Cabut 'Calling Visa' untuk Israel
Oleh: Fadli Zon
PEMBERIAN calling visa bagi Israel adalah bentuk
penyelundupan terhadap kebijakan politik luar negeri kita. Menteri Hukum dan
HAM (Menkumham) dan Direktorat Jenderal Imigrasi harus memberikan penjelasan
terbuka mengenai hal ini. Sebab, kebijakan semacam ini bisa dianggap sebagai
pengkhianatan terhadap konstitusi dan rakyat Indonesia.
Awal pekan lalu, 23 November 2020, Ditjen Imigrasi
Kemenkum HAM mendadak membuka layanan visa elektronik bagi warga negara Israel.
Israel dan tujuh negara lainnya, seperti Afghanistan, Guinea, Korea Utara,
Kamerun, Liberia, Nigeria, dan Somalia, menjadi subjek calling visa. Menurut
Kemenkumham, alasan utama dibukanya kembali pelayanan calling visa adalah untuk
mengakomodasi hak-hak kemanusiaan para pasangan kawin campur, baru kemudian
untuk tujuan investasi, bisnis, dan bekerja.
Calling visa adalah layanan visa yang dikhususkan
untuk warga dari negara-negara yang keadaan negaranya dinilai memiliki tingkat
kerawanan tertentu. Kondisi rawan tersebut dinilai terkait beberapa aspek,
seperti aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan
keamanan negara, serta keimigrasian.
Informasi mengenai pemberian calling visa bagi warga
negara Israel ini tentu saja mengejutkan. Kenapa mengejutkan? Karena segala hal
yang terkait Israel seharusnya menjadi persoalan sensitif bagi pemerintah
Indonesia. Apalagi, kita tak memiliki hubungan diplomatik dengan negara
tersebut.
Meskipun kalau merujuk kepada negara lain praktik
pemberian calling visa bisa diberikan untuk negara-negara yang tidak memiliki
hubungan diplomatik, namun mengingat sejarah politik kita, isu mengenai Israel
ini seharusnya diperlakukan dengan sensitivitas tinggi.
Selama 75 tahun kita memiliki komitmen untuk
mendukung kemerdekaan Palestina. Dan, sebagai bentuk dukungan, sekaligus
sejalan dengan semangat Proklamasi dan Pembukaan UUD 1945 yang
anti-kolonialisme serta imperialisme, sejak 75 tahun lalu kita tak pernah
membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Itu sudah menjadi garis politik luar
negeri kita.
Artinya, bagi Indonesia, tidak adanya hubungan
diplomatik dengan Israel ini bukan hanya soal administratif belaka, tetapi
merupakan persoalan ideologis, historis, dan politis sekaligus. Ini sangat
fundamental. Sehingga, munculnya kebijakan calling visa bagi Israel harus
segera dicabut. Apalagi, dasar hukumnya hanyalah sebuah Keputusan Menteri,
Menkumham Yasonna Laoly.
Pemberian calling visa bagi Israel adalah bentuk
penyelundupan kebijakan yang bertentangan dengan garis politik luar negeri
kita. Kebijakan semacam ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi
dan rakyat Indonesia. Kebijakan semacam ini juga bisa mencederai persaudaraan
kita dengan bangsa Palestina. Jangan lupa, sejak sebelum kita merdeka, bangsa
Palestina telah mendukung perjuangan kemerdekaan kita.
Seorang tokoh nasionalis Palestina, sekaligus Mufti
Agung Yerusalem, Amin Al-Husseini, sejak 1944 bahkan sudah menyatakan pengakuan
terhadap negara Indonesia. Pengakuan itu disiarkan di sebuah radio Berlin,
Jerman, pada 1944. Padahal, ketika itu Palestina sendiri masih dalam pendudukan
Inggris.
Indonesia punya beban sejarah untuk mendukung dan
berdiri bersama bangsa Palestina. Sebab, satu-satunya negara peserta Konferensi
Asia Afrika yang belum merdeka hingga saat ini adalah Palestina. Jadi, sesudah
informasi tentang calling visa bagi Israel ini terbuka ke publik, kebijakan itu
seharusnya memang segera dicabut. Menkumham harus memberikan penjelasan kenapa
kebijakan ini bisa lahir.
Jadi, sebelum kebijakan ini melahirkan kegaduhan dan
respon keras dari masyarakat Indonesia, khususnya kalangan Islam, kebijakan ini
mestinya segera dicabut. []
KORAN SINDO, 01 Desember 2020
Fadli Zon | Ketua BKSAP (Badan Kerjasama Antar Parlemen) DPR RI; Anggota DPR RI Komisi 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar