Rabu, 30 Desember 2020

(Ngaji of the Day) Tiada Biaya, Pilih Menikah atau Tetap Menjomblo?

Dilema. Mungkin kata inilah yang paling tepat menggambarkan keadaan ini. Menikah tak ada biaya, menjomblo juga merasa diri sengsara. Lantas harus bagaimana?

 

Perlu diketahui, hukum asal menikah adalah mubah atau boleh. Kemudian hukum ini menjadi sunnah karena suatu keadaan atau tuntutan. Jika tujuannya adalah menjaga kehormatan diri, mengikuti perjalanan Rasulullah, dan mendapatkan keturunan yang baik, maka menikah menjadi sunnah dan jadi ketaatan. Artinya, hukum “sunnah” di sini sifatnya baru. Demikian menurut Syekh Ibnu Qasim.

 

Namun, jika tujuannya semata memenuhi keinginan dan mencari kepuasan, maka hukumnya menjadi berbeda. Karena itu, menikah dengan tujuan ini tidak bisa dihukumi sunnah, tidak menjadi ketaatan, dan tidak bisa dinazarkan. Demikian menurut Imam Ramli dan Ibnu Hajar. Sebab, menikah yang dihukumi sunnah, dianggap ketaatan, dan boleh dinazarkan adalah pernikahan yang bertujuan menjaga kehormatan diri, memperoleh keturunan, melipatkan pahala ibadah, dan seterusnya.

 

 

Di samping itu, status sunnah menikah juga jatuh pada orang yang memiliki keinginan menyalurkan kebutuhan seksual dan mempunyai kemampuan biaya, baik biaya pernikahan maupun biaya nafkah, sebagaimana petikan berikut.

 

النكاح مستحب لمن يحتاج إليه بتوقانه للوطء ويجد أهبته، فإن فقد الأهبة لم يستحب له النكاح

 

“Nikah adalah sunnah (anjuran) bagi orang yang membutuhkannya, seperti karena kebutuhan seksual, di samping ia memiliki kesiapan biaya, seperti biaya mahar dan nafkah. Jika biaya tidak ada, maka menikah tidak disunnahkan baginya” (Syekh Ibnu Qasim, Hâsyiyah al-Bâjûrî, [Semarang, Maktabah al-‘Ulumiyyah], Tanpa Tahun, Jilid 2, hal. 92).

 

Berdasar petikan di atas, orang yang memiliki kebutuhan seksual saja, namun tidak memiliki kesiapan biaya, maka tidak disunnahkan menikah. Begitu pula orang yang tidak memiliki kebutuhan seksual atau tidak mampu memenuhi kebutuhan seksual pasangannya, seperti faktor impoten atau faktor usia, walaupun memiliki kemampuan biaya, maka tidak disunnahkan menikah.

 

Selanjutnya, orang yang memiliki kesiapan biaya (finansial) dan masih mampu mengendalikan kebutuhan seksual, tidak khawatir terjerumus pada kemaksiatan, bahkan ingin lebih fokus pada ibadah, justru jika menikah khawatir akan mengganggu aktivitas ibadahnya, maka memilih fokus beribadah adalah lebih utama daripada menikah. Namun, bila tidak ada kekhawatiran mengganggu ibadahnya, maka menikah lebih baik daripada melajang. Tujuannya agar tidak terjerumus pada perbuatan dosa, jauh perbuatan menyimpang, dan terhindar dari fitnah.

 

Bicara kemampuan biaya tentu sangat relatif. Namun, ulama terdahulu memberikan gambaran, mampu biaya di sini minimal biaya di hari pernikahan, seperti mahar, makanan, pakaian, nafkah pasca-menikah. Dalam konteks sekarang, kebutuhan biaya ini tentu bisa dikompromikan dengan pihak orang tua perempuan, selama tidak memberatkan salah satunya atau menggagalkan perkawinan hanya karena kurangnya mahar, kurangnya biaya sewa gedung, atau dekorasi, misalnya. Di sinilah kedua belah pihak orang tua dituntut kesadaran dan kebijakannya. Lebih baik menikahkan anak mereka atau membiarkan mereka terjerumus pada pergaulan bebas?

 

Sementara kaum muda yang belum memiliki biaya, meskipun sudah memiliki kebutuhan seksual, maka tidak dianjurkan menikah. Untuk menekan keinginan seksualnya, dia disarankan untuk berpuasa dan banyak berlindung kepada Allah agar diberi kekuatan menahan syahwat, bukan dengan cara yang menyimpang, berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

 

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وجاءٌ

 

Artinya, “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang sudah mampu ba’at (menikah), maka menikahlah! Sebab, menikah itu lebih mampu menundukkan (menjaga) pandangan dan memelihara kemaluan. Namun, siapa saja yang tidak mampu, maka sebaiknya ia berpuasa. Sebab, puasa adalah penekan nafsu syahwat baginya,” (HR Muslim).

 

 

Kendati setelah berpuasa, keinginan seksualnya tidak pula bisa diatasi, maka memohonlah kepada Allah agar diberi kemampuan untuk menikah, diberikan kemudahan untuknya, jangan lupa bertekad dalam hati bahwa keinginannya menikah demi menjaga kehormatan diri, menjauhi perbuatan nista, mendapatkan keturunan, dan sejenisnya. Insya Allah, Dia akan memenuhi janji-Nya untuk memampukan hamba-Nya yang bertakwa dan ingin menikah serta berniat menjaga kehormatan dirinya.

 

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لا يَجِدُونَ نِكاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ

 

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya,” (QS. An-Nur [24]: 33).

 

مَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

 

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya,” (QS. Ath-Thalaq [65]:2-3).

  

Wallahu‘alam. []

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar