juga tergolong kaya
untuk ukuran desa itu. Saya lega. Mahmud pasti punya modal untuk mengembangkan
alga air tawarnya.
Ternyata
benar. Mahmud sudah punya tiga kolam kecil. Bahkan sudah berhasil panen alga
air tawar beberapa kali. Alga ini memang bisa dipanen tiap empat hari. Alga itu
dia saring, dia keringkan, dan dia bikin tepung. Dengan alat-alat sederhana.
Lalu dia masukkan ke saset-saset. Siap dijual. Bersaing dengan spirulina impor.
Saya
sangat gembira. Mahmud benar-benar anak muda yang gigih. Saya membeli sepuluh
saset hari itu. Salah satunya saya buka, saya buang labelnya, saya masukkan
plastik tanpa identitas.
Sampai
Jakarta, “tepung tanpa identitas” itu saya kirim ke laboratorium Kimia Farma
untuk diteliti. Saya tidak memberi tahu asal usul dan nama tepung itu.
Hasil uji
lab itu mengatakan bahwa tepung tersebut adalah spirulina, namun tidak
mengandung logam berat, arsen, dan NACL. Juga tidak ada kandungan bahan kimia.
Sejak itu saya minum spirulina made in Sukoharjo tersebut. Tiap hari.
Mahmud
juga sudah mendirikan perusahaan. Namanya CV Neoalgae Technology. Sebagai
lulusan Teknik Kimia Undip, dia tidak sulit melakukan penelitian-penelitian
untuk membiakkan alga itu.
Kini
Mahmud akan memperbesar kolam-kolam alganya. Tidak lagi hanya tiga kolam di
sebelah rumahnya. Dia sudah mulai mengerjakan sawah 1 hektare agak jauh dari
rumahnya untuk diubah jadi kolam alga air tawar.
“Saya
kewalahan. Pesanan spirulina melebihi produksi saya,” ujarnya. “Terutama dari
perusahaan-perusahaan obat herbal,” tambahnya.
Tentu
saya berdoa agar Mahmud jadi pengusaha muda yang sukses besar. Dia layak untuk
itu. Kita berharap Indonesia tidak perlu lagi impor spirulina. Mahmud juga
tidak keberatan ada anak muda lain yang mengikuti jejaknya.
Lain lagi
dengan Sidiq. Dia menemukan alat pengering gabah. Mengandalkan tenaga surya.
Mirip dengan yang ditemukan mahasiswa Universitas Mataram di Lombok.
Waktu itu
saya sedang nonton wayang di desa Campurdarat, Tulungagung, Jawa Timur.
Tiba-tiba Sidiq nongol. Jam sudah menunjukkan pukul 00.00. Dia datang dari
Malang. Naik sepeda motor. Dua jam lamanya.
Di malam
yang kelam. Melewati jalan yang berliku naik turun di sekitar Bendungan
Karangkates. Nekat benar anak ini.
Malam itu
deal! Saya berikan dana untuk membuat prototipenya. Dua bulan lagi barang itu
akan jadi.
Sidiq
sangat amanah. Di waktu yang dijanjikan, dia selesaikan proyek itu. Jumat
kemarin saya lihat hasilnya. Bisa berfungsi. Namun, suhunya kurang panas. Dia
masih menggunakan kaca biasa. Bukan kaca khusus yang bisa menghasilkan panas 20
derajat lebih tinggi.
Tapi, itu
soal sepele. Yang jelas fungsinya sudah ketemu. Saya minta alat ini
disempurnakan. Di bawah binaan BUMN PT Pertani. Siapa tahu bisa menggantikan
mesin pengering yang mahal-mahal dengan bahan bakar yang juga mahal itu.
Mahmud,
Sidiq, dan banyak lagi anak muda yang tidak kenal menyerah. Harapan besar di
depan mata. Saya akan terus minum spirulina-nya Mahmud. Dan menunggu pengering
gabahnya Sidiq. (*)
Dahlan
Iskan, Menteri BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar